Minggu, 06 Desember 2015

Isu Budidaya Laut : Pengelolaan Budidaya Laut

Bagaiamana Mengelola Budidaya Laut Secara Berkelanjutan?

Sub sektor perikanan budidaya saat ini menjadi barometer utama dalam menopang produksi perikanan nasional, seiring sub sektor perikanan tangkap yang mengalami tren penurunan produksi dari tahun ke tahun. Salah satu potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan yang berpeluang besar untuk dimanfaatkan adalah budidaya laut (marikultur). Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan
organisme perairan akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka memperoleh keuntungan (Shell and Lowell, 1993). Secara spasial budidaya laut dapat dilakukan di perairan laut dangkal dan laut dalam (Parker, 2002). Perkembangan teknologi saat ini budidaya laut terfokus pada perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) seperti teluk, selat merupakan perairan karang dan biasanya berupa reef flat dan laguna. 

Budidaya laut Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar, sedang sampai saat ini tingkat pemanfaatannya masih sangat kecil. Hasil kajian dalam masterplan kawasan pengembangan budidaya laut yang dirilis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009 menyebutkan bahwa Total luas potensi lahan efektif untuk budidaya laut  seluas 3.775.541 ha dari total luas potensi lahan indikatif seluas 8.363.501 ha. Khusus potensi lahan untuk pengembangan budidaya di Karamba Jaring Apung (KJA) 774.666 ha dan Karamba Tancap 37.190 Ha.

Pengembangan budidaya laut di Indonesia terus diarahkan pada komoditas-komoditas ekonomis, dan sesuai dengan pewilayahan dan kewenangan masing-masing daerah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2014 – 2019 Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah menetapkan kebijakan yang fokus untuk mendorong pengembangan kawasan budidaya laut di kawasan-kawasan potensial di Indonesia.

Namun demikian, usaha budidaya laut sebagai bagian dari potensi strategis sektor kelautan dan perikanan, pada kenyataan di lapangan banyak dihadapkan pada tantangan yang cukup besar. Sebagaimana dalam Laporan Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Model Ekonomi Biru yang dirilis Dewan Kelautan Indonesia Tahun 2012, menyebutkan bahwa saat ini pembangunan kelautan Indonesia masih banyak dilakukan secara sektoral, parsial dan fragmented, yang mengakibatkan sering terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaannya. Pada dasarnya laut adalah milik bersama (common property) , dan secara individu tidak ada yang memiliki sebagaimana perairan tambak atau kolam. Oleh karena itu dalam pengelolaannya menganut azas open acces dan diperlukan suatu peraturan perundangan yang tersendiri.

Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang bersifat quasi open access. Istilah common property ini lebih mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public domain, sehingga sifat sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumberdaya tersebut tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan gejala yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan yang optimal. Dengan adanya sifat sumberdaya yang open access tersebut, maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidak-efisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Kondisi seperti inilah yang terjadi saat ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihak yang lebih kuat dan mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan daya produksi alamiah menjadi terganggu.

Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun 80-an, banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Program modernisasi perikanan contohnya, yang bertujuan menigkatkan produksi perikanan dengan menggunakan teknologi modern yang tidak didasari pertimbangan aspek kelestarian lingkungan, kondisi ini berakibat fatal terhadap kelestarian lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan potensi lestari yang ada.
Degradasi lingkungan pesisir dan laut yang manjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir, pembudidaya ikan dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih berlanjut hingga saat ini seperti misalnya pencemaran lingkungan perairan akibat limbah industri dan rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan, degradasi lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup manusia, terutama masyarakat pesisir. Akibatnya potret pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan selama kurun waktu 32 tahun yang lalu, dicirikan oleh dominan kegiatan yang kurang mengindahkan aspek kelestarian lingkungan, dan terjadi ketimpangan pemerataan pendapatan. Pada masa itu, Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, sangat diwarnai oleh rezim yang bersifat open acces, sentralistik, seragamisasi, kurang memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosio-kultural masyarakat lokal. Lebih jauh antara kelompok pelaku komersial (sektor modern) dengan kelompok usaha kecil dan subsisten (sektor tradisional) kurang sejalan/ sinergi bahkan saling mematikan.(Darajati, 2004).

Disisi lain, budidaya laut di KJA memerlukan perhatian dalam pengembangan yang tidak memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan hingga kerusakan ekosistem perairan di sekitarnya. Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan teluk adalah buangan limbah budidaya yang mengandung bahan organik dan nutrien dari sisa pakan dan feses yang terlarut dan mengendap di dasar perairan (Johnsen et al. 1993). Pengkayaan bahan organik dapat menyebabkan penurunan produktivitas budidaya dan meningkatkan mortalitas komoditas budidaya sebagai akibat dari kondisi sedimen di bawah wadah budidaya. Slamet et al. (2009) mengungkapkan terdapat kecenderungan adanya tekanan ekologis pada area pengembangan budidaya laut yang ditandai oleh indeks diversitas makrozoobenthos yang rendah.

Banyak faktor persoalan yang menyebabkan tidak optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik.

Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur (Darajati, 2004).

Berdasarkan pertimbangan isu, masalah dan tantangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, dimana didalamnya adalah merupakan kawassan budidaya laut yangi salah satu bidang usaha strategis, maka sudah saatnya dibutuhkan suatu kebijakan dan strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya ekonomi yang ada dengan tidak mengabaikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

Bedasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT). Strategi penggelolaannya meliputi :

a.        Mewujudkan prinsip pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Bahwa suatu kawasan pembangunan yang berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu : ekologis, sosial-ekonomi-budaya, sosial-politik, dan hukum serta kelembagaan. Dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan (supply capacity) dalam menopang setiap pembanguan dan kehidupan manusia, sedangkan untuk dimensi ekonomis-sosial dari pembangunan berkelanjutan mempresentasikan permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan dimana manfaat dari pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi lemah.

b.       Mewujudkan tata kelola pemanfaatan ruang laut yang terintegrasi.
Untuk mengatasi konflik perencanaan pengelolaan pesisir, maka perlu diubah dari perencanaan sektoral ke perencanaan terpadu yang melibatkan pemerintah daerah, swasta dan masyarakat terkait di pesisir. Semua instansi sektoral, Pemda dan stakeholder terkait harus menjustifikasi rencana kegiatan dan manfaat yang akan diperoleh, serta mengkoordinasi kegiatan tersebut dengan kegiatan sektoral lain yang sudah mapan secara sinergis. Dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya mencakup pengaturan kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya kelautan (pesisir dan lautan), diharapkan dapat membawa angin segar sekaligus menjadi mometum untuk melaksanakan pembangunan, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara yang lebih baik, optimal, terpadu serta berkelanjutan.

Pendekatan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terpadu  (Integrated Coastal Management =ICM) yaitu keterpaduan perencanaan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Alikodra, 2006).  ICM merupakan pendekatan pengelolaan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, berbagai tingkat pemerintahan dan sekaligus mengintegrasikan komponen ekosistem darat dan komponen ekosistem laut, serta sains dan manajemen.

Post by : Cocon, S.Pi

Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: