Rabu, 14 Mei 2014

Sertifikasi CBIB



CBIB UNTUK BUDIDAYA YANG BERDAYA SAING 
(Membangun tanggungjawab moral,.
CBIB harusnya menjadi sebuah kebutuhan)


Selama hampir 3 (tiga) dekade (antara Tahun 1970 s/d 1998) bisnis perudangan Indonesia telah mampu menyihir minat para pelaku usaha untuk menggelontorkan investasi dengan nilai yang sangat besar, tujuannya tiada lain untuk melakukan spekulasi bisnis pada usaha ini. Tengok saja, hampir di seluruh kawasan pesisir di
Indonesia terhampar luas lahan pertambakan udang sebagai ladang untuk mendulang dollar.

Memang sudah bukan rahasia umum pada saat itu si bongkok begitu julukan bagi udang windu (Penaeus monodon) telah menjadi primadona dan menjadi barang berharga di kalangan masyarakat. Betapa tidak, kala itu udang windu hampir menyamai rekor daya tarik kemilau emas di mata pelaku usaha budidaya. Tingginya permintaan ekspor udang ke berbagai negara khususnya Jepang dan Uni Eropa serta trend harga yang terus melangit, memicu para pelaku usaha budidaya untuk menggenjot produksi sebesar-besarnya.

Ironisnya, Kejayaan udang windu yang sempat memenuhi pundi-pundi devisa negara selama beberapa dekade tersebut ternyata menyisakan masalah berkepanjangan. Tidak adanya kontrol terhadap pengelolaan proses produksi budidaya serta aktivitas budidaya yang mengabaikan nilai lestari telah nyata menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan budidaya dan merupakan faktor utama penyebab munculnya hama penyakit pada udang windu.

Klimaksnya, mulai Tahun 1998 pamor udang windu yang sempat menghiasi bisnis perudangan nasional, sejak tahun 1998 mulai meredup dan bahkan mengalami titik kritis. Penyebabnya tiada lain adalah munculnya wabah penyakit white spot yang disebabkan oleh virus WSSV (white spot syndrome virus). Wabah virus WSSV secara cepat mempengaruhi penurunan produksi udang windu di Indonesia. Menurut Lighter (2011), menyebutkan bahwa nilai kerugian usaha budidaya udang dunia akibat penyakit white spot (virus WSSV) pada Tahun 2009 mencapai angka US$ 15 billion, nilai yang sangat besar tentunya.

Kegagalan budidaya udang windu, memicu adanya kebijakan untuk melakukan importasi induk udang dari negara lain, dimana Tahun 2001 introduksi udang vanname (Litopenaeus vanname) dari Hawaii membawa angin segar pada bisnis perudangan nasional. Vanname dinilai mempunyai keunggulan dibanding windu antara lain : lebih tahan terhadap penyakit; dan masa pemeliharaan yang relatif cepat. Pertimbangan itu pula, masyarakat mulai ramai-ramai untuk melirik primadona baru tersebut, puncaknya usaha budidaya udang vanname telah menjadi trend baru dikalangan masyarakat pembudidaya.

Namun ,harapan baru tersebut mulai terancam, betapa tidak vanname yang diunggulkan tahan terhadap WSSV ternyata memicu munculnya jenis virus baru. TSV (Taura Syndrome Virus) teridentifikasi menginfeksi udang vannmae dan berpotensi mengancam kegiatan usaha budidaya udang vanname. Disamping virus diatas, beberapa jenis virus lain perlu diwaspadai karena setiap saat akan mengancam keberhasilan budidaya udang.

Kunci utama dalam pengendalian hama dan penyakit adalah melalui penerapan biosecurity yang menjadi salah satu bagian dari prinsip CBIB disamping aspek keamanan pangan (food safety) dan ramah lingkungan (eviromental friendly). Keamanan biologi atau lebih dikenal dengan Biosecurity merupakan upaya mencegah atau mengurangi peluang masuknya penyakit ke suatu sistem budidaya dan mencegah penyebaran dari satu tempat ke tempat lain yang masih bebas.  Namun demikian secara umum pada kenyataannya prinsip biosecurity belum sepenuhnya diterapkan pada kegiatan budidaya udang 1).
Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan pola manajemen budidaya udang yang dilakukan di negara lain misalnya saja Thailand, dimana prinsip biosecurity menjadi pertimbangan utama sebagai penentu keberhasilan budidaya udang. Pembudidaya seringkali belum menyadari bahwa pengelolaan air bukan hanya dilakukan pada air yang masuk, namun pengelolaan air buangan budidayapun yang sangat penting untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit udang terhadap lokasi budidaya disekitarnya. Mempertimbangkan fenomena di atas maka social awareness perlu ditanamkan terhadap para pembudidaya, sehingga ada komitmen dan tanggungjawab bersama dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan masuknya hama dan penyakit serta kemungkinan dampak penyebaran terhadap lingkungan budidaya disekitarnya.
Pentingnya penerapan prinsip CBIB dalam proses produksi budidaya sebagai bagian upaya pengendalian hama dan penyakit udang harus ditanamkan pada pembudidaya. Hasil indentifikasi permasalahan pada kawasan budidaya udang yang dilakukan BBPBAP Jepara, terdapat  beberapa  faktor yang diduga sebagai penyebab  munculnya penyakit sehingga menyebabkan  kegagalan panen   antara lain: 1) Kualitas benih yang rendah dan sudah  terinfeksi  penyakit virus; 2) Kondisi Lingkungan tempat budidaya meliputi  sumber air  berkualitas rendah dan  terkontaminasi oleh pathogen penyebab penyakit dan 3) Pengelolaan lingkungan tambak selama pemeliharan  yang kurang baik  menyebabkan  kualitas lingkungan  rendah dan terjadi fluktuasi kualitas lingkungan  yang luas selama proses pemeliharaan menyebabkan udang mengalami stress sehingga kondisi udang melemah,  yang pada akhirnya mudah terserang penyakit 2). 
Berdasarkan permasalahan, maka perlu ada upaya antisipasi dini pencegahan penyakit dalam budidaya udang. Salah satu konsep yang saat ini telah diterapkan adalah melalui penerapan CBIB secara konsisten dalam semua tahapan proses produksi budidaya.

Mendorong CBIB Sebagai suatu kebutuhan,..

Seiring dengan mulai meningkatnya kesadaran masyarakat konsumen global terhadap pentingnya jaminan keamanan pangan (food safety), maka sudah menjadi tuntutan dan persyaratan mutlak bahwa setiap aktivitas usaha yang menghasilkan produk makanan (food grade) harus terjamin baik mutu maupun keamanannya, tidak terkecuali bagi produk Perikanan yang saat ini telah menjadi produk primer dan berperan penting dalam menopang ketahanan pangan dunia. Keterjaminan mutu dan keamanan pangan hasil produksi perikanan tersebut harus mulai diterapkan mulai dari hulu sampai hilir sebagai bagian integral dari sistim jaminan mutu dan keamanan pangan.

Pola pikir klasik yang mendasari minimnya kesadaran masyarakat baik pembudidaya maupun konsumen di Indonesia terhadap pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan hasil perikanan budidaya menjadi salah satu penyebab minimnya pencapaian sertifiksi CBIB. Pola manajemen budidaya yang sehat dan aman, seringkali masih diabaikan oleh pelaku budidaya khususnya pada unit usaha dengan komoditas non ekspor, hal ini disebabkan masih ada anggapan bahwa dampak CBIB belum bisa memberikan nilai tambah maupun posisi tawar bagi produk yang dihasilkan, toh, produk hasil budidaya masih diterima di pasar lokal dengan harga yang sama.

Disisi lain konsumen lokal seringkali juga tidak peduli dengan mutu dan keamanan produk karena lebih mempertimbangkan harga dibanding mutu. Hal inilah yang menjadikan Pemerintah harus lebih bekerja ekstra keras dalam upaya melakukan sosialisasi dan pembinaan bukan hanya terhadap pembudidaya tapi juga terhadap konsumen.

Kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap jaminan mutu dan keamanan pangan harus mulai ditanamkan sedini mungkin terhadap pelaku usaha budidaya, pelaku bisnis/industri dan masyarakat konsumen bukan hanya pada komoditas ekspor tetapi juga terhadap komoditas non ekspor (lokal), sehingga CBIB kedepan bukan hanya sebatas prasyarat administrasi tapi harus sudah menjadi sebuah kebutuhan pada tataran masyarakat pembudidaya.
Pemberian insentif dari Pemerintah dalam bentuk dukungan materi justru hanya bersifat instan dan tidak mendidik, insentif akan berjalan dengan sendirinya antara produsen dan konsumen jika sudah terbangun kesadaran bersama. Ke depan seiring dengan pengaruh perubahan paradigma pola pikir masyarakat konsumen yang semula berorientasi terhadap harga produk murah menjadi produk yang berbasis mutu dan aman, maka CBIB akan menjadi  pra syarat multak dan ini harus diberikan pemahaman terhadap masyarakat khususnya pembudidaya.
Program gemar makan ikan hendaknya didorong dengan memberikan pemahaman terhadap pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan terhadap konsumen, sehingga sosialisasi dan pembinaan seyogyanya bisa melibatkan lintas sektoral khususnya yang membidangi perdagangan, dan kesehatan.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan reward dan punishment dari Pemerintah dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat konsumen harus segera diimplementasikan secara konsisten. Kita punya regulasi yaitu Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012, namun diakui masih mandul dalam tataran implementasi. Tanggungjawab moral terkait jaminan mutu dan keamanan pangan harus diimbangi oleh konsistensi penerapan regulasi, sehingga akan terbangun tanggungjawab bersifat timbal balik dari stakeholders pelaku usaha perikanan antara produsen dan konsumen.
Kondisi ini tentunya berbeda dengan negara maju semisal Jepang, bahwa tingkat kesadaran terhadap mutu dan keamanan pangan produk perikanan telah melekat pada masyarakat bukan hanya terhadap produsen tetapi pada tataran konsumen. Tanggungjawab dan kontrol terhadap mutu dan keamanan suatu produk telah mampu dilakukan secara ketat dan mandiri, sehingga pemerintah hanya bersifat sebagai kontrol bukan pengendali secara langsung. Terhadap suatu kejadian/kasus keamanan pangan, pemerintah ataupun lembaga akan dengan mudah dan cepat menemukan sumbernya, karena jaminan treacibility yang sangat baik pada seluruh tahapan proses produksi mulai di hulu sampai di hilir, disamping itu penerapan reward dan punishment dilakukan secara konsisten.

Mungkin Indonesia perlu membentuk sebuah lembaga independen atau semi Pemerintah sebagai upaya melakukan control terhadap jaminan mutu dan keamanan pangan, sebagaimana halnya yang dilakukan di Jepang.

Antisipasi Dini Penyakit melalui Analisis Resiko Impor (Import Risk Analysis)

Penurunan produksi udang pada kenyataannya lebih disebabkan oleh kegagalan produksi sebagai akibat akibat serangan virus, dimana  sumbernya dapat berasal dari udang impor. Importasi udang dan produknya dari negara lain memberikan kemungkinan penyakit udang untuk masuk ke Indonesia, hal ini dapat mempengaruhi kesehatan dan berdampak terhadap kegagalan produksi udang nasional yang pada giliranya dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat pembudidaya.

Analisa Resiko Impor (Import Risk Analysis) untuk komoditas udang baik dalam bentuk induk, benih maupun produk dimaksudkan untuk menilai resiko terbawanya hama penyakit udang ke Indonesia dikaitkan dengan importasi secara objektif dan transparan sehingga tindakan kesehatan ikan dapat dijustifikasi secara alamiah. Perjanjian WTO (World Trade Organization) mengenai tindakan Sanitary and Phystosanitary (SPS agreement) mengakui secara sah penerapan tindakan-tindakan yang ditempuh suatu negara untuk melindungi manusia dan hewan terhadap resiko masuknya penyakit 3).

Analisis Resiko Impor dapat diberlakukan terhadap negara anggota OIE (Office International des Epizooties) atau Badan Kesehatan Hewan Dunia, yaitu meliputi a) jenis atau strain/varietas ikan baru; b) produk perikanan baru; c) jenis ikan berbahaya; d) ikan  dan produk perikanan dari negara asal yang memiliki   penyakit baru; e) ikan dan produk perikanan dari negara asal yang sedang terkena wabah; f) pertama kali masuk dari suatu negara. Sedangkan bagi negara yang bukan anggota OIE larangan impor dapat diberlakukan terhadap semua produk 4).
Harapan itu masih ada dan kian terbuka,..

Lika-liku perkembangan usaha budidaya udang dengan segenap kompleksitas permasalahan yang mendera pada kenyataannya telah memberikan pelajaran berharga kepada kita stakeholders bahwa semua itu terletak pada kurang pedulinya pelaku usaha budidaya terhadap manajemen budidaya yang lestari dan berkelanjutan. Peningkatan produksi secara besar-besaran akan memicu masalah baru jika pengelolaan budidaya tidak memperhatikan daya dukung dan kelestarian lingkungan.

Ya, mungkin kita harus berlapang dada untuk kembali menuruti pribahasa bahwa “Kegagalan adalah Pengalaman Berharga”. Konkritnya saat ini bagaimana  kegagalan dimasa lalu tersebut tidak menjadi preseden buruk dan terulang pada saat ini dan yang akan datang melalui upaya kerja keras dalam melakukan perubahan secara signifikan melalui penerapan pola manajemen budidaya berkelanjutan (Sustainable Aquaculture).

Pembinaan dan sosialisasi pentingnya penerapan teknologi anjuran berbasis CBIB perlu terus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan bukan hanya sebagai tanggungjawab Pemerintah melainkan stakeholders lain dapat secara langsung terlibat dalam upaya yang sama. Peran pembinaan harus harus secara langsung menumbuh kembangkan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) yang mampu menerapkan standar dan teknologi anjuran untuk menghasilkan produk perikanan budidaya yang berdaya saing.
Komitmen dan konsistensi pelaku usaha budidaya dalam menerapkan prinsip-prinsip CBIB dalam semua tahapan proses produksi mutlak perlu ditanamkan dan diimplementasikan secara nyata, jika tidak ingin masuk ke lubang yang sama,.. saatnya menatap masa depan bisnis perudangan yang lebih baik,.. Semoga..


Rujukan :
(1)   Kebijakan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan. Makalah Prensentasi disampaikan pada Pelatihan Auditor CBIB di Bandung. Direktorat Produksi DJPB. Tahun 2012

(2)   Makalah Presentasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada Temu Lapang Budidaya Air Payau di Kendal Tahun 2011

(3)   Kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Sanitari dan Fitosanitar. www.daff.gov.au. Diakses Tanggal 25 Oktober 2012

(4)   Analisa Resiko Impor Produk Hewan. tatavetblog.blogspot.com/2010. Diakses Tanggal 25 Oktober 2012

Tidak ada komentar: