KAJIAN PENDAHULUAN BUDIDAYA UDANG WINDU SEMI
INTENSIF SALINITAS RENDAH
Oleh : Anggoro Prihutomo, S.Pi*
*Perekayasa pada BLUPPB Karawang
Pendahuluan
Merebaknya serangan viral maupun
bakteri merupakan interaksi yang sangat komplek antara inang, penyakit dan
lingkungan. Manipulasi lingkungan budidaya menjadi salah satu langkah dalam
memutus interaksi yang merugikan dari tiga faktor tadi. Dimana harapanya
penyakit wssv dan lumbac tidak mewabah selama kegiatan budidaya berlangsung. Beberapa
manipulasi dari beberapa laporan literatur yang bisa dijadikan acuan atau
rujukan dalam
mencegah serangan virus dan bakteria (lumbac) adalah budidaya udang windu pada salinitas rendah < 15 ppt, sedikit ganti air (low – discharge culture system), sistem greenwater dalam budidaya, penggunaan desinfektan dalam treatment air media, aplikasi probiotik, seleksi benih yang ketat, penerapan biosecurity, budidaya terintegrasi dengan tilapia dan penurunan padat tebar. Manipulasi lingkungan budidaya diperlukan untuk mencegah serangan WSSV dan vibriosis pada budidaya udang windu. Budidaya udang windu pada salinitas rendah < 15 ppt, sedikit ganti air (low – discharge culture system), sistem greenwater, penggunaan desinfektan, aplikasi probiotik, penerapan biosecurity, penggunaan biocontrol dan biomanipulator, merupakan langkah manipulasi lingkungan yang dilakukan dalam kegiatan ini.
mencegah serangan virus dan bakteria (lumbac) adalah budidaya udang windu pada salinitas rendah < 15 ppt, sedikit ganti air (low – discharge culture system), sistem greenwater dalam budidaya, penggunaan desinfektan dalam treatment air media, aplikasi probiotik, seleksi benih yang ketat, penerapan biosecurity, budidaya terintegrasi dengan tilapia dan penurunan padat tebar. Manipulasi lingkungan budidaya diperlukan untuk mencegah serangan WSSV dan vibriosis pada budidaya udang windu. Budidaya udang windu pada salinitas rendah < 15 ppt, sedikit ganti air (low – discharge culture system), sistem greenwater, penggunaan desinfektan, aplikasi probiotik, penerapan biosecurity, penggunaan biocontrol dan biomanipulator, merupakan langkah manipulasi lingkungan yang dilakukan dalam kegiatan ini.
Selama ini budidaya udang windu pada
salinitas rendah hanya sebatas secara tradisional dengan hasil produksi yang
relatif kecil. Peningkatan padat tebar dengan teknologi semi intensif pada
budidaya udang windu salinitas rendah dengan beberapa pendekatan di atas
diharapkan mampu meningkatkan produksi budidaya udang windu.
Materi
dan Metode
Kegiatan dilakukan pada pada blok J
petak L, BLUPPB Karawang sebanyak 4 petak dengan luasan masing – masing petak
1000 m2. Dua petak digunakan sebagai petak pemeliharaan dan 2 petak sebagai
petak treatment atau tandon. Desain model dapat dilihat pada layout gambar
berikut:
Persiapan lahan dilakukan dengan cara
pengeringan, perbaikan pematang, perbaikan inlet dan outlet, disenfeksi dengan
penyiraman larutan kaporit, dan pengapuran. Pemberian kapur adalah = 2 ton /
ha. Kapur yang digunakan adalah CaCO3. Selanjutnya adalah pemasangan saringan
inlet dan outlet. Saringan inlet dipasang saringan rangkap tiga dengan lapisan
pertama saringan hitam (4000 mikron), kemudian saringan hijau (1000 mikron) dan
saringan putih (300 mikron) pada lapisan luarnya. Pada outlet dipasang saringan
hitam yang dilapisi saringan hijau. Pengisian air baik pada tandon maupun pada
petak pemeliharaan secara maksimal sesuai kemampuan kolam atau tambak.
Biosecurity merupakan langkah dalam
mencegah masuknya penyakit kedalam sistem budidaya udang dgn mencegah adanya
carrier / pembawa penyakit. Pada kegiatan ini biosecurity yang diterapkan
adalah dengan meminimalisir lalu lintas orang dan mencegah jenis- jenis
crustacea liar masuk ke dalam sistem dengan pemasangan pagar plastik sekeliling
kolam (CPD), setinggi 40 cm, pemasangan screen/saringan 300 dan 1000 mincron, dan
sterilisasi tandon dengan crustaside.
Persiapan air tambak pembesaran
meliputi langkah sebagai berikut:
1. Pengisian air
(kolam budidaya dan tandon) hingga maksimal sesuai kapasitas tambak (100 – 80
cm). Sumber air payau berasal dari saluran primer dan air tawar berasal dari
sungai Ciwadas.
2. Sterilisasi
air : merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mensterilkan tambak dari
bibit penyakit yang terdiri dari inang, carrier maupun predator dalam kolam
dengan menggunakan bahan kimia. Sterilisasi dalam satu sistem (tambak budidaya,
tandon dan out let) dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan dan dimulai
dari tempat yang lebih tinggi.
Tahap-tahap Sterilisasi air :
o
Aplikasi
Bestacin 1 ppm. (hari ke 1) untuk membunuh udang liar & kepiting, 10 ltr/ha.
o
Aplikasi
Kuprisulfat (hari ke 2) (dosis = (alk total/100)+0.5 ppm.) Untuk membunuh
trisipan / tritip /molusca
o
Aplikasi
Kaporit 30 ppm produk (hari ke 3). Untuk membunuh free living virus, &
vibrio
o
Aplikasi
Saponin 15 - 20 ppm. (situasional /hari 4) Untuk membunuh ikan liar, 150 -200
kg/ha.
Untuk efisiensi, aplikasi kaporit
hanya dilakukan pada persiapan air saja, tahap selanjutnya treatment air tandon
hanya menggunakan crustasida.
3. Pembentukan
air
Merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk menumbuhkan plankton (zoo dan phyto) dengan jumlah tertentu serta
menkondisikan kualitas air tambak agar memenuhi syarat-syarat teknis yang
dibutuhkan sebelum dilakukan penebaran benur. Tindakan yang dilakukan adalah
pemupukan dengan pupuk organik yang dibuat sendiri dengan cara fermentasi
(peragian): Dosis pemberian fermentasi adalah setiap 2 hari sekali, sampai
tumbuh plankton dan terbentuk warna air.
Bahan Fermentasi per hektar antara
lain : Tetes/gula 1 lt, katul 10 kg, saponen 10 kg, ragi tape/roti 150 gr,
direndam dalam air tawar, 24-36 jam, tanpa aerasi.
4. Bioassay
Merupakan suatu kegiatan untuk menguji
kualitas air apakah sudah netral dari residu bahan sterilisasi dan siap
dilakukan penebaran benur. Cara Bioassay : Delapan hari setelah sterilisasi
kaporit 30 ppm, ambil sampel air setiap petak untuk dicek dilaboratorium (cek
lengkap). Ambil air dalam timba dari masing-masing petak, masukkan 25 ekor
benur sehat kedalam air tersebut. Amati setelah 12 jam, air disebut aman
ditebari jika SR > 95%. Biomanipulator dalam hal ini adalah ikan yang
ditebar atau dipelihara pada petak tandon. Biomanipulator yang digunakan adalah
ikan kakap putih (sea bass) dan ikan nila (Tilapia). Ikan Kakap putih
ditebar pada petak tandon pertama dengan kepadatan 100 ekor. Ikan nila ditebar
pada petak tandon kedua dengan kepadatan 1 ekor/m size 50. Benih udang yang
baru datang dari hatchery langsung ditebar pada bak pendederan untuk adaptasi
salinitas mendekati tawar (sesuai tujuan). Penebaran di tambak dilakukan dengan
standar penebaran yang melalui proses adaptasi terlebih dahulu.
Manajemen penggantian air pada petak
pemeliharaan dilakukan sebagai berikut:
§
Pergantian
air berasal dari air tandon yang telah siap pakai
§
Air
yang masuk tandon kedua harus selalu melalui proses desinfeksi menggunakan
crustaside bestacin 1,5 ppm
§
Program
ganti air
UMUR
|
ganti
air per hari (%)
|
< 60 hari
|
penambahan saja mengganti
penguapan/porous/ siphon
|
> 60 hari
|
5-10 % (sirkulasi flow through
|
Air yang digunakan untuk penambahan
dan ganti air berasal dari sungai ciwadas yang bersalinitas rendah (3 ppt),
sehingga seiring dengan penggantian air terjadi penurunan salinitas media
secara gradual. Aerasi tambak menggunakan kincir tunggal (Paddle wheel)
dengan jumlah 1 HP atau 1 kincir tiap petak. Jumlah Hp Kincir adalah kapasitas
maksimal biomas udang yang bisa didukung oleh 1 HP Kincir. Pedoman : 1 HP
Kincir untuk biomas 300 kg udang (saat panen). Setting kincir dengan pemasangan
kincir, sehingga berpengaruh terhadap arah arus air. Arah kincir diatur untuk
menghasilkan arus air yang merata sehingga meminimalisir titik mati pada tambak
dan kotoran terakumulasi pada titik yang diharapkan. Opearsional kincir adalah
sebagai berikut :
UMUR (Hari)
|
SIANG
|
MALAM
|
Sterilisasi air
|
09.00 – 14.00
|
|
Pembentukan plankton
|
07.30 – 16.00
|
|
1 - 30
|
21.00 – 07.00
|
|
31 - panen
|
17.00 – 07.00
|
Manajemen plankton dilakukan dengan
tujuan populasi plankton yang diinginkan (green water) tetap stabil.
Disamping aplikasi fermentasi, aplikasi pupuk anorganik jenis ZA dan pupuk
formulasi dilakukan sebagai pemupukan susulan dengan dosis 1 – 5 ppm pada petak
pemeliharaan. Aplikasi probiotik dilakukan untuk menjaga kualitas lingkungan
terutama dalam menekan pertumbuhan patogenik bakteri dan dekomposisi bahan organik.
Program aplikasi probiotik dilakukan dengan fermentasi pada fase persiapan air
dan awal penebaran dan probiotik amonifikasi dan jenis phototroph dengan
aplikasi 0,5- 1 ppm setiap 1 minggu sekali.
Selama pemeliharaan pH media yang
diinginkan adalah 7,5 – 8,5 dengan fluktuasi harian tidak boleh lebih dari 0,5.
Untuk mendapatkan nilai optimal tersebut aplikasi CaCO3, Ca(OH)2, CaMgCO3
sebanyak 2- 5 ppm/hari dilakukan. Disamping untuk mensuplai mineral Calsium
maupun Magnesium yang kurang pada budidaya salinitas rendah. Penambahan
makromineral lain seperti K, Si juga diaplikasikan (pupuk formulasi komersiil)
dengan dosis 0,25 ppm/ minggu.
Manajemen pakan dilakukan untuk
efisiensi pakan akan tetapi tetap menghasilkan pertumbuhan sesuai dengan
sasaran kegiatan. Pakan yang digunakan adalah pakan udang windu dengan protein
36 - 40%. Program pakan dimulai secara blind feeding dengan pemberian awal 1 kg
pakan untuk 100.000 udang dengan kenaikan 200 – 600 gram/hari. Manajemen pakan
setelah umur 30 hari hingga panen manajemen pakan dilakukan berdasarkan hasil
sampling setiap 10 hari sekali dan kontrol ancho (feeding tray). Program
pakan berdasarkan berat tubuh udang :
Shrimp Live Body Weight (g
|
Recommended Feeding Rate (% body weight/day)
|
2 – 3
|
8.0 - 7.0
|
3 – 5
|
7.0 - 5.5
|
5 – 10
|
5.5 - 4.5
|
10 – 15
|
4.5 - 3.8
|
15 – 20
|
3.8 - 3.2
|
20 – 25
|
3.2 - 2.9
|
25 – 30
|
2.9 - 2.5
|
30 – 35
|
2.5 - 2.3
|
35 - 40
|
2.3 - 2.1
|
Pemanenan dilakukan secara total pada
usia pemeliharaan 119 hari dalam waktu yang singkat dengan penjaringan dan
pengeringan tambak.
Hasil
Parekayasaan
Selama pemeliharaan meski dilakukan
perlakuan yang sama, akan tetapi terdapat perbedaan performance baik nilai
sintasan dan pertumbuhan udang windu dari dua petak tersebut. Petak pertama
(L3) terlihat lebih rendah baik pertumbuhan dan nilai sintasannya dibandingkan
petak kedua (L4). Berikut data hasil produksi yang dihasilkan dari kedua petak
pemeliharaan.
Tabel. Peformance produksi udang windu
Petak
|
Luas petakan
|
densitas
(ekor/m2)
|
Jml tebar
(ekor
|
Produksi
|
||||||
DOC (hari)
|
SR (%)
|
Biomass (Kg)
|
MBW (gr)
|
Tot. Pakan
(Kg)
|
FCR
|
Prod/ha (Kg)
|
||||
L3
|
1000
|
15
|
15.000
|
119
|
50
|
203,4
|
27
|
341
|
1,83
|
2.034
|
L4
|
1000
|
15
|
15.000
|
119
|
60
|
285,6
|
31,3
|
535,0
|
1,9
|
2.856
|
Pertumbuhan udang selama pemeliharaan
hingga umur pemeliharaan 100 hari dapat dikatakan menunjukkan performance yang
baik, bahkan diatas pertumbuhan yang normal. Petak L4 yang mempunyai nilai SR
yang lebih tinggi juga menunjukkan trend pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan petak L3. Akan tetapi pada usia pemeliharaan diatas 100 hari
hingga panen pertumbuhan udang terlihat stagnan. Pada kedua petak pemeliharaan
masih terlihat adanya jambret atau mysid yang lolos dari treatment crustaside
di tandon. Jambret tumbuh dengan kelimpahan yang tinggi pada petak L4.
Tingginya kelimpahan jambret ini menjadi pakan alami bagi udang windu pada
petak L4.
Nilai rasio konversi pakan atau FCR
pada akhir pemeliharaan pada kedua petak cukup tinggi (1,8 – 1,9). Akan tetapi
tingginya nilai FCR tidak terjadi pada umur pemeliharaan dibawah 100 hari. Pada
umur pemeliharaan 100 hari dimana pertumbuhan terlihat tidak signifikan lagi
terlihat diiringi dengan kenaikan nilai FCR. Kualitas air sebelum penebaran
hingga beberapa minggu setelah tebar sangat fluktuatif hingga pada kondisi
kurang optimal. Terutama nilai pH yang tinggi > 9 hingga nilai alkalinitas
yang tinggi hingga > 200 ppm. Salinitas pada awal penebaran adalah 12 ppt,
yang berangsur – angsur turun hingga 3 ppt pada akhir pemeliharaan. Turunnya
salinitas ini sebagai hasil dari penambahan dari air hujan dan air tandon. Air
tandon sendiri bersumber dari sungai ciwadas yang bersalinitas rendah. Pada
petak L3 plankton sangat susah terbentuk, justru tumbuhan air dari jenis hydrilla
yang mendominasi. Tumbuhnya ganggang yang mendominasi pada petak L3
dikontrol dengan melakukan pengambilan secara manual. Berikut adalah data
kisaran kualitas air yang teramati selama pemeliharaan.
Pembahasan
Selama pemeliharaan, udang tidak
menunjukan gejala kematian secara masal hingga panen. Akan tetapi, nilai
sintasan sejak dilakukan sampling populasi pertama pada usia pemeliharaan 60
hari hingga panen tidak menunjukkan penurunan yang drastis. Nilai sintasan pada
petak L3 berkisar pada range 53 – 50% dari sampling pertama umur 60 hari hingga
panen. Sedangkan pada petak L4 nilai range sintasan adalah 63 – 60 %. Hal ini
dapat diduga bahwa kematian udang tertinggi terjadi pada usia awal pemeliharaan.
Pertumbuhan udang pada salinitas yang
rendah hingga 3 ppt, tidak menunjukkan nilai ADG yang lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan pada media dengan salinitas yang normal. Pertumbuhan udang normal
udang windu adalah 0,2 gr/hari, sedangkan selama pemeliharaan terutama pada
usia pemeliharaan < 100 hari bahkan mencapai tingkat pertumbuhan hingga 0,6
gram/hari. Kekhawatiran terjadinya defisiensi mineral dengan indikasi shoft
shell syndrome secara umum tidak terjadi selama pemeliharaan. Penambahan
makro mineral yang dibutuhkan udang secara periodik terutama kalsium,
magnesium, kalium kemungkinan menjadi penyebabnya. Akan tetapi kelengkapan data
rasio Ca/Mg yang ideal bagi pertumbuhan udang masih menjadi kelemahan dalam
kegiatan ini.
Munculnya udang mysid atau jambret
yang melimpah pada petak L4, dari aspek biosecurity mengkhawatirkan sebagai
carrier WSSV, akan tetapi disisi lain mampu sebagai makanan alami bagi udang.
Hal ini menjadi penyebab pertumbuhan udang di petak L4 lebih baik dibandingkan
petak L3.
Nilai rasio konversi pakan saat panen
pada kegiatan ini masih tinggi (>1,5), akan tetapi dari data terlihat
sebelum usia pemeliharaan 100 hari nilai rasio konversi pakan atau FCR berada
pada nilai < 1,2. Hal ini dikarenakan tingkat pertumbuhan udang windu pada
usia pemeliharaan di atas 100 hari terlihat stagnan hingga panen. Pemberian
pakan yang tidak diiringi dengan pertumbuhan yang signifikan menjadi penyebab
tingginya rasio konversi pakan. Oleh karena itu dapat menjadi catatan untuk
dilakukan pemanenan sebelum terjadinya pertumbuhan yang stagnan atau dilakukan
pengetatan pakan setelah pertumbuhan tidak signifikan lagi.
Selama pemeliharaan, serangan WSSV
tidak terjadi sehingga udang dapat dipanen hingga umur pemeliharaan 119 hari.
Meskipun tidak ada bukti ilmiah bahwa WSSV terhambat perkembanganya pada
salinitas rendah, akan tetapi terbukti WSSV lebih cepat menjadi outbreak pada
salinitas > 30 ppt. Akan tetapi salah satu trigger yang menyebabkan
virus WSSV outbreak yaitu bakteri vibrio menjadi terhambat pertumbuhanya pada
salinitas rendah dan media green water. Ini terlihat dari data yang
menunjukkan kelimpahan vibrio hanya 28 CFU/ml dari koloni kuning.
Kesimpulan
§
Secara
umum, budidaya udang windu pada salinitas rendah hingga 3 ppt dapat tumbuh
secara baik dengan teknologi semi intensif. Perbaikan perbaikan model masih
perlu untuk dilakukan untuk tingkat efektifitas dan efisiensi.
§
Budidaya
udang windu pada salinitas rendah dilakukan untuk memiminimalisir serangan WSSV
yang terjadi sebagai interaksi beberapa faktor. Penghambatan perkembangan
faktor penyebab outbreaknya WSSV pada media dengan salinitas yang rendah
menjadi harapan budidaya udang windu yang lestari.
Konsultasi
lebih lanjut Hubungi : 081369527719
Tidak ada komentar:
Posting Komentar