Rabu, 14 Mei 2014

Wacana Rumput Laut



MENGURAI BENANG KUSUT
BISNIS RUMPUT LAUT NASIONAL
(Sebuah penantian : “keseriusan untuk berbenah”)


Sudah tidak dapat dipungkiri lagi tumbuhan laut (makro alga) yang satu ini telah menjadi primadona pada tataran perdagangan global. Rumput laut dengan berbagai manfaatnya dapat diolah menjadi begitu banyak varian hasil olahan,
baik yang merupakan bahan baku utama maupun sebagai bahan baku tambahan (bahan emulsi) pada beberapa produk dari industrial grade, farmaeutical grade dan food grade. Dan faktanya, rumput laut tersebut mampu tumbuh subur di perairan Indonesia dimana diperkirakan lebih dari 500 jenis rumput laut tersebar di perairan Indonesia.

Dari sisi produksi, Indonesia telah mampu mengungguli Philipina sebagai produsen rumput laut Eucheuma cottoni hasil budidaya terbesar dunia. Data capaian produksi rumput laut nasional tahun 2012 sebesar 6.201.400 ton, dan mampu melampaui target capaian produksi pada tahun yang sama sebesar 21,6% dari target yang diproyeksikan sebesar 5.100.000 ton atau menguasai 60% terhadap share produksi perikanan budidaya nasional. Merujuk pada data FAO, bahwa pada tahun 2011 Indonesia merupakan produsen rumput laut untuk jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria terbesar di dunia dengan memberikan share masing-masing untuk E. cottoni sebesar (98,2%) dan Gracillaria sebesar (90,5%) terhadap produksi rumput laut dunia (sumber : Fishstat FAO, Maret 2013). Produksi rumput laut dunia sebesar masing-masing untuk jenis E. cottonii : 4.623.754 ton dan Gracillaria 697.240 ton 1).
Kinerja positif tersebut di atas bukan hal yang mencengangkan mengingat jika dikaitkan dengan potensi yang ada Indonesia bukan tidak mustahil mampu menghasilkan produksi yang lebih besar lagi.

Terlepas dari capaian kinerja positif di sektor hulu (on farm), sebenarnya ada hal lain yang justru menjadi batu sandungan dan bahkan cukup ironis. Faktanya, capaian produksi yang maksimal tadi, justru belum mampu menciptakan nilai tambah yang seharusnya dirasakan oleh pelaku usaha khususnya pembudidaya. Fakta lain, ternyata dari total produksi rumput laut nasional tersebut, lebih dari 80% diekspor dalam bentuk raw material yang justru nilai tambah produk hanya dirasakan oleh Negara-negara importir seperti China dan hanya 20% saja yang diolah pada industri nasional.

Kondisi ini berimbas pada stabilitas harga yang fluktuatif, karena secara umum harga dikendalikan oleh pihak eksportir sehingga tidak mampu memberikan nilai tambah di tingkat pembudidaya dan industri nasional cenderung sulit bersaing. Yang lebih ironis lagi, ternyata industri nasional sebagian besar masih mengimpor produk Refine Carageenan (RC) dari Negara lain sekitar 1.250 ton/tahun untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Pada saat pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor raw material, ternyata direspon negatif oleh negara importir khususnya China yang mengancam akan melirik pasar bahan baku lain di luar Indonesia, disisi lain dampak ini akan merugikan masyarakat pembudidaya, karena faktanya industri nasional belum siap melakukan penyerapan produk bahan baku. Inilah, yang membuat kita prihatin, Indonesia sebagai produsen rumput laut ternyata harus disetir oleh para negara importir, dimana mestinya Indonesia mampu berdaulat dengan menjadi kiblat industri rumput laut dunia.

Dari sekian fakta di atas, tentunya dapat diambil kesimpulan, bahwa siklus bisnis rumput laut di Indonesia memang masih dihadapkan pada masalah-masalah yang kompleks. Penulis mencoba untuk mengurai benang merah, kenapa siklus bisnis rumput laut ini sulit berkembang dan belum memberikan nilai tambah signifikan bagi para pelaku usaha.

Pertama, pada zona hulu, antara lain produksi yang masih belum stabil pada beberapa daerah yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan perairan yang fluktuatif, degradasi kualitas bibit, dan konflik kepentingan berkaitan dengan pemanfaatan ruang perairan. Kondisi ini tentunya perlu ditindaklanjuti dengan meningkatkan peran riset dan perekayasaan untuk menghasilkan bibit unggul/berkualitas dan adaftif. Hasil seleksi klon dan kultur jaringan hendaknya harus segera diaplikasikan secara masal pada sentral-sentral produksi melalui pengembangan kebun bibit yang dikelola secara efektif.

Fenomena sering terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang perairan, hendaknya difasilitasi dengan segera menetapkan regulasi Rencana Tata Ruang Wilayah Perairan, sehingga kejadian seperti di Bali yang menuntut para pembudidaya rumput laut terpaksa harus beralih profesi/berpindah sebagai akibat gesekan dengan sektor parawisata tidak akan terjadi lagi. Sinergitas antar lintas sektoral hendaknya harus segera dibangun untuk menyatukan persepsi, dimana sebenarnya aktivitas budidaya bisa disinergikan dengan aktivitas wisata, misalnya melalui Program “Wisata Mina”.

Kedua, pada zona antara, penulis menilai biangkerok kurang berjalannya siklus bisnis rumput laut adalah karena masih amburadulnya pola tata niaga termasuk rantai pasok (suplly chain) ditingkat bawah (zona I pembudidaya dan zona II pengepul/tengkulak), sehingga mempengaruhi rantai nilai (value chain). Sayangnya kondisi ini selalu luput dari perhatian kita dan masih menganggap sebagai micro problem padahal sebenarnya inilah titik tolak permasalahan siklus bisnis rumput laut.

Kita masih terfokus pada penyelesaiaan masalah-masalah makro. Betapa tidak, pada satu kawasan saja, peran spekulan masih mendominasi, berapa banyak peran pengepul yang belum tertata dengan baik, berapa banyak ketergantungan pembudidaya terhadap tengkulak sehingga terjadi monopoli pasar. Permasalahan tata niaga dan suplly chain yang terjadi di zona ini jika dibiarkan sudah otomatis akan mempengaruhi stabilitas harga, jaminan mutu dan kontiyuitas produk, imbasnya tentu nilai tambah tidak akan mampu dirasakan masyarakat pembudidaya, disisi lain industri nasional tidak akan mampu berkembang dengan baik.

Melihat permasalahan di atas, maka hendaknya pemerintah (pusat dan daerah) segera memetakan permasalahan tata niaga dan suplly chain pada setiap kawasan/sentral produksi untuk kemudian menyusun regulasi dalam penataan pola tata niaga.

Ketiga, masih belum terbangunnya kelembagaan yang kuat baik kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang. Faktanya, secara umum disetiap sentral produksi budidaya masih belum terbangun kelembagaan yang kuat atau bahkan belum terbentuk kelembagaan. Padahal, kelembagaan tersebut menjadi bagian yang sangat penting dalam membuka kran pengembangan kemitraan usaha, sehingga akan lebih mudah dalam mendapatkan akses produksi, informasi teknologi, informasi pasar/harga yang berimbang dan permodalan. Jika ini sudah terbangun dengan baik, maka optimis siklus usaha akan berjalan dengan baik. Contoh, peran koperasi Kopermindo di Makassar Sulawesi Selatan yang telah secara nyata mampu membangun iklim usaha yang positif, patut menjadi referensi positif bagi kawasan lain di Indonesia.

Keempat, penerapan standar teknologi budidaya dan standar mutu produk secara konsisten melalui peran pembinaan kepada pelaku usaha rumput laut. Membangun tanggungjawab sadar “Mutu” sudah seharusnya ditanamkan baik pada pembudidaya maupun pelaku usaha lain. Tanggungjawab dan kesadaran akan terbangun jika kedua belah pihak (hulu-hilir) sama-sama mempunyai tanggungjawab moral dan adanya umpan balik yang positif, sehingga lagi-lagi penguatan kelembagaan dan kemitraan usaha menjadi bagian penting dalam menciptakan hubungan mutualisme.

Pemerintah sudah seharusnya mengeluarkan kebijakan wajib standar bagi produk rumput laut. Persyaratan ekspor yang dikeluarkan China terkait Health Certificate bagi rumput laut memberikan dampak positif bagi terbangunnya kesadaran terhadap pentingnya standar mutu dan keamanan pangan (food safety). Gerakan sadar SNI harus segera diaplikasikan terhadap semua stakeholders rumput laut.

Kelima, belum terbangunnya rantai nilai (value chain), faktanya masyarakat pembudidaya belum merasakan nilai tambah, yang seharusnya sebenarnya mereka pantas mendapatkannya. Konsep, pengembangan unit pengolahan pada sentral-sentral produksi hendaknya diimbangi ketersediaan market oriented yang sudah pasti, standar mutu produk yang diinginkan pasar, SDM pengelola dan dukungan manajemen pengelolaan yang baik. Kondisi tidak berjalannya unit pengolahan yang telah dibangun, adalah sebagai akibat dari belum terpenuhinya persyaratan dimaksud.

Pemerintah sebenarnya tinggal memfasilitasi dan mengadvokasi kemungkinan terbangunnya kemitraaan usaha antara pembudidaya dengan industri tanpa harus membangun unit pengolahan yang dibangun sendiri pemerintah. Intinya, biarkan peran di hilir (pengolahan) dikendalikan oleh pihak swasta, dimana pemerintah tinggal mengawasi dan memfasilitasi terhadap pengembangan industri rumput nasional.

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai kiblat industri rumput laut dunia, maka pemerintah harus berupaya menarik investor untuk membangun industri rumput laut di Indonesia, disisi lain menarik minat importir utama semisal China untuk membangun perwakilan industri di Indonesia, dimana kebijakan ini tentunya juga dengan mendorong berkembangnnya industri nasional yang telah ada. Sudah mulai diterapkannya konsep “Resi Gudang Rumput Laut” sudah seharusnya diiplementasikan secara konsisten pada seluruh kawasan/sentra produksi.

Keenam, belum terbangunnya sinergitas. Lagi-lagi ini menjadi penyakit kronis yang menjadi penyebab implementasi kebijakan menjadi mandeg. Sebagaimana amanat Wakil Presiden Budiono untuk fokus menjadikan rumput laut sebagai komoditas unggulan nasional yang berpotensi besar menggerakan ekonomi nasional, telah ditindaklanjuti melalui penandatanganan nota kesepahaman antara 6 (enam) Kementerian/Lembaga melalui pembentukan Pokja Rumput Laut. Namun tidak dapat dipungkiri kinerja inipun masih belum cukup maksimal, lagi-lagi masalahnya adalah sinergitas lintas sektoral yang belum terbangun dengan baik.

Masih terjadinya tumpang tindih peran pada masing-masing lintas sektoral menjadikan implementasi kebijakan belum berjalan mulus. Penulis menyarankan hendaknya, membuat dan menetapkan road map dan action plan rumput laut dalam skala Nasional sebagai acuan pelaksanaan kebijakan, sehingga masing-masing sektoral akan fokus pada perannya masing-masing dengan tetap membangun koordinasi.

Keenam masalah di atas bagi penulis merupakan masalah utama penyebab siklus aquabisnis rumput laut Indonesia tidak berjalan berkesinambungan, sehingga harus segera dicarikan solusi dan ditindaklanjuti secara konsisten. Kedepan, kebutuhan dunia akan rumput laut diprediksi akan semakin meningkat, sehingga Indonesia harus bersiap diri, bukan hanya sebagai pemasok bahan baku, namun menjadi pengendali perdagangan rumput laut dunia karena telah mampu mandiri dan berdaulat sebagai kiblat rumput laut dunia. Bukan mustahil ini akan terwujud selama ada kemauan, tanggungjawab dan kerjasama sinergi dari semua pihak.

Terakhir, ada fenomena menarik apa yang disampaikan seorang pakar/peneliti bahwa sejak tahun 2003 China memang telah melihat Indonesia sebagai ladang sumberdaya rumput laut, sehingga kala itu mereka melakukan kerjasama untuk melakukan riset terhadap nilai guna rumput laut bagi beberapa end product.  Hasilnya China telah mampu mengaplikasikan hasil riset tersebut untuk menghasilkan beragam jenis end product berbasis rumput laut, hebatnya lagi mereka telah melihat pangsa pasar dalam negeri yang begitu besar, sehingga nilai tambah produk benar-benar dirasakan.

Lalu, Indonesia lagi-lagi hanya sebagai ladang, inilah yang kita prihatinkan bahwa pada kenyataanya riset menjadi hal yang masih dikesampingkan padahal itu kunci bagi percepatan pergerakan ekonomi suatu Negara. Kita masih punya lebih dari 500 jenis rumput laut yang harus segera kita manfaatkan nilai gunanya dengan sumberdaya serta pangsa pasar yang besar, jika tidak, maka kita akan kecolongan si emas hijau ini.


Rujukan

(1)Data Produksi Rumput Laut Dunia Tahun 2011. FAO. Dirilis bulan Maret Tahun 2013



Tidak ada komentar: