Selasa, 12 Maret 2013

BANDENG MERUNDA

BANDENG “MARUNDA”
POTRET GELIAT EKONOMI MASYARAKAT PINGGIRAN JAKARTA UTARA


Jakarta,... seringkali kita konotasikan negatif karena kehidupan sosial ekonomi yang terasa begitu keras hingga kebanyakan orang bilang Ibukota ini lebih kejam dari ibu tiri. Wajar memang karena itulah fenomena yang terjadi sampai saat ini, betapa tidak, kesenjangan ekonomi dan stratifikasi sosial  yang begitu kentara masih menjadi bagian dinamika kehidupan kota Terbesar di Indonesia ini.

Perjalanan kami dalam rangka melakukan monev terhadap kawasan budidaya air payau di Kawasan Jakarta Utara, akhirnya memutuskan untuk menuju Kecamatan Cilincing, dimana yang terbesit dalam benak kami adalah perkampungan nelayan cilincing yang kumuh disepanjang bantaran kali menuju muara
di Teluk Jakarta dan memang kenyataannya masih terjadi hingga kini. Kondisi teluk Jakarta yang semakin tercemar dan menyebabkan hasil tangkapan mereka menurun drastis, menambah kepiluan terhadap nasib saudara kita ini, betapa tidak karena bagi mereka laut adalah sumber kehidupan utama. Sesuai petunjuk dari Suku Dinas Jakarta Utara, kami mencoba menyusuri jalan menuju kawasan Merunda. Sungguh diluar dugaan karena disepanjang jalan terhampar areal pertambakan walaupun belum diketahui produktif atau tidak.

ami bersama tim, menuju sebuah areal pertambakan sekaligus rencana akan melakukan pertemuan langsung dengan masyarakat pembudidaya sebagai upaya untuk menggali beberapa hal terkait kegiata usaha meraka. Ternyata mereka sudah berkumpul digubuk yang menjadi base camp bagi kelompok, mungkin sebelumnya mereka telah dikonfirmasi bahwa kami akan datang. Sekilas kami biasa merasakan ada geliat ekonomi yang terjadi, walaupun kami hanya bisa merasakan dari keceriaan mereka yang memancarkan harapan dan keoptimisan. Keceriaan, keramahan, itulah yang seringkali kami temui saat bergumul dengan masyarakat pembudidaya hingga kadangkala menjadi obat psikologi tersendiri bagi kami.

Menurut pengakuan mereka, ternyata aktivitas budidaya tambak memang sejak dulu telah menjadi bagian kehidupan mereka, dan mejadi aktivitas yang secara turun temurun masih digeluti hingga kini. Bagi kami ini menarik karena ditengah pengaruh industrialisasi yang semakin mempersempit ruang gerak masyarakat pinggiran Jakarta sehingga menuntut mereka harus berjibaku mempertahankan hidup, ternyata sub sektor perikanan budidaya mampu bertahan dan menjadi penopang dan menjadi mata pencaharian utama sebagian masyarakat Marunda. Fenomena yang patut disyukuri sebagai anugerah Tuhan yang memang harus dimanfaatkan secara arif dan bijaksana.

Produktvitas mampu menopang ekonomi masyarakat.
Salah satu kelompok yang kami temui adalah Kelompok Bina Marunda Windu, dimana saat ini kegiatan budidaya yang dilakukan secara polikultur yaitu antara udang windu dengan bandeng dengan menerapkan teknologi tradisional, namun komoditas bandeng masih mendominasi dibudidayakan pada tambak yang dikelola kelompok seluas 14,6 Ha. Menurut Ustad Taufik, bahwa masing-masing anggota saat ini mengelola lahan seluas 0,5 – 1 Ha. Produktifitas pada setiap 1 unit tambak seluas 1 Ha mampu menghasilkan bandeng sebanyak 1,25 ton kg dan udang windu sebanyak 200 kg. Nilai ini menurut Taufik sudah mampu menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan harga udang windu saat ini Rp. 65.000/kg dan bandeng Rp. 25.000 /kg rata-rata anggotanya mampu menghasilkan keuntungan bersih Rp. 3-4 juta/ musim tanam selama 2,5 - 3 bulan. Apalagi menurut Taufik, saat ini padat penebaran masih belum dilakukan secara optimal, jika telah dilakukan mungkin nilai produktifitasnya akan jauh lebih tinggi. Terkait pasar, para pembudidaya sudah tidak susah lagi karena para pengepul langsung datang sendiri, sehingga secara umum transaksi dilakukan dilokasi budidaya.

Lain halnya dengan Kelompok  Raja Udang dan Bandeng yang digawangi Moch. Isro bahwa saat ini budidaya yang mendominasi pada areal tambak yang dikelolanya adalah udang windu dengan menerapkan budidaya semi intensif. Dari padat tebar sebanyak 20 ribu per ha mampu menghasilkan produksi maksimal sebanyak 250 kg size 30-35 dengan nilai jual rata-rata sebesar 16,5 jt (harga Per Kg Rp.65.000). “Paling tidak hasil ini cukup memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta, kalo tidak menguntungkan ‘gak mungkin kami bertahan sampai saat ini”, tuturnya. Walau produktifitas masih belum optimal, bagi kami ini merupakan suatu keberhasilan, ditengah lesunya aktivitas budidaya udang windu karena wabah white spot yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan bagi pembudiday udang, ternyata di pinggiran Jakarta Utara masih ada pembudidaya yang bertahan melakukan budidaya udang windu.

Sumber benih masih didatangkan dari luar, kebanyakan benur udang windu dan nener bandeng didatangkan dari Anyer Provinsi Banten. Secara umum pembudidaya telah mampu melakukan budidaya dengan sistem segmentasi usaha. Selain menjual udang Windu dan bandeng ukuran konsumsi, mereka juga menjual tokolan udang windu bagi kebutuhan pembudidaya di sekitarnya. Pada awalnya dengan melakukan pemeliharaan benur mulai PL 12 pada petak pendederan sampai ukuran tokolan. Oslah, demikian mereka sebut sebagai produk hasil pendederan yang sudah siap disuplly ke pembudidaya lain. Menurut Taufik harga benur PL 12 saat ini berkisar Rp. 17 /ekor, melalui segmentasi ini dirinya mengaku mendapat nilai tambah sebesar Rp.13/ekornya dengan jangka waktu pendederan selama 2 minggu. Dirinya mengaku telah men-suplly Oslah ke luar Jakarta.

Berdasarkan data Suku Dinas Pertanian Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, bahwa potensi lahan budidaya air payau di Kota Jakarta utara mencapai 486,7 Ha, dengan rincian Kec. Penjaringan 154 Ha, dan Kecamatan Cilincing 332,7 Ha. Total produksi budidaya air payau sampai dengan tahun 2010 mencapai 668 ton, masing-masing kecamatan penjaringan 308 ton dan Kecamatan Cilincing 360 ton, dimana komoditas yang mendominasi adalah bandeng dari total pembudidaya ikan sebanyak 258 yang tersebar di Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Cilincing. Dari total lahan budidaya tersebut, menurut Risnadi, A.Pi Kepala Seksi Perikanan Budidaya Suku Dinas Pertanian Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara secara umum kepemilikannya bukan ditangan masyarakat sekitar, namun berdasarkan perjanjian sewa guna lahan. Hal, ini diperkuat oleh pernyataan dari Bp. Isro bahwa dirinya dan kelompok menyewa lahan milik TNI AU dengan sistem sewa yang tidak terbatas. “Yang penting anggota bisa ikut berpartisipasi menjaga gudang milik TNI”, tuturnya.

Kelembagaan kelompok cukup baik
Kesadaran pembudidaya akan pentingnya berkelompok menjadikan usaha budidaya bisa bertahan sampai saat ini, melalui kelompok mereka mampu dengan mudah untuk mendapatkan akses produksi, akses pasar dan permodalan. Kelompok Bina Marunda Windu memang secara resmi belum lama berdiri, namun secara alamiah sebelumnya kegiatan berkelompok sudah mulai berjalan. Sejak berdiri tahun 2006 yang diinisiasi oleh Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, kelompok yang digawangi Ustad Taufik ini saat ini telah menaungi sebanyak 25 anggota. Kegiatan kelompokpun berjalan cukup efektif mulai dari kegiatan pertemuan rutin sampai dengan pengelolaan keuangan dan manajemen usaha. Ditambah lagi peran pendampingan dan advokasi dari petugas penyuluh cukup efektif. Dalam menghadapi permasalahan dinamika kelompok, menurut Ustad Taufik kelompoknya rutin melakukan pembinaan melalui pendekatan moral dan keagamaan. “Kegiatan arisan dan pengajian, bagi kami sebagai senjata ampuh dalam membangun kepercayaan dan tanggung jawab moral antar anggota”, tambahnya. Melalui kerja keras dan peran aktif dari anggota kelompok, bahkan kelompok BMW mampu menjadi salah satu kandidat juara kelembagan kelompok yang diadakan Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Harapannya keberhasilan kelompok BMW akan menjadi embrio bagi munculnya pokdakan-pokdakan  sejenis.

Bentuk dukungan pemerintah
Sebagai wujud dukungan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Ditjen Perikanan Budidaya baru-baru ini  telah dialokasikan dana penguatan modal melalui Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) Perikanan budidaya Tahun 2011. Melalui Program ini diharapkan akan dikelola secara efektif dan mampu menopang peningkatan produksi bandeng. Tahun ini Kota Jakarta Utara mendapat alokasi PUMP sebanyak 3 (tiga) paket atau senilai Rp.300 juta seluruhnya untuk mendukung kegiatan budidaya baik payau maupun budidaya air tawar. Menurut Taufik, dana PUMP akan digunakan untuk membeli sarana dan prasarana pendukung khusus untuk budidaya bandeng. Melalui PUMP ke depan aktivitas budidaya secara total akan didominasi oleh budidaya bandeng. Pilihan tersebut menurutnya karena budidaya bandeng sangat minim resiko dibanding udang windu yaitu tingkat kelulushidupan mampu mencapai > 95%. Melalui PUMP tentunya diharapkan akan mendorong peningkatan produksi dan pendapatan anggota kelompok.

Mendorong diversifikasi produk budidaya
Jakarta sebagai basis orientasi pasar bagi komoditas di semua sektor merupakan peluang tersendiri bagi pasar produk hasil perikanan. Maka kegiatan budidaya bandeng yang dilakukan di Marunda, hendaknya dilihat sebagai peluang usaha yang sangat prospektif. Melihat kekuatan dan peluang tersebut, maka ke depan perlu ada langkah terobosan yaitu melalui diversifikasi produk budidaya bandeng sebagai upaya meningkatkan nilai tambah produk. Dengan menjadikan bandeng sebagai produk olahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya pengolahan bandeng duri lunak (presto) ataupun bandeng tanpa duri serta bentuk olahan lainnya. Ada 2 (dua) nilai tambah yang diperoleh : Pertama, dari aspek ekonomi akan memungkinkan adanya peningkatan nilai tambah produk; Kedua, dari aspek sosial akan mampu memberikan peluang tenaga kerja lebih banyak lagi misalnya melalui pemberdayaan para ibu-ibu di sekitar kawasan budidaya. Konsep ini mendapat  sambutan baik dari kelompok, bahkan suku dinas berencana untuk mengalokasikan anggaran untuk penyediaan peralatan pengolah. Tahun lalu nampaknya kelompok telah melakukan studi banding ke Kepulauan Seribu untuk melihat prosedur pengolahan bandeng tanpa duri.

Ke depan, melalui diversifikasi produk, brand image “Bandeng Marunda” bukan tidak mungkin akan dikenal dan menjadi peluang usaha prospektif  yang secara langsung mampu mendorong pergerakan ekonomi lokal dan masyarakat Marunda khususnya. Ditengah kesenjangan sosial dan ekonomi di pinggiran Jakarta ini, sub sektor budidaya diharapkan menjadi alternatif utama dalam merubah nasib masyarakat pinggiran menjadi lebih baik. Sesuatu yang tidak mustahil untuk dicapai, jika ada kemauan, komitmen dan tanggungjawab dari semua pihak,...

Fenomena semakin menurunnya kualitas perairan di sekitar Teluk Jakarta sebagai akibat dari cemaran dari aktivitas sosial, perlu disikapi secara serius dan  segera ditindak lanjuti agar tidak berimbas secara langsung terhadap aktivitas perikanan budidaya disekitarnya.


Posted by Cocon

Tidak ada komentar: