Minggu, 03 Januari 2016

Aquaculture Responsibility Part 1

Membangun Akuakultur Yang Bertangggungjawab
(Pendekatan pada Perspektif Pembangunan Berkelanjutan)

Oleh :
Cocon S, S.Pi



Berbagai krisis yang dihadapi masyarakat di berbagai belahan dunia yang dipicu oleh perubahan iklim global sebagaimana yang diigambarkan dalam buku fenomenal “Our Common Future” telah menggugah kesadaran negara-negara di dunia untuk menyatukan satu tekad bagaimana menyelamatkan lingkungan yang telah berada pada titik kritis. Ini kemudian menjadi tonggak sejarah bagi  perkembangan pola pendekatan pembangun pada negara-negara di dunia. Sejak deklarasi
stockholm tahun 1972, mulai ada pergeseran paradigma pola pengelolaan sumberdaya alam yang yang semula lebih bersifat anthroposentris  ke arah yang lebih mempertimbangkan prinsip eco-sentris dengan melahirkan sebuah konsep pendekatan yaitu apa yang dinamakan dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut World Comission on Enviroment and Development (WCED) (1987) secara definitif pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang mengupayakan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik kualitas maupun kuantitas. Intinya dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan terdapat tiga lipar utama yang harus sama-sama secara seimbang menjadi pertimbangan pengelolaan sumberdaya alam yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Prinsip inilah yang kemudian diadosi pada berbagai sektor baik yang berbasis sumberdaya alam (natural resources) maupun industri (manufacturing).
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya subsektor perikanan budidaya, sebagai insan akuakultur pastinya kita tidak asing lagi jika mendengar istilah perikanan budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Istilah tersebut bahkan hampir disetiap kesempatan seringkali digaungkan, walaupun mungkin sebenarnya tidak sedikit diantara kita yang justru tidak tahu apa makna dari prinsip sustainability. Kita seringkali salah kaprah dalam memakani prinsip sustainable aquaculture, dengan seringkali menyamakan makna keberlanjutan (sustainability) dengan keberlangsungan (continuity). Padahal istilah keberlanjutan dengan keberlangsungan merupakan dua makna dalam konteks yang berbeda. Keberlanjutan lebih mengedepankan aspek lingkungan, sedangkan makna keberlangsungan lebih mengedapkan aspek bisnis. Kesalahan persepsi inilah, sehingga dalam implementasinya kegiatan usaha akuakultur seringkali hanya mempertimbangkan faktor ekonomi semata. Mestinya, dalam konteks akuakultur, prinsip sustainability harus dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumberdaya akuakultur secara bertanggungjawab dengan tetap menjamin kualitas lingkungan dan upaya konservasi sumberaya alam.
Setidaknya ada dua tantangan besar utama yang harus dihadapi dalam upaya pengelolaan sub sektor perikanan budidaya saat ini, yaitu terkait ketahanan pangan (food security) dan persaingan perdagangan produk akuakultur.

Ketahanan Pangan (food security) versus Degradasi Lingkungan

Bicara masalah pangan khususnya kebutuhan akan protein hewani, saat ini pada tataran konsumen masyarakat global telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari semula berorientasi pada konsumsi daging merah, kini bergeser pada konsumsi daging putih (ikan) yang dinilai lebih aman bagi kesehatan. FAO melangsir data, bahwa telah terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi ikan secara signifikan, dimana saat ini telah mampu melampaui kebutuhan akan daging merah. Pun halnya dengan kinerja produksi akuakultur, dimana produksi akuakultur dunia mengalami trend peningkatan yang signifikan. FAO merilis bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2011 telah mengalami lonjakan produksi dari sebesar 4,73 juta ton pada tahun 2006 menjadi 63,6 juta ton pada 2011, disatu sisi dalam kurun waktu yang sama produksi perikanan tangkap justru menujukkan adanya trend yang konstan (FAO, 2012). Tidak salah jika FAO memprediksi ke depan akuakultur akan menjadi andalan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat global.
Begitupun secara nasional dalam empat tahun terakhir ini (tahun 2010-2013) kinerja pencapaian produksi perikanan budidaya mengalami tren positif dengan kenaikan rata-rata produksi per tahun sebesar 29,9% (sumber : Data Statistik Perikanan Budidaya, 2014). Tahun 2013 produksi perikanan budidaya menepati urutan ke 2 terbesar setelah China sebagai produsen perikanan budidaya dunia (sumber : FAO, 2014)
Namun disisi lain, akuakultur juga dihadapkan pada suatu tantangan besar yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan pangan yang kian meningkat ditengah permasalahan penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan global. Perubahan iklim dalam hal ini fenomena pemanasan global (global warming)) dan berbagai masalah lingkungan saat ini telah berdampak langsung terhadap penurunan daya dukung lingkungan secara signifikan dan menjadi ancaman bagi pengembangan akuakultur. Upaya eksploitasi yang terus menerus secara tidak terukur terhadap sumberdaya yang ada pada kenyataannya telah menyisakan banyak kerusakan yang imbasnya telah secara signifikan menurunkan tapak ekologis (ecologycal footprint), sementara disisi lain pertumbuhan penduduk semakin tak terkendali dengan begitu secara otomatis terjadi peningkatan terhadap kebutuhan hidup masyarakat. Begitupun tata kelola pengembangan akuakultur yang didominasi oleh pertimbangan aspek ekonomi semata justru cenderung menggiring upaya pemanfaatan yang bersifat ekspolitatif tanpa mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya dan mengancam ketahanan pangan yang saat ini menjadi permasalahan besar yang dihadapi berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia.
Imbas dari kesemua ini kian nampak, ditandai dengan mulai munculnya beberapa persoalaan seperti wabah hama dan penyakit ikan, dan degradasi kualitas lingkungan. Munculnya berbagai kasus dalam proses produksi akuakultur harus disadari bahwa kesemuannya adalah sebagai akibat dari diabaikannya aspek ekologi dalam pengelolaan akuakultur. Pengelolaan yang cenderung eksploitatif tanpa mempertimbangkan daya dukung, menyebabkan putusnya mara rantai ekosistem yang komplek, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan siklus alamiah yang ada. Pengelolaan akuakultur mestinya dilakukan secara bertanggungjawab, dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem. Bentuk manipulasi lingkungan melalui modernisasi teknologi yang terkesan tidak terukur harus sudah dihindari, oleh karena itu pengelolaannya harus berbasis pada ekosistem (Ecosystem-base Aquaculture).
Menarik ulasan dari Prof. Dwi Andreas Santoso (guru besar Fakultas Pertanian IPB Bogor) tentang “Setahun Kedaulatan Pangan” yang dimuat di harian Kompas pada edisi 28 Desember 2015, yang menyatakan bahwa salah satu indikator keberhasilan pencapaian kedaulatan pangan nasional yang belum menjadi fokus perhatian yaitu produksi pertanian berkelanjutan berbasis agroekologi, dimana saat ini belum menjadi kebijakan nasional, namun Pemerintah justru cenderung mendorong kedaulatan pangan melalui pengembangan pertanian berbasis industri dan food estate yang justru bertolak belakang dengan konsep agroekologi. Apa yang disampaikan Prof. Andreas di atas, mestinya dijadikan bahan pertimbangan dalam mengelola sumberdaya akuakultur yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Dengan demikian, dalam konteks perikanan budidaya, maka kedaulatan pangan harus dimaknai sebagai sebuah upaya pengelolaan SDA perikanan budidaya secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini, dengan tetap menjamin ketersediaan sumberdaya bagi generasi yang akan datang.

Keberterimaan Produk Akuakultur

Tantangan yang ke-dua, dimana tepat tanggal 1 Januari 2016 merupakan awal diberlakukannya liberalisasi ekonomi pada regional Asean atau berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pada satu sisi MEA dirancang sebagai upaya menggalang kekuatan ekonomi negera-negara Asean untuk menyongsong menjadi sebuah kekuatan ekonomi dunia baru. Tapi disisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan MEA justru dianggap menjadi medan perang persaingan bebas antar negara-negara Asean itu sendiri. Peluang semakin bebasnya arus barang dan jasa menjadi tantangan besar tersendiri bagi dunia akuakultur di Indonesia. Dua potensi besar yaitu SDA dan jumlah penduduk yang besar akan menjadi peluang, namun disatu sisi akan menjadi bumerang jika kita tidak bijak dalam melakukan pengelolaan. Dengan kata lain, dimanakah peran kita, apakah akan sekedar menjadi Semut atau justru hanya menjadi Gula atau mampu memainkan peran kedua-duanya? Dalam konteks akuakultur yang bertanggungjawab, maka sejatinya persaingan perdagangan baik pada tataran regional Asean mapun global, tidak semata dilihat berdasarkan pertimbangan nilai strategis ekonomi melalui peningkatan produksi yang sebesar-besarnya, namun pengelolaan SDA akakultur harus dilakukan sebijak mungkin melalui pemanfaatan yang konservatif bukan eksploitatif.
Isu-isu terkait sustainability, foodsafety and treacibility, enviromental friendly, animal walfare dan social responsibility menjadi bagian yang menjadi fokus  perhatian masyarakat konsumen di dunia. Ini dapat dibuktikan dengan mulai dimasukannya isu-isu tersebut dalam persyaratan standar perdagangan global baik yang bersifat privat standart maupun public standar. Dengan berlakunya standar internasional tersebut, mau tidak mau sebagai bagian dari komunitas global, maka berbagai produk akuakultur wajib memenuhi ketentuan persyaratan tersebut. Indonesia telah mulai mengharmonisasi ketentuan standar internasional pada produk perikanan melalui kebijakan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan Hasil Perikanan (SJMKHP). SJMKHP merupakan sebuah manajemen sistem penerapan mutu secara terintegrasi mulai mata rantai di hulu hingga hilir. Pada tataran di Hulu penerapan SJMKHP melalui upaya sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) pada level pembenihan; Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) pada level produksi budidaya; monitoring OIKB dan kebijakan pengendalian pakan ikan.
Harus diakui dalam implementasinya SJMKHP belum terlaksana dengan baik, antara lain belum terbangunnya sebuah mata rantai sistem yang menjamin ketelusuran (treacibility) dari hulu hingga hilir secara efektif, akan tetapi masih bersifat parsial dan tersegmen pada masing-masing level sistem. SJMKHP mestinya menjadi alat kontrol bagi terjaminnya keamanan dan kualitas sebuah produk hasil budidaya sampai pada tataran konsumen.
Tidak mudah memang melakukan implementasi secara sempurna, hal ini disebabkan masalah produk di Indonesia harus kembali dihadapkan pada masalah persepsi baik pada level produsen (pembudidaya) maupun konsumen. Ini semakin kentara, terutama penerapan SJMKHP terhadap produk-produk yang berorientasi pada pasar domestik. Di level pembudidaya, penerapan CBIB masih dianggap membebani biaya produksi, padahal disatu sisi mereka merasa CBIB belum memberikan efek bagi peningkatan nilai tambah ataupun posisi tawar produk di pasaran. Sedangkan pada level konsumen, pilihan produk yang murah masih mendominasi persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia dibanding pilihan terhadap produk aman dan berkualitas, atau dengan kata lain belum ada penghargaan terhadap produk yang tersertifikasi. Jika pada level hulu persepsi di atas masih tetap dipertahankan, begitu pula pada level konsumen, maka yang terjadi adalah “kerapuhan” produk dalam negeri. Ini berbahaya, jika kita dihadapkan pada kenyataan semakin meledaknya arus barang/produk perikanan impor yang berpotensi menguasai pasar dalam negeri, sementara produk kita justru tertahan karena lemahnya penerapan SJMKHP yang berujung pada penurunan daya saing produk.
Satu-satunya jalan yaitu dengan merubah persepsi masyarakat terhadap produk akuakultur dalam negeri. Seiring berlakuknya era perdagangan bebas dengan semakin ketatnya persaingan mutu, maka SJMKHP bukan lagi sebatas persyaratan yang bersifat administratif namun sudah harus menjadi kebutuhan, karena mau tidak mau akan menjadi syarat mutlak jika ingin produk dalam negeri berdaya saing. Disamping itu kampanye gerakan cinta produk dalam negeri, kampanye gerakan makan ikan harus terus digalakan pada semua level masyarakat. Jika pada level pembudidaya dan konsumen sama –sama terbangun tanggungjawab dan saling memberikan feedback positif, maka sudah barang tentu SJMKHP akan mmenjadi sebuah kebutuhan bersama ke dua belah pihak. Kondisi ini sudah mulai terjadi pada produk akuakultur dengan tujuan ekspor seperti udang, dimana tuntutan konsumen (persepsi) yang tinggi akan produk aman dan berkualitas telah memberikan dampak terhadap kesadaran pembudidaya udang dalam memproduksi produk yang terjamin mutu dan keamanan pangannnya.
Tentunya ini bukan hanya menjadi pekerjaan ruman Kementerian Kelautan dan Perikanan semata tapi menjadi PR bersama lintas sektor terkait.

Membangun Paradigma Eko-akuakultur

Sektor industri harus diakui menjadi penyebab terbesar munculnya permasalahan lingkungan, namun berbagai fakta menyimpulkan bahwa sektor agrikultur secara umum termasuk perikanan budidaya juga telah memberikan share sebagai penyumbang terhadap berbagai permasalahan lingkungan saat ini.  Dalam buku “Challenging the Aquaculture Industry on Sustainability”, edisi Maret 2008 yang diterbitkan Greenpeace International”, justru menyampaikan fakta bahwa industri akuakultur turut memberikan kontribusi potensi dampak negatif terhadap fenomena perubahan lingkungan global saat ini.  Dampak negatif tersebut antara lain berkaitan dengan alih fungsi lahan (land conversion), emisi, biodiversity, pencemaran akibat polutan (nutrien, dan bahan kimia), dan isu lain yang berkaitan dengan konflik pemanfaatan sumberdaya air.
Apapun itu, nampaknya fenomena tersebut sudah harus menjadi bahan pertimbangan bagi titik balik pola pengelolaan akuakultur yang lebih bertanggungjawab. Indonesia sebagai salah satu penopang terbesar produk akuakultur dunia harus segera menentukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya antisipasi dini dalam menghadapi tantangan akuakultur ke depan dengan memperkuat interaksi akuakultur dengan lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dari bahasan di atas, sebenarnya muara dari prinsip sustainability adalah pada dimensi lingkungan. Artinya, tidak bisa sebuah pengelolaan akuakutur dikatakan berkelanjutan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan di dalamnya.  Dengan kata lain, lingkungan dimaksud bukan hanya lingkungan yang terfokus pada on farm, tapi lingkungan dalam arti luas yang berkaitan dengan jaminan keseimbangan siklus alamiah yang membangun sebuah ekosistem secara keseluruhan.
FAO -Code of Conduct for Responsible Aquaculture (1995) telah memberikan acuan kepada negara-negara di dunia bagaimana melakukan pengelolaan akuakultur secara bertanggungjawab dengan menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Merujuk pada apa yang telah diamanatkan dalam FAO-code of conduct di atas, kita dapat memetakan terkait interaksi antara akuakultur dengan dimensi lingkungan sebagai salah stu indikator sebuah pengelolaan usaha budidaya bisa dikatakan sustain.
Dalam konteks perikanan berkelanjutan, maka perlu ada perubahan paradigma pola pengelolaan akuakultur ke arah yang berbasis pada eko-akuakultur (merujuk pada istilah agroekologi). Prinsip eko-akuakultur merupakan pendekatan yang berbasis pada upaya konservasi, dimana didalamnya dimaknai sebagai upaya pelestarian sumberdaya dan lingkungan (save); pembelajaran/riset (study), dan pemanfaatan untuk kesejahteraan (use for Prosperity).  Adapun indikator eko-akuakultur dalam kerangka prinsip sustainability harus mencakup beberapa poin isu utama, yaitu :
Pertama, konversi lahan (land conversion). Pengembangan kawasan akuakultur tidak boleh mengorbankan kawasan penyangga, kawasan konservasi, dan kawasan-kawasan lain yang bersifat vital sebagai penopang ekosistem secara keseluruhan. Dalam penetapan kawasan budidaya tambak, misalnya, maka pelaku usaha wajib menyediakan spare minimal 20% dari total lahan potensial untuk kawasan penyangga (buffer zone), begitupun dengan jenis budidaya lainnya.
Maraknya alih fungsi lahan hutan mangrove beberapa dekade yang lalu menjadi lahan pertambakan secara tak terkendali, pada kenyataannya telah mendegradasi struktur, komposisi dan fungsi ekosistem yang ada. Kondisi ini pada akhirnya juga menjadi bumerang bagi aktivitas akuakultur dan menyisakan masalah berkepanjangan hingga saat ini. Merebaknya hama dan penyakit pada ikan dan udang merupakan bagian mata rantai sebagai akibat terabaikannya aspek ekologis yang membangun sebuah ekosistem tersebut. Berbagai kasus alih fungsi lahan juga dikhawatirkan para pakar. Menurut Byron and Costa-Pierce (2010) bahwa pertumbuhan yang cepat dari kegiatan akuakultur dapat menyebabkan terjadinya dampak ekologi dan sosial sehingga dapat menimbulkan konflik seperti kegiatan akuakultur akan bersaing dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya terhadap tanah, air, dan pantai.
Sebagai bentuk tanggungjawab, para pelaku usaha akuakultur sudah seharusnya menyediakan kompensasi jasa lingkungan, misalnya melalui upaya rehabilitasi ekosistem mangrove dan lainnya. Integrasi pola budidaya dengan ekosistem hutan mangrove menjadi alternatif dalam menjamin akuakultur secara berkelanjutan. Hutan mangrove merupakan IPAL alami sekaligus biosecurity yang paling efektif. Konsep wana-mina yang dulu sempat menjadi fokus kebijakan saat ini kembali harus digalakan.
Kedua, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Daya dukung lingkungan secara umum diartikan sebagai kemampuan lingkungan dalam menopang/mendukung perikehidupan makluk hidup. Dalam konteks akuakultur, maka daya dukung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan ikan secara optimal. Sedangkan daya tampung lingkungan sebagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Daya dukung lingkungan yang baik adalah pada kondisi dimana siklus kehidupan dalam sebuah ekosistem berjalan dengan normal, sehingga mampu menopang prikehidupan ikan/udang yang dibudidayakan. Sangat disayangkan, manakala pelaku usaha budidaya karena termotivasi meraup hasil produksi yang tinggi lantas melakukan budidaya tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan yang ada. Kita lihat misalnya di Pantai Utara Jawa, hasil kajian daya dukung lahan yang dilakukan jauh sebelumnya menyebutkan bahwa daya dukung lahan hanya sekitar 40% dengan rekomendasi teknologi maksimal semi intensif, kondisi ini mestinya sejak dini menjadi bahan acuan pelaku usaha budidaya dalam memilih rekomendasi tingkat teknologi budidaya. 
Di perairan umum  berbagai masalah lingkungan kemudian muncul dan mengakibatkan masalah pada usaha budidaya dan ekosistem secara umum. Contoh konkrit adalah kasus degradasi lingkungan pada waduk Cirata. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah waduk Cirata yang mencapai titik klimaks adalah sebagai akibat terabaikannya aturan hukum yang dibuat, sayangnya Pemerintah sebagai regulator dalam hal ini justru abai terutama dari aspek perencanaan, pengawasan, evaluasi dan penegakan di lapangan. Rusaknnya ekosistem DAS dan tidak terkendalinya aktivitas KJA adalah bukti lemahnya implementasi aturan dan jelas secara hukum adalah bentuk suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang ada termasuk didalamnya terkait aturan perijinan dan zonasi/tata ruang. Jika regulasi/aturan yang ada dijalankan dengan baik, maka masalah waduk Cirata dan perairan umum di Indonesia bisa diantisipasi dengan baik. Sebuah regulasi/aturan dibuat seyogyanya merupakan bentuk antisipasi dini (ke hati-hatian)  yang merupakan bagian dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Kita seringkali terjebak dengan hanya melakukan upaya kuratif, parsial dan bersifat jangka pendek yang justru tidak bisa menyelesaikan masalah secara jangka panjang. Masalah perairan umum tidak hanya bisa diselesaikan dengan upaya di atas karena terdapat multi-problem dengan melibakan multi aktor, sehingga pendekatan pengelolaan harus berbasis eco-region bukan terbatas pada wilayah administratif. Pedekatan berbasis ec—region memungkinkan penyelesaian dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi tanpa harus tersegmentasi berdasarkan batasan wilayah adiministratif. Penataan aktivitas sepanjang kawasan DAS dan sekitar waduk; penataan aktivitas budidaya di KJA yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan; perbaikan dan pemulihan area tangkapan (catchment area) di hulu dan area konservasi (protection area) baik di hulu maupun disekitar area waduk mutlak dilakukan. Area konservasi adalah hal utama, dimana masalah SDA dan lingkungan disebabkan karena mulai terkikisnya protection area tersebut. Maka, pengelolaan area konservasi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar area DAS dan waduk sudah menjadi suatu keniscayaan.
Dilain pihak modernisasi teknologi akuakultur yang berbasis industri kian cepat, disatu sisi merupakan bentuk keberhasilan dalam upaya menggenjot produksi akuakultur, namun disisi lain tanpa kita sadari justru berpotensi tidak mampu dirasakan secara jangka panjang. Modernisasi teknologi yang tak terkontrol memicu penggunaan input produksi dan energi yang besar, dimana pada akhirnya akan menghasilkan beban limbah buangan budidaya yang tinggi baik padat maupun cair, dan sudah barang tentu emisi. Penerapan high density misalnya, akan memicu penggunaan input pakan dan energi, disatu sisi belum adanya jaminan pengelolaan limbah yang efektif, atau lebih parah lagi tidak dilakukannnya kajian daya dukung lingkungan sebelumnya. Kondisi ini sudah dipastikan akan menimbulkan masalah di kemudiaan hari.
Saat ini yang tengah menjadi trending topic adalah penerapan teknologi supra intensif dengan mengandalkan high density melalui rekayasa lingkungan dan telah menghasilkan produktivitas yang  mencengangkan > 150 ton/ha, dan konon merupakan teknologi yang menghasilkan produktifitas tertinggi di dunia. Sontak kita dibuat tercengang sekaligus terbesit perasaan bangga, sehingga teknologi ini telah banyak diadopsi di berbagai daerah. Namun pertanyaannya kemudian muncul, sudahkah sebelumnya dikaji daya dukung dan daya tampung lingkungannya;  potensi emisi atas penggunaan energi, dan efektifitas pengelolaan limbahnya? Akumulasi limbah pakan dikhawatirkan dalam jangka waktu lama akan melampaui daya tampung lingkungan, sehingga imbasnya akan berdampak negatif terhadap jalannya siklus yang membangun sebuah ekosistem. Kesimpulannya, sudahkan teknologi ini dikaji status keberlanjutannya?
Fenomena penyakit WFD (White Feces Desease) yang akhir-akhir ini dihadapi para pelaku budidaya udang patut diyakini bahwa muara yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut adalah terputusnya mata rantai siklus yang membangun sebuah ekosistem akibat terabaikannya aspek ekologis dalam pengelolaan budidaya. Oleh karena itu, kita jangan terjebak hanya pada upaya penanggulangan penyakitnya saja, tapi lebih dari itu harus lebih didorong pada upaya preventif dengan melakukan pengelolaan budidaya yang lebih bertanggungjawab.
Upaya beberapa negara-negara di dunia khususnya di Uni Eropa yang mulai menggeser paradigma pengelolaan akuakultur dari berbasis modernisasi teknologi kepada akuakultur yang berbasis ekosistem, patut menjadi bahan pertimbangan. Penerapan IMTA (integrated Multi Trophic Aquaculture) dan pengelolaan yang berbasis ekosistem lainnya, sudah semestinya di dorong mulai saat ini. Pemetaan daya dukung lahan pada sentral produksi dan kawasan potensial menjadi sesuatu yang mutlak untuk segera dilakukan, sehingga akan memberikan acuan rekomendasi bagi pengelolaan akuakultur dan tingkatan teknologi yang dapat diterapkan.
Ketiga, proses domestikasi (domestication). Dalam dunia akuakultur, proses domestikasi suatu spesies merupakan hal lumrah dan diperlukan. Seiring perkembangan rekayasa teknologi akuakultur yang sudah sedemikian maju,  domestikasi telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi akuakultur saat ini.
Sebagaimana yang disampaikan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) bahwa dalam konteks dimensi lingkungan, maka maka perlu ada semacam acuan terkait kegiatan domestikasi dimaksud, yaitu : (a) Selective breeding harus didorong sebagai upaya dalam menghasilkan spesies yang unggul, namun demikian harus dirancang dalam  meminimalisir potensi dampak terhadap biodiversity; (b) sistem budidaya harus dirancang sebagai upaya mengurangi pelepasan spesies hasil rekayasa genetik ke alam liar (escape management); (c) pembuatan bank gen dari spesies ikan liar harus didorong sebagai tempat sumber genetik.
Keempat, pakan (feed). Permasalahan pakan seolah tidak ada habisnya, bayangkan lebih dari 60% dari total cost produksi dikeluarkan untuk biaya pakan. Isu pakan juga menjadi isu strategis sebagai permasalahan utama dalam bisnis akuakultur global. Bukan hanya karena merupakan bagian terbesar penyusun cost produksi, namun disisi lain dalam dimensi lingkungan, ternyata pakan berpotensi cukup besar dalam memberikan kontribusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.
Bahan baku pakan khususnya high protein masih mengandalkan pada tepung ikan yang didapatkan dari hasil tangkapan ikan laut non ekonomis. Kondisi ini tentunya sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan food security, terlebih jika raw material pakan dihasilkan dengan cara-cara yang tidak sustainable yang justru mengancam biodiversity. Terkait isu bahan baku pakan, maka beberapa rekomendasi yang patut menjadi bahan perhatian, yaitu : (a) sumber bahan baku pakan harus terjamin aspek keberlanjutannya, dimana sumber bahan baku pakan tersebut didapatkan dengan tanpa menggangu ekosistem yang ada. Pada negara-negara eksportir tepung ikan seperti Chili, sertifikasi sutainability sumber bahan baku tepung ikan menjadi salah satu persyaratan ekspor. Salah satu sertifikasi terkait tepung ikan misalnya yang dikeluarkan oleh IFFO (International Fishmeal and Fish Oil). Sertifikasi IFFO merupakan sebuah bentuk legalitas terkait tanggungjjjawab lingkungan. (sumber : bisnis.com); (b) mendorong penggunaan pakan melalui manajemen pengelolaan pakan secara efisien; (c) mendorong adanya kajian terkait alternatif penggunaan bahan baku tepung ikan dan minyak ikan (fish oil) selain yang berasal dari hasil tangkapan ikan. Salah satu upaya yang patut dijadikan rujukan adalah memproduksi tepung ikan dari sisa (by product ) industri pengolahan ikan sebagaimana yang telah dilakukan uji coba pada beberapa negara di Eropa; (d) dalam upaya mengurangi ketergantungan pada pakan high protein, maka sudah saatnya didorong budidaya ikan berbasis pada komoditas low-trophic level (IUCN, 2007); dan (e) mendorong akuakultur berbasis ekosistem, salah satunya mengintegrasikan aktivitas akuakultur dengan agrikultur seperti mina-padi dan wana-mina.
Kelima, potensi pollutan. Industri akuakultur di satu sisi berpotensi dalam menghasilkan limbah pollutan. Pollutan tersebut berpotensi besar sebagai akibat dari akumulasi bahan organik. Penggunaan pakan dan bahan organik lain yang tidak terkontrol (tidak efisien) disinyalir akan mengakibatkkan akumulasi bahan organik yang justru jika tidak ada penanganan yang efektif, akan mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Peningkatan BOD (biologycal oxigen demand) secara signifikan merupakan indikator terjadinya pencemaran lingkungan.
Menurut Edwards (1993) bahwa nutrisi dalam pakan yang dikonsumsi ikan sebanyak sepertiganya akan langsung dibuang ke perairan dan sisanya terbuang dalam proses pertumbuhan. Sekitar 15-30% nitrogen (N) dan fosfor (P) dalam pakan akan diretensikan dalam daging ikan, sedangkan sisanya terbuang ke lingkungan (Ackefors and Enell, 1994; Beveridge, 2004; Leung et al., 1999). Bahkan  Folke et al. (1994) menyetarakan beban limbah budidaya yang dihasilkan sama dengan beban limbah pemukiman yang didiami sebanyak 850 – 3.200 orang untuk memproduksi 100 ton ikan.
Efektivitas pengelolaan budidaya yang menerapkan Best management Practices dan pengelolaan dan pengendalian limbah buangan harus menjadi fokus utama. Perangkat IPAL (instalansi pengelolaan limbah) yang efektif menjadi syarat mutlak yang harus ada dalam aktivitas industri akuakultur. Potensi polutan juga dapat berasal dari bahan kimia dan biologis yang digunakan dalam proses produksi akuakultur, oleh karena itu maka pengawasan dan kontrol secara intensif terhadap rangkaian proses budidaya mutlak dilakukan. Industri akuakultur ke depan harus didorong agar melakukan inovasi yang mengedepankan teknologi/produksi bersih yang nir-limbah atau dengan kata lain menerapkan prinsip eko-efesiensi..
Keenam, Emisi (emission). Fenomena global warming sebagai akibat efek gas rumah kaca, pada kenyataannya tidak hanya disebabkan oleh aktivitas industri, namun demikian kontribusi sektor lain dalam hal ini agrikultur dan akuakultur juga memberikan share terhadap perubahan iklim global. Penggunaan pakan buatan (pabrikan) dan energi fosil merupakan unsur yang memberikan kontribusi besar pada emisi karbon. Dalam dimensi lingkungan, sebuah peengelolaan usaha akuakultur yang masih mengandalkan energi fosil belum dapat  dikatakan berkelanjutan.
Ada hal menarik, hasil  carbon tracing terhadap aktivitas budidaya tambak intensif menyebutkkan bahwa emisi karbon cukup banyak disumbangkan oleh penggunanan energi fosil dan pakan (terutama pakan pabrikan). Dalam produksi per ton udang vaname dengan teknologi bioflok (intensif) menghasilkan dampak terhadap lingkungan dalam hal ini global warming potential (GWP) sebesar 7336,77 ± 1,46 kg CO2eq, dimana nilai tersebut berasal dari kontribusi penggunaan energi llistrik sebesar 43%, pakan udang 38% dan sarana produksi 18% (Ma’in et al,. 2013). Berkaitan dengan hal tersebut, maka startegi yang memungkinkan dilakukan dalam meminimalisir dampak emisi yaitu ; (a) perlu dilakukan perbaikan manajemen pemberian pakan berbasis kualitas air,dan  peningkatan efesiensi pakan; (b) pengurangan konsumsi energi listrik; dan (c) pengelolaan limbah yang efektif (Ma’in et al,. 2013).
Ketujuh, keanekaragaman hayati (Biodiversity). Dalam pembahasan IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan) yang digagas Bappenas tahun 2014 yang lalu memberikan arahan kepada lintas sektoral termasuk sektor Kelautan dan Perikanan untuk turut serta dalam menjaga keberadaan keanekaragaman hayati. Sub sektor perikanan budidaya mempunyai peran penting dalam menjamin kelestarian biodiversity salah satunya melalui peran domestikasi dan pengembangan bioteknologi akuakultur.
Saat ini, sub sektor perikanan budidaya sudah semestinya didorong bukan hanya pada komoditas ekonomis penting yang berbasis pada market oriented, namun sudah harus fokus dalam mempertahankan dan mengembangkan komoditas yang berbasis spesies endemik lokal dan spesies yang terancam kelestariannya. Disisi lain, bioteknologi akuakultur yang berkaitan dengan rekayasa genetik harus diantisipasi agar tidak berdampak negatif terhadap spesies yang ada di alam (wild species) dengan memproteksi agar tidak lepas ke alam. Sub sektor akuakultur juga harus berperan dalam memproteksi perkembangan spesies-spesies ikan yang bersifat invasif serta melakukan kajian dampak terhadap biodiversity.  Introduksi komoditas alien invasif species pada perairan umum melalui upaya restocking harus dihindari, sebagai upaya menjaga kelestarian ikan endemik lokal. Data menyebutkan bahwa produksi ikan alien invasif species menunjukan tren peningkatan yang cukup signifikan, sedangkan ikan endemik lokal dan non alien spesies justru mengalami penurunan. Oleh sebab itu pengelolaan akuakultur yang bertanggungjawab harus mengedepankan prinsip kehati-hatian yaitu setiap perencanaan pengelolaan harus terukur dan mengedepankan analisis resiko sebagai bentuk pencegahan dini terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari aktivitas usaha akuakultur.
Kedelapan, penilaian lingkungan (Enviromental assesment). Isu lingkungan telah memasuki ranah lalu lintas perdagangan global saat ini khususnya yang berbasis sumberdaya alam. Beragam standar dan persyaratan ekspor yang berkaitan dengan sertifikasi produk telah banyak dikeluarkan baik bersifat privat standar maupun publik standar. Fenomena ini walaupun terasa memberatkan tapi harus diakui bahwa kesemuannya membuktikan adanya sebuah kesadaran masyarakat global terkait pentingnya menerapkan prinsip sustainable development.

Rekomendasi

Melatarbelakangi berbagai permasalahan SDA dan lingkungan, dan semakin ketatnya persaingan perdagangan sebagaimana ulasan di atas, maka saat ini dan kedepan semua pihak harus sudah mulai merubah cara pandang bahwa pengelolaan akuakultur yang bertanggungjawab dan berkelanjutan menjadi sebuah keniscayaan dan harus menjadi pondasi utama. Makna keberlanjutan dalam pengelolaan akuakultur harus menjamin sebuah keseimbangan pertimbangan tata kelola pada aspek multidimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, infrastruktur, regulasi dan kelembagaaan.
Pertama, dimensi ekologi.  Pengelolaan SDA akuakultur tidak bisa dilepaskan pada pertimbangan daya dukung, dan bertanggungjawab terhadap kelestarian ekosistem secara umum. Penerapan ecosystem approach for aquaculture harus mulai menjadi fokus kebijakan. Degradasi kualitas lingkungan harus diisikapi dengan merubah pola budidaya ke arah upaya-upaya konservasi dan penerapan teknologi bersih dengan memegang prinsip eko-efesiensi.
Kedua, dimensi ekonomi, pengelolaan akuakultur harus mampu menjamin sebuah kesejahteraan masyarakat, bukan hanya jaminan bagi generasi saat ini tapi dalam persepektif pembangunan berkelanjutan, maka nilai strategis ekonomi SDA akuakultur harus mampu dirasakan oleh generasi yang akan datang.
Ketiga, dimensi sosial. Pengelolaan akuakultur harus diletakan sebagai familiy base aquaculture bukan semata coorporate base aquaculture, sehingga mampu menjamin aspek pemberdayaan masyarakat dan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya kepada masyarakat. Disamping itu, jaminan produk akuakultur yang aman dan berkualitas harus menjadi pertimbangan utama sebagai bentuk tanggungjawab sosial bagi pemenuhan hak masyarakat konsumen akan kebutuhan pangan yang sehat.
Keempat, dimensi teknologi. Penerapan teknologi akuakultur harus terukur, memegang prinsip nir-limbah dan ramah lingkungan (enviromental friendly), serta efisiensi. Modernisasi teknologi yang hanya berpatokan pada aspek ekonomi dengan berupaya menggenjot produksi sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian ekosistem harus sudah ditinggalkan. Orientasi inovasi teknologi harus berbasis ekosistem (ecosystem base aquaculture). Prinsip ekonomi biru (blue economy) yang menjadi dasar pengelolaan sektor kelautan dan perikanan harus benar-benar terimplementasi secara konkrit.
Kelima, dimensi infrastruktur. Pengembangan dan perbaikan infrastruktur menjadi hal mutlak dalam upaya meningkatkan daya saing produk akuakultur. Infrastruktur harus dibangun dalam kerangka menjamin konektivitas mata rantai produksi dari hulu hingga ke hilir, sehingga secara langsung akan berdampak pada peningkatan tingkat efesiensi, dimana pada akhirnya akan memberikan nilai tambah produk yang lebih tinggi.
Keenam, regulasi dan kelembagaan. Pengelolaan akuakultur yang bertanggungjawab dan berkelanjutan tidak akan efektif terimplementasi tanpa ada dukungan kebijakan pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator. Setidaknya ada beberapa poin penting yang perlu didorong sebagai upaya dalam memberikan acuan pengelolaan akuakultur, yaitu :
a.       Melakukan pemetaan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan pada setiap sentral produksi dan kawasan potensial pengembangan akuakultur. Ini penting sebagai acuan dini dalam menentukan rekomendasi tingkat  teknologi yang akan diterapkan. Target produksi harus mengacu pada kemampuan daya dukung (ekologi, ekonomi, sosial budaya) yang ada, dengan begitu pengelolaan akan berkelanjutan.
b.      Pemerintah perlu memfasilitasi sebuah konsensus untuk membuat suatu acuan (guidelines) terkait  indikator aspek multidimensi (ekologis, ekonomi, sosial, infrastruktur, teknologi, kebijakan dan kelembagaan) dalam menilai indeks dan status keberlanjutan suatu kawasan pengembangan akuakultur (Aquaculture Sustainability Index). Acuan lainnya yaitu terkait Ecosystem Approach for Aquaculture (EAA), dan penilaian terkait Aquaculture Performance Index (API) di setiap sentral produksi. Ini penting sebagai bentuk antisipasi dini dan bahan acuan bagi stakeholders dalam melakukan sebuah startegi pengelolaan budidaya yang berkelanjutan. Semua acuan di atas tentunya mengacu pada FAO-code of conduct for fisheries responsibility, ataupun acuan internasional lain seperti yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
c.        Pemerintah perlu memperbaiki terkait persyaratan perijinan usaha akuakultur. Perijinan usaha multi sektor termasuk usaha akuakultur seharusnya mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup yaitu UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) beserta turunannya. Dalam ketentuan pasal 22 UU no 32 2009 diatur bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal”. Kemudian dalam ketentuan pasal 34 diatur bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)  wajib memiliki UKL- UPL”. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 36 menyebutkan bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”. Dari ketentuan di atas, jelas bahwa khusus bagi usaha akuakultur yang berdampak penting seperti penggunaan input teknologi tinggi, input produksi dan energi tinggi dalam ketentuan perijinan usahanya wajib dilengkapi oleh ijin lingkungan. Merebaknya pengembangan budidaya tambak udang teknologi tinggi misalnya, baik teknologi intensif, apalagi supra intensif secara sporadis di berbagai daerah perlu mendapat perhatian khusus melalui pengendalian yang efektif, salah satunya dengan memperbaiki ketentuan perijinan usaha sebagai instrumen pengendalian. Upaya ini tidak boleh dianggap sebagai upaya yang tidak pro-investasi, namun demikian harus disikapi sebagai upaya dalam menjamin akuakultur yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Terkait aspek kelembagaan, maka perlu ada upaya untuk mendorong penguatan kelembagaan pada setiap sentral produksi, sebagai upaya menjamin berjalaannya mata rantai bisnis. Penguatan kelembagaan tersebut meliputi kelembagaan pokdakan dan kelembagaan penunjang, kelembagaan libang, kelembagaan pembenihan, kelembagaan keskanling, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan pasar, dan kelembagaan lainnya yang disesuaikan oleh potensi wilayah.




Sumber Rujukan

Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K., Ferriss, B., 2000. How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic, in: See Around Us Methodology Review. Fisheries Centre, University of British Columbia. Vancouver, Canada, pp. 136–182.

Alongi, D.M., Mckinnon, A.D., Brinkman, R., Trott, L.A., Undu, M.C., Muawanah, M., Rachmansyah, R., 2009. The Fate of Organic Matter Derived from Small-scale Fish Cage Aquaculture in Coastal Waters of Sulawesi and Sumatra, Indonesia. Aquaculture 295, 60–75. doi:10.1016 j.aquaculture.2009.06.025

Ackefors, H., Enell, M., 1994. The Release of Nutrients and Organic Matter from Aquaculture Systems in Nordic Countries. Journal Application Ichtyology 10, 225–241.

Byron, C.J., Costa-Pierce, B.A., 2010. Carrying Capacity Tools for Use in the Implementation of an Ecosystems Approach to Aquaculture. Presented at the FAO Expert Workshop on Aquaculture Site Selection and Carrying Capacity Estimates fo Inland and Coastal Waterbodies, 6-8 December 2010, Stirling, U.K, p. 22 p.

Beveridge, M.C.M., 1984a. Cage and Pen Fish Farming. Carrying Capacity Models and Environmental Impact. FAO Fisheries Technology Paper (255): 131 p.

Edwards, P., 1993. Environmental Issues in Integrated Agriculture-Aquaculture and Wastewater-Fed Fish Culture System, p 139-170, in: Pullin, R.S. V, Rosenthal, H., Maclean, J.L. (Eds.), Environmental and Aquaculture in Developing Countries. ICLAM Confference Prosiding 31, Manila, p. 359.
Fauzi, A dan S. Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan RAPFISH (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4(3) : 43-55

FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome.

FAO, 2012. Fishery and Aquaculture Statistics. 2012/FAO annuaire. FAO, Roma. 76 pp.

Folke, C., Kautsky, N., Troell, M., 1994. The Costs of Eutrophication from Salmon Farming: Implications for Policy. Journal of Environmental Management 40, 173–182.

General Fisheries Commission for the Mediterranean. 2011. Indicators for Sustainable Development of Finfish Aquaculture. Rome,  2011

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2007. Guide for the Sustainable Development of Mediterranean Aquaculture. Interaction between Aquaculture and the Environment. IUCN, Gland, Switzerland and Malaga, Spain.  107 pages.

Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen Budgets for the Areolated Grouper Epinephelus areolatus Cultured Under Laboratory Conditions and in Open-sea Cages. Marine Ecology Progress Series 186, 271–281.

Main et al, 2013.  Kajian Dampak Lingkungan Penerapan Teknologi Bioflok pada Kegiatan Budidaya Udang Vaname dengan Metode Life Cycle Assessmen. Program Studi Ilmu Lingkungan Undip Semarang. Jurnal Ilmu Lingkugan Volume 11 Issue 2 : 110-119 (2013)

Profesor Dwi Andreas Santoso. Opini : Setahun Kedaulatan Pangan. Harian Kompas edisi 28 Desember 2015

UU RI No 32, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WCED. 1998. Our Common Future. (Hari Depan Kita Bersama, diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). PT. Gramedia. Jakarta. 514p







Tidak ada komentar: