Senin, 10 Agustus 2015

Sustainability part III

Menyikapi Masalah Waduk Cirata

Oleh :
Cocon, S.Pi*


Fenomena permasalahan lingkungan di Perairan Umum seolah terus menerus terjadi, belakangan masalah waduk Cirata menjadi polemik di tengah –tengah masyarakat, imbasnya tentunya dirasakan langsung baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Pada awalnya peruntukan waduk Cirata adalah untuk kebutuhan suplai listrik Jawa dan Bali, namun demikian dalam perjalannya Waduk Cirata dimanfaatkan untuk sektor lainnya terutama budidaya perikanan dan parawisata.


Polemik waduk Cirata semakin mencuat seiring dengan mulai munculnya permasalahan lingkungan yang berdampak terhadap kerusakan SDA dan lingkungan. Beberapa pihak menilai bahwa aktivitas budidaya ikan di KJA yang tak terkendali menjadi penyebab utama menurunnya kualitas lingkungan waduk Cirata. Aktivitas usaha KJA tersebut telah secara nyata melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan perairan waduk.  Sebagai gambaran, saat ini jumlah KJA yang ada lebih dari 56.000 unit padahal berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagaimana dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor  41 tahun 2002 tidak lebih dari 12.000 unit saja (bisnis-jabar.com).

Butuh Solusi Komprehensif

Sebenarnya ada 2 (dua) hal pokok yang menjadi penyebab utama permasalahan waduk Cirata yaitu pertama berkaitan dengan faktor ekologis, dan kedua berkaitan dengan regulasi.

Permasalahan pokok perairan waduk Cirata saat ini adalah penurunan kualitas perairan secara drastis, laju sedimentasi yang tinggi, dan eutrofikasi yang tak terkendali, sehingga berdampak terhadap penurunan suplai air untuk pembankit listrik dan kematian masal pada usaha budidaya KJA.

Ada hal yang justru terabaikan atas faktor penyebab ke tiga masalah lingkungan tersebut. Betul memang aktivitas budidaya ikan di KJA memberikan kontribusi besar terhadap penyebab permasalahan yang ada, penumpukan bahan organik akibat pemberian pakan yang tak terkontrol menyebabkan akumulasi bahan organik dan secara langsung menaikan tingkat BOD (biochemycal oxigen demand) sebagai indikator tingginya tingkat pencemaran. Sehingga penataan KJA yang disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan mutlak segera perlu dilakukan. Sebuah hasil riset juga menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi lahan konservasi menjadi lahan budidaya, dan jelas ini telah menyalahi aturan dan prinsip sustainable aquaculture.

Namun yang perlu menjadi catatan adalah bahwasanya permasalahan perairan umum tidak bisa diselesaikan secara parsial namun harus dikaji faktor penyebabnya secara komprehensif, sehingga penyelesaian masalah juga bersifat komprehensif, ini penting karena perairan umum melibatkan banyak aktor (multi aktor). Perairan umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai). Waduk Cirata merupakan bagian dari DAS Citarum yang keberadaannya melintasi beberapa wilayah administratif Kabupaten/Kota. Permasalahan lingkungan saat ini seringkali diselesaikan secara parsial dimana pendekatan penyelesaian masih berbasis pada wilayah administratif. Dampaknya adalah perencanaan tidak berjalan dengan baik karena masing-masing daerah mempunyai metode masing-masing, padahal masalah lingkungan khususnya DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, sehingga dalam hal pengelolaan dan penanganan masalah lingkungan harus dilakukan secara terintegrasi yang berbasis pada ekosistem atau lebih dikenal dengan eco-region, dan  bukan pada batasan administratif. Pendekatan eco-region memungkinkan adanya pengelolaan dan pengendalian yang terintegrasi dengan pendekatan terhadap penyelesaian masalah secara seragam di setiap Kabupaten/Kota.

Karena perairan umum merupakan bagian dari ekosistem DAS, maka tentunya faktor penyebab masalah juga bisa timbul dari multi aktivitas. Hasil kajian menyebutkan bahwa DAS Citarum berada pada tingkat kerusakan yang cukup memprihatinkan dari hulu sampai hilir. Indikasinnya adalah perbedaan suplai air antara musim hujan dan kemarau yang rendah serta baku mutu kualitas air yang terus menurun. Beragam hasil riset dan  kajian teknispun mengerucutkan bahwa persoalan DAS adalah sebagai akibata dampak aktivitas multi sektor. Bayangkan, aktivitas industri yang kian pesat dimana limbahnya dibuang ke DAS, jikapun ada ketentuan terkait baku mutu dan standar beban limbah buangan tapi dari sisi monev seringkali tidak pernah dilakukan secara rutin, ditambah lagi pola pendekattan monev msh bersifat administratif bukan eco-region, sehingga riskan terhadap praktek kecurangan. Aktivitas perumahan yang menghasilkan limbah antropogenik sepanjang DAS, telah cara nyata berkontribusi besar terhadap pencemaran DAS yang berakhir di Waduk Citarum. Tngginya tingkat sedimentasi juga terjadi sebagai akibat mulai berkurangnya/hilangnya area tangkapan (catchment area) di hulu. Aktivitas pertanian, dan perkebunan di sekitar area waduk juga turut berkontribusi besar sebagai penyebab sedimentasi, dan eutrofikasi. Data monitoring menyebutkan bahwa laju sedimentasi saat ini rata-rata 7,30 juta m3/tahun dan telah melebihi asumsi desain awal sebesar 5,30 juta m3/tahun (bisnis-jabar.com).  Belum lagi aktivitas parawisata yang turut serta memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pertanyaannya, sudahkan ini di kaji secara mendalam?

Kita seringkali terjebak dengan hanya melakukan upaya kuratif, parsial dan bersifat jangka pendek yang justru tidak bisa menyelesaikan masalah secara jangka panjang. Masalah perairan umum tidak hanya bisa diselesaikan dengan upaya di atas karena terdapat multi problem dengan melibakan multi aktor. Untuk itu upaya preventif seharusnya dilakukan sejak awal. Penataan aktivitas sepanjang kawasan DAS dan sekitar waduk; penataan aktivitas budidaya di KJA yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan; perbaikan dan pemulihan area tangkapan (catchment area) di hulu dan area konservasi (protection area) baik di hulu maupun disekitar area waduk mutlak dilakukan. Area konservasi adalah hal utama, dimana masalah SDA dan lingkungan disebabkan karena mulai terkikisnya protection area tersebut. Maka, pengelolaan area konservasi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar area DAS dan waduk sudah menjadi suatu keniscayaan.

Upaya lain yang menjadi pangkal utama penyebab beragam permasalahan lingkungan adalah konsistensi implementasi regulasi (aturan) mulai dari perencanaan, pengawasan dan penegakan. Tidak dapat dipungkiri masalah waduk Cirata yang mencapai titik klimaks adalah sebagai akibat terabaikannya aturan hukum yang dibuat, sayangnya Pemerintah sebagai pembuat aturan dan regulator dalam hal ini justru abai dengan hal ini terutama dari aspek pengawasan, evaluasi dan penegakan di lapangan. Beragam aturan dan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup bisa dikatakan jumlahnya “seabrek”, namun kenyataannya lemah dari aspek implementasi di lapangan.

Rusaknnya ekosistem DAS dan tidak terkendalinya aktivitas KJA adalah bukti lemahnya implementasi aturan dan jelas secara hukum adalah bentuk suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Masalah lain adalah ketidak sinkronan antara aturan yang dibuat di masing-masing lintas sektoral. Contoh kecil, ijin usaha pembudidayaan ikan sesuai amanat Undang-undang mestinya juga mengacu pada regulasi yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup, dimana menyatakan aktivitas usaha budidaya yang berdampak penting terhadap liingkungan wajib memiliki ijin lingkungan. Jika regulasi/aturan yang ada dijalankan dengan baik, maka masalah waduk Cirata dan perairan umum di Indonesia bisa diantisipasi dengan baik. Sebuah regulasi/aturan dibuat seyogyanya merupakan bentuk antisipasi dini (ke hati-hatian)  yang merupakan bagian dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Dalam jangka pendek sebagai upaya melakukan kajian yang lebih mendalam dengan pendekatan alternatif solusi yang komprehensif, maka perlu dilakukan kajian pengelolaan lingkungan waduk melalui pendekatan permodelan sistem dinamik. Upaya ini perlu difasilitasi pemerintah dengan menggandeng para pakar, akademisi dan praktisi yang ada, dimana hasilnya harus dijadikan pedoman bagi implementasi konkrit pola pengelolaan lingkungan waduk secara berkelanjutan. Sehubungan dengan masalah dan penyelesaian waduk melibatkan multi aktor, maka pemerintah perlu mendorong terjadinya upaya mediasi melalui pendekatan perencanaaan lingkungan yang bersifat transaktif/pembelajaran sosial dengan dialog yang efektif sehingga menghasilkan solusi yang bersifat win-win sollution.


Referensi dari berbagai sumber


Penulis

Aquaculture analys Pada Direktorat Produksi – Ditjen Perikanan Budidaya
Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan Undip Semarang


Tidak ada komentar: