Membangun
Akuakultur Yang Bertangggungjawab
(Pendekatan pada Perspektif Pembangunan Berkelanjutan)
Oleh
:
Cocon
S, S.Pi
Berbagai krisis yang dihadapi
masyarakat di berbagai belahan dunia yang dipicu oleh perubahan iklim global
sebagaimana yang diigambarkan dalam buku fenomenal “Our Common Future” telah menggugah kesadaran negara-negara di dunia
untuk menyatukan satu tekad bagaimana menyelamatkan lingkungan yang telah
berada pada titik kritis. Ini kemudian menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan pola pendekatan pembangun pada
negara-negara di dunia. Sejak deklarasi
stockholm
tahun 1972, mulai ada pergeseran paradigma pola pengelolaan sumberdaya alam
yang yang semula lebih bersifat anthroposentris ke arah yang lebih mempertimbangkan prinsip eco-sentris dengan melahirkan sebuah
konsep pendekatan yaitu apa yang dinamakan dengan konsepsi pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Menurut World Comission on Enviroment and
Development (WCED) (1987) secara definitif pembangunan berkelanjutan
merupakan pembangunan yang mengupayakan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup generasi
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik kualitas maupun kuantitas. Intinya dalam konsepsi pembangunan
berkelanjutan terdapat tiga lipar utama yang harus sama-sama secara seimbang
menjadi pertimbangan pengelolaan sumberdaya alam yaitu dimensi ekologi, ekonomi
dan sosial. Prinsip inilah yang kemudian diadosi pada berbagai sektor baik yang
berbasis sumberdaya alam (natural resources) maupun industri (manufacturing).
Dalam konteks pengelolaan
sumberdaya subsektor perikanan budidaya, sebagai insan akuakultur pastinya kita
tidak asing lagi jika mendengar istilah perikanan budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Istilah tersebut bahkan hampir disetiap kesempatan
seringkali digaungkan, walaupun mungkin sebenarnya tidak sedikit diantara kita
yang justru tidak tahu apa makna dari prinsip sustainability. Kita seringkali salah kaprah dalam memakani prinsip
sustainable aquaculture, dengan
seringkali menyamakan makna keberlanjutan (sustainability)
dengan keberlangsungan (continuity).
Padahal istilah keberlanjutan dengan keberlangsungan merupakan dua makna dalam
konteks yang berbeda. Keberlanjutan lebih mengedepankan aspek lingkungan,
sedangkan makna keberlangsungan lebih mengedapkan aspek bisnis. Kesalahan
persepsi inilah, sehingga dalam implementasinya kegiatan usaha akuakultur
seringkali hanya mempertimbangkan faktor ekonomi semata. Mestinya, dalam
konteks akuakultur, prinsip sustainability
harus dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumberdaya akuakultur secara
bertanggungjawab dengan tetap menjamin kualitas lingkungan dan upaya konservasi
sumberaya alam.
Setidaknya ada dua tantangan
besar utama yang harus dihadapi dalam upaya pengelolaan sub sektor perikanan
budidaya saat ini, yaitu terkait ketahanan pangan (food security) dan
persaingan perdagangan produk akuakultur.
Ketahanan
Pangan (food security) versus Degradasi Lingkungan
Bicara masalah pangan khususnya
kebutuhan akan protein hewani, saat ini pada tataran konsumen masyarakat global
telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari semula berorientasi pada konsumsi
daging merah, kini bergeser pada konsumsi daging putih (ikan) yang dinilai lebih
aman bagi kesehatan. FAO melangsir data, bahwa telah terjadi peningkatan
kebutuhan konsumsi ikan secara signifikan, dimana saat ini telah mampu
melampaui kebutuhan akan daging merah. Pun halnya dengan kinerja produksi
akuakultur, dimana produksi akuakultur dunia mengalami trend peningkatan yang
signifikan. FAO merilis bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2011
telah mengalami lonjakan produksi dari sebesar 4,73 juta ton pada tahun 2006
menjadi 63,6 juta ton pada 2011, disatu sisi dalam kurun waktu yang sama
produksi perikanan tangkap justru menujukkan adanya trend yang konstan (FAO,
2012). Tidak salah jika FAO memprediksi ke depan akuakultur akan menjadi
andalan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat global.
Begitupun secara nasional dalam empat
tahun terakhir ini (tahun 2010-2013) kinerja pencapaian produksi perikanan
budidaya mengalami tren positif dengan kenaikan rata-rata produksi per tahun
sebesar 29,9% (sumber : Data Statistik Perikanan Budidaya, 2014). Tahun 2013
produksi perikanan budidaya menepati urutan ke 2 terbesar setelah China sebagai
produsen perikanan budidaya dunia (sumber : FAO, 2014)
Namun disisi lain, akuakultur
juga dihadapkan pada suatu tantangan besar yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan
pangan yang kian meningkat ditengah permasalahan penurunan kualitas sumberdaya
alam dan lingkungan global. Perubahan iklim dalam hal ini fenomena pemanasan
global (global warming)) dan berbagai masalah lingkungan saat ini telah berdampak
langsung terhadap penurunan daya dukung lingkungan secara signifikan dan
menjadi ancaman bagi pengembangan akuakultur. Upaya eksploitasi yang terus
menerus secara tidak terukur terhadap sumberdaya yang ada pada kenyataannya
telah menyisakan banyak kerusakan yang imbasnya telah secara signifikan menurunkan
tapak ekologis (ecologycal footprint),
sementara disisi lain pertumbuhan penduduk semakin tak terkendali dengan begitu
secara otomatis terjadi peningkatan terhadap kebutuhan hidup masyarakat. Begitupun
tata kelola pengembangan akuakultur yang didominasi oleh pertimbangan aspek
ekonomi semata justru cenderung menggiring upaya pemanfaatan yang bersifat
ekspolitatif tanpa mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi
ini tentunya sangat berbahaya dan mengancam ketahanan pangan yang saat ini
menjadi permasalahan besar yang dihadapi berbagai negara di belahan dunia
termasuk Indonesia.
Imbas dari kesemua ini kian
nampak, ditandai dengan mulai munculnya beberapa persoalaan seperti wabah hama
dan penyakit ikan, dan degradasi kualitas lingkungan. Munculnya berbagai kasus
dalam proses produksi akuakultur harus disadari bahwa kesemuannya adalah
sebagai akibat dari diabaikannya aspek ekologi dalam pengelolaan akuakultur. Pengelolaan
yang cenderung eksploitatif tanpa mempertimbangkan daya dukung, menyebabkan
putusnya mara rantai ekosistem yang komplek, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan siklus alamiah yang ada. Pengelolaan akuakultur mestinya
dilakukan secara bertanggungjawab, dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem.
Bentuk manipulasi lingkungan melalui modernisasi teknologi yang terkesan tidak
terukur harus sudah dihindari, oleh karena itu pengelolaannya harus berbasis
pada ekosistem (Ecosystem-base
Aquaculture).
Menarik ulasan dari Prof. Dwi
Andreas Santoso (guru besar Fakultas Pertanian IPB Bogor) tentang “Setahun
Kedaulatan Pangan” yang dimuat di harian Kompas pada edisi 28 Desember 2015,
yang menyatakan bahwa salah satu indikator keberhasilan pencapaian kedaulatan
pangan nasional yang belum menjadi fokus perhatian yaitu produksi pertanian
berkelanjutan berbasis agroekologi, dimana saat ini belum menjadi kebijakan
nasional, namun Pemerintah justru cenderung mendorong kedaulatan pangan melalui
pengembangan pertanian berbasis industri dan food estate yang justru bertolak belakang dengan konsep agroekologi.
Apa yang disampaikan Prof. Andreas di atas, mestinya dijadikan bahan
pertimbangan dalam mengelola sumberdaya akuakultur yang bertanggungjawab dan
berkelanjutan. Dengan demikian, dalam konteks perikanan budidaya, maka
kedaulatan pangan harus dimaknai sebagai sebuah upaya pengelolaan SDA perikanan
budidaya secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini, dengan
tetap menjamin ketersediaan sumberdaya bagi generasi yang akan datang.
Keberterimaan
Produk Akuakultur
Tantangan yang ke-dua, dimana
tepat tanggal 1 Januari 2016 merupakan awal diberlakukannya liberalisasi
ekonomi pada regional Asean atau berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Pada satu sisi MEA dirancang sebagai upaya menggalang kekuatan ekonomi
negera-negara Asean untuk menyongsong menjadi sebuah kekuatan ekonomi dunia
baru. Tapi disisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan MEA justru
dianggap menjadi medan perang persaingan bebas antar negara-negara Asean itu
sendiri. Peluang semakin bebasnya arus barang dan jasa menjadi tantangan besar
tersendiri bagi dunia akuakultur di Indonesia. Dua potensi besar yaitu SDA dan
jumlah penduduk yang besar akan menjadi peluang, namun disatu sisi akan menjadi
bumerang jika kita tidak bijak dalam melakukan pengelolaan. Dengan kata lain,
dimanakah peran kita, apakah akan sekedar menjadi Semut atau justru hanya
menjadi Gula atau mampu memainkan peran kedua-duanya? Dalam konteks akuakultur
yang bertanggungjawab, maka sejatinya persaingan perdagangan baik pada tataran
regional Asean mapun global, tidak semata dilihat berdasarkan pertimbangan
nilai strategis ekonomi melalui peningkatan produksi yang sebesar-besarnya,
namun pengelolaan SDA akakultur harus dilakukan sebijak mungkin melalui
pemanfaatan yang konservatif bukan eksploitatif.
Isu-isu terkait sustainability, foodsafety and treacibility,
enviromental friendly, animal walfare dan social
responsibility menjadi bagian yang menjadi fokus perhatian masyarakat konsumen di dunia. Ini
dapat dibuktikan dengan mulai dimasukannya isu-isu tersebut dalam persyaratan
standar perdagangan global baik yang bersifat privat standart maupun public
standar. Dengan berlakunya standar internasional tersebut, mau tidak mau
sebagai bagian dari komunitas global, maka berbagai produk akuakultur wajib
memenuhi ketentuan persyaratan tersebut. Indonesia telah mulai mengharmonisasi
ketentuan standar internasional pada produk perikanan melalui kebijakan Sistem
Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan Hasil Perikanan (SJMKHP). SJMKHP merupakan
sebuah manajemen sistem penerapan mutu secara terintegrasi mulai mata rantai di
hulu hingga hilir. Pada tataran di Hulu penerapan SJMKHP melalui upaya
sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) pada level pembenihan; Cara
Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) pada level produksi budidaya; monitoring OIKB
dan kebijakan pengendalian pakan ikan.
Harus diakui dalam
implementasinya SJMKHP belum terlaksana dengan baik, antara lain belum
terbangunnya sebuah mata rantai sistem yang menjamin ketelusuran (treacibility) dari hulu hingga hilir
secara efektif, akan tetapi masih bersifat parsial dan tersegmen pada
masing-masing level sistem. SJMKHP mestinya menjadi alat kontrol bagi
terjaminnya keamanan dan kualitas sebuah produk hasil budidaya sampai pada
tataran konsumen.
Tidak mudah memang melakukan
implementasi secara sempurna, hal ini disebabkan masalah produk di Indonesia
harus kembali dihadapkan pada masalah persepsi baik pada level produsen
(pembudidaya) maupun konsumen. Ini semakin kentara, terutama penerapan SJMKHP
terhadap produk-produk yang berorientasi pada pasar domestik. Di level
pembudidaya, penerapan CBIB masih dianggap membebani biaya produksi, padahal
disatu sisi mereka merasa CBIB belum memberikan efek bagi peningkatan nilai
tambah ataupun posisi tawar produk di pasaran. Sedangkan pada level konsumen,
pilihan produk yang murah masih mendominasi persepsi sebagian besar masyarakat
Indonesia dibanding pilihan terhadap produk aman dan berkualitas, atau dengan
kata lain belum ada penghargaan terhadap produk yang tersertifikasi. Jika pada
level hulu persepsi di atas masih tetap dipertahankan, begitu pula pada level
konsumen, maka yang terjadi adalah “kerapuhan” produk dalam negeri. Ini
berbahaya, jika kita dihadapkan pada kenyataan semakin meledaknya arus
barang/produk perikanan impor yang berpotensi menguasai pasar dalam negeri,
sementara produk kita justru tertahan karena lemahnya penerapan SJMKHP yang
berujung pada penurunan daya saing produk.
Satu-satunya jalan yaitu dengan
merubah persepsi masyarakat terhadap produk akuakultur dalam negeri. Seiring
berlakuknya era perdagangan bebas dengan semakin ketatnya persaingan mutu, maka
SJMKHP bukan lagi sebatas persyaratan yang bersifat administratif namun sudah
harus menjadi kebutuhan, karena mau tidak mau akan menjadi syarat mutlak jika
ingin produk dalam negeri berdaya saing. Disamping itu kampanye gerakan cinta
produk dalam negeri, kampanye gerakan makan ikan harus terus digalakan pada
semua level masyarakat. Jika pada level pembudidaya dan konsumen sama –sama
terbangun tanggungjawab dan saling memberikan feedback positif, maka sudah barang tentu SJMKHP akan mmenjadi
sebuah kebutuhan bersama ke dua belah pihak. Kondisi ini sudah mulai terjadi
pada produk akuakultur dengan tujuan ekspor seperti udang, dimana tuntutan
konsumen (persepsi) yang tinggi akan produk aman dan berkualitas telah
memberikan dampak terhadap kesadaran pembudidaya udang dalam memproduksi produk
yang terjamin mutu dan keamanan pangannnya.
Tentunya ini bukan hanya menjadi
pekerjaan ruman Kementerian Kelautan dan Perikanan semata tapi menjadi PR
bersama lintas sektor terkait.
Membangun
Paradigma Eko-akuakultur
Sektor industri harus diakui menjadi
penyebab terbesar munculnya permasalahan lingkungan, namun berbagai fakta
menyimpulkan bahwa sektor agrikultur secara umum termasuk perikanan budidaya
juga telah memberikan share sebagai
penyumbang terhadap berbagai permasalahan lingkungan saat ini. Dalam buku “Challenging the Aquaculture Industry on Sustainability”, edisi
Maret 2008 yang diterbitkan Greenpeace
International”, justru menyampaikan fakta bahwa industri akuakultur turut
memberikan kontribusi potensi dampak negatif terhadap fenomena perubahan
lingkungan global saat ini. Dampak
negatif tersebut antara lain berkaitan dengan alih fungsi lahan (land conversion), emisi, biodiversity,
pencemaran akibat polutan (nutrien, dan bahan kimia), dan isu lain yang
berkaitan dengan konflik pemanfaatan sumberdaya air.
Apapun itu, nampaknya fenomena
tersebut sudah harus menjadi bahan pertimbangan bagi titik balik pola
pengelolaan akuakultur yang lebih bertanggungjawab. Indonesia sebagai salah
satu penopang terbesar produk akuakultur dunia harus segera menentukan
langkah-langkah konkrit sebagai upaya antisipasi dini dalam menghadapi
tantangan akuakultur ke depan dengan memperkuat interaksi akuakultur dengan
lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dari bahasan di atas, sebenarnya
muara dari prinsip sustainability
adalah pada dimensi lingkungan. Artinya, tidak bisa sebuah pengelolaan
akuakutur dikatakan berkelanjutan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan di
dalamnya. Dengan kata lain, lingkungan
dimaksud bukan hanya lingkungan yang terfokus pada on farm, tapi lingkungan dalam arti luas yang berkaitan dengan
jaminan keseimbangan siklus alamiah yang membangun sebuah ekosistem secara
keseluruhan.
FAO -Code of Conduct for Responsible Aquaculture (1995) telah memberikan
acuan kepada negara-negara di dunia
bagaimana melakukan pengelolaan akuakultur secara bertanggungjawab dengan
menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Merujuk pada apa yang
telah diamanatkan dalam FAO-code of
conduct di atas, kita dapat memetakan terkait interaksi antara akuakultur
dengan dimensi lingkungan sebagai salah stu indikator sebuah pengelolaan usaha
budidaya bisa dikatakan sustain.
Dalam konteks perikanan
berkelanjutan, maka perlu ada perubahan paradigma pola pengelolaan akuakultur ke
arah yang berbasis pada eko-akuakultur (merujuk pada istilah agroekologi). Prinsip
eko-akuakultur merupakan pendekatan yang berbasis pada upaya konservasi, dimana
didalamnya dimaknai sebagai upaya pelestarian sumberdaya dan lingkungan (save);
pembelajaran/riset (study), dan pemanfaatan untuk kesejahteraan (use
for Prosperity). Adapun
indikator eko-akuakultur dalam kerangka prinsip sustainability harus mencakup beberapa poin isu utama, yaitu :
Pertama, konversi lahan (land conversion). Pengembangan kawasan akuakultur tidak boleh mengorbankan kawasan
penyangga, kawasan konservasi, dan kawasan-kawasan lain yang bersifat vital
sebagai penopang ekosistem secara keseluruhan. Dalam penetapan kawasan budidaya
tambak, misalnya, maka pelaku usaha wajib menyediakan spare minimal 20% dari total lahan potensial untuk kawasan
penyangga (buffer zone), begitupun dengan jenis budidaya
lainnya.
Maraknya alih fungsi lahan hutan
mangrove beberapa dekade yang lalu menjadi lahan pertambakan secara tak
terkendali, pada kenyataannya telah mendegradasi struktur, komposisi dan fungsi
ekosistem yang ada. Kondisi ini pada akhirnya juga menjadi bumerang bagi
aktivitas akuakultur dan menyisakan masalah berkepanjangan hingga saat ini.
Merebaknya hama dan penyakit pada ikan dan udang merupakan bagian mata rantai
sebagai akibat terabaikannya aspek ekologis yang membangun sebuah ekosistem
tersebut. Berbagai kasus alih fungsi lahan juga dikhawatirkan
para pakar. Menurut Byron
and Costa-Pierce (2010) bahwa pertumbuhan
yang cepat dari kegiatan akuakultur dapat menyebabkan
terjadinya dampak ekologi dan sosial
sehingga dapat menimbulkan konflik
seperti kegiatan akuakultur akan bersaing dalam
pemanfaatan ruang dan sumber daya
terhadap tanah, air, dan pantai.
Sebagai bentuk tanggungjawab,
para pelaku usaha akuakultur sudah seharusnya menyediakan kompensasi jasa
lingkungan, misalnya melalui upaya rehabilitasi ekosistem mangrove dan lainnya.
Integrasi pola budidaya dengan ekosistem hutan mangrove menjadi alternatif
dalam menjamin akuakultur secara berkelanjutan. Hutan mangrove merupakan IPAL
alami sekaligus biosecurity yang
paling efektif. Konsep wana-mina yang
dulu sempat menjadi fokus kebijakan saat ini kembali harus digalakan.
Kedua, daya dukung dan
daya tampung lingkungan. Daya dukung
lingkungan secara
umum diartikan sebagai kemampuan lingkungan dalam menopang/mendukung
perikehidupan makluk hidup. Dalam konteks akuakultur, maka daya dukung
lingkungan merupakan kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan ikan secara
optimal. Sedangkan daya tampung lingkungan sebagaimana Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain
yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Daya dukung lingkungan yang baik
adalah pada kondisi dimana siklus kehidupan dalam sebuah ekosistem berjalan
dengan normal, sehingga mampu menopang prikehidupan ikan/udang yang
dibudidayakan. Sangat disayangkan, manakala pelaku usaha budidaya karena termotivasi
meraup hasil produksi yang tinggi lantas melakukan budidaya tanpa memperhitungkan
daya dukung lingkungan yang ada. Kita lihat misalnya di Pantai Utara Jawa,
hasil kajian daya dukung lahan yang dilakukan jauh sebelumnya menyebutkan bahwa
daya dukung lahan hanya sekitar 40% dengan rekomendasi teknologi maksimal semi
intensif, kondisi ini mestinya sejak dini menjadi bahan acuan pelaku usaha
budidaya dalam memilih rekomendasi tingkat teknologi budidaya.
Di perairan umum berbagai masalah lingkungan kemudian muncul
dan mengakibatkan masalah pada usaha budidaya dan ekosistem secara umum. Contoh
konkrit adalah kasus degradasi lingkungan pada waduk Cirata. Tidak dapat
dipungkiri bahwa masalah waduk Cirata yang mencapai titik klimaks adalah
sebagai akibat terabaikannya aturan hukum yang dibuat, sayangnya Pemerintah
sebagai regulator dalam hal ini justru abai terutama dari aspek perencanaan, pengawasan,
evaluasi dan penegakan di lapangan. Rusaknnya ekosistem DAS dan tidak
terkendalinya aktivitas KJA adalah bukti lemahnya implementasi aturan dan jelas
secara hukum adalah bentuk suatu pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada termasuk didalamnya terkait aturan perijinan dan zonasi/tata
ruang. Jika regulasi/aturan yang ada dijalankan dengan baik, maka masalah waduk
Cirata dan perairan umum di Indonesia bisa diantisipasi dengan baik. Sebuah
regulasi/aturan dibuat seyogyanya merupakan bentuk antisipasi dini (ke
hati-hatian) yang merupakan bagian dari
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Kita seringkali terjebak dengan
hanya melakukan upaya kuratif, parsial dan bersifat jangka pendek yang justru
tidak bisa menyelesaikan masalah secara jangka panjang. Masalah perairan umum
tidak hanya bisa diselesaikan dengan upaya di atas karena terdapat multi-problem dengan melibakan multi aktor,
sehingga pendekatan pengelolaan harus berbasis eco-region bukan terbatas pada wilayah administratif. Pedekatan
berbasis ec—region memungkinkan penyelesaian dilakukan secara komprehensif dan
terintegrasi tanpa harus tersegmentasi berdasarkan batasan wilayah
adiministratif. Penataan aktivitas sepanjang kawasan DAS dan sekitar waduk;
penataan aktivitas budidaya di KJA yang disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan; perbaikan dan pemulihan area tangkapan (catchment area) di hulu dan area konservasi (protection area) baik di hulu maupun disekitar area waduk mutlak
dilakukan. Area konservasi adalah hal utama, dimana masalah SDA dan lingkungan
disebabkan karena mulai terkikisnya protection
area tersebut. Maka, pengelolaan area konservasi yang berbasis pada
pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar area DAS dan waduk sudah menjadi suatu
keniscayaan.
Dilain pihak modernisasi
teknologi akuakultur yang berbasis industri kian cepat, disatu sisi merupakan
bentuk keberhasilan dalam upaya menggenjot produksi akuakultur, namun disisi
lain tanpa kita sadari justru berpotensi tidak mampu dirasakan secara jangka
panjang. Modernisasi teknologi yang tak terkontrol memicu penggunaan input
produksi dan energi yang besar, dimana pada akhirnya akan menghasilkan beban
limbah buangan budidaya yang tinggi baik padat maupun cair, dan sudah barang
tentu emisi. Penerapan high density misalnya, akan memicu penggunaan
input pakan dan energi, disatu sisi belum adanya jaminan pengelolaan limbah
yang efektif, atau lebih parah lagi tidak dilakukannnya kajian daya dukung lingkungan
sebelumnya. Kondisi ini sudah dipastikan akan menimbulkan masalah di kemudiaan
hari.
Saat ini yang tengah menjadi trending topic adalah penerapan
teknologi supra intensif dengan mengandalkan high density melalui rekayasa lingkungan dan telah menghasilkan
produktivitas yang mencengangkan >
150 ton/ha, dan konon merupakan teknologi yang menghasilkan produktifitas
tertinggi di dunia. Sontak kita dibuat tercengang sekaligus terbesit perasaan
bangga, sehingga teknologi ini telah banyak diadopsi di berbagai daerah. Namun
pertanyaannya kemudian muncul, sudahkah sebelumnya dikaji daya dukung dan daya
tampung lingkungannya; potensi emisi
atas penggunaan energi, dan efektifitas pengelolaan limbahnya? Akumulasi limbah
pakan dikhawatirkan dalam jangka waktu lama akan melampaui daya tampung
lingkungan, sehingga imbasnya akan berdampak negatif terhadap jalannya siklus
yang membangun sebuah ekosistem. Kesimpulannya, sudahkan teknologi ini dikaji
status keberlanjutannya?
Fenomena penyakit WFD (White Feces Desease) yang akhir-akhir
ini dihadapi para pelaku budidaya udang patut diyakini bahwa muara yang
menyebabkan terjadinya masalah tersebut adalah terputusnya mata rantai siklus
yang membangun sebuah ekosistem akibat terabaikannya aspek ekologis dalam
pengelolaan budidaya. Oleh karena itu, kita jangan terjebak hanya pada upaya
penanggulangan penyakitnya saja, tapi lebih dari itu harus lebih didorong pada
upaya preventif dengan melakukan pengelolaan budidaya yang lebih
bertanggungjawab.
Upaya beberapa negara-negara di
dunia khususnya di Uni Eropa yang mulai menggeser paradigma pengelolaan
akuakultur dari berbasis modernisasi teknologi kepada akuakultur yang berbasis
ekosistem, patut menjadi bahan pertimbangan. Penerapan IMTA (integrated Multi Trophic Aquaculture)
dan pengelolaan yang berbasis ekosistem lainnya, sudah semestinya di dorong
mulai saat ini. Pemetaan daya dukung lahan pada sentral produksi dan kawasan
potensial menjadi sesuatu yang mutlak untuk segera dilakukan, sehingga akan
memberikan acuan rekomendasi bagi pengelolaan akuakultur dan tingkatan
teknologi yang dapat diterapkan.
Ketiga, proses domestikasi (domestication). Dalam dunia akuakultur, proses domestikasi suatu spesies merupakan
hal lumrah dan diperlukan. Seiring perkembangan rekayasa teknologi akuakultur
yang sudah sedemikian maju, domestikasi
telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi akuakultur saat
ini.
Sebagaimana yang disampaikan IUCN
(International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) bahwa dalam konteks dimensi lingkungan, maka
maka perlu ada semacam acuan terkait kegiatan domestikasi dimaksud, yaitu : (a)
Selective breeding harus didorong
sebagai upaya dalam menghasilkan spesies yang unggul, namun demikian harus
dirancang dalam meminimalisir potensi dampak
terhadap biodiversity; (b) sistem
budidaya harus dirancang sebagai upaya mengurangi pelepasan spesies hasil
rekayasa genetik ke alam liar (escape
management); (c) pembuatan bank gen
dari spesies ikan liar harus didorong sebagai tempat sumber genetik.
Keempat, pakan (feed). Permasalahan
pakan seolah tidak ada habisnya, bayangkan lebih dari 60% dari total cost produksi dikeluarkan untuk biaya
pakan. Isu pakan juga menjadi isu strategis sebagai permasalahan utama dalam
bisnis akuakultur global. Bukan hanya karena merupakan bagian terbesar penyusun
cost produksi, namun disisi lain
dalam dimensi lingkungan, ternyata pakan berpotensi cukup besar dalam
memberikan kontribusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.
Bahan baku pakan khususnya high protein masih mengandalkan pada
tepung ikan yang didapatkan dari hasil tangkapan ikan laut non ekonomis.
Kondisi ini tentunya sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan food security, terlebih jika raw material pakan dihasilkan dengan
cara-cara yang tidak sustainable yang
justru mengancam biodiversity.
Terkait isu bahan baku pakan, maka beberapa rekomendasi yang patut menjadi
bahan perhatian, yaitu : (a) sumber bahan baku pakan harus terjamin aspek
keberlanjutannya, dimana sumber bahan baku pakan tersebut didapatkan dengan
tanpa menggangu ekosistem yang ada. Pada negara-negara eksportir tepung ikan
seperti Chili, sertifikasi sutainability
sumber bahan baku tepung ikan menjadi salah satu persyaratan ekspor. Salah satu
sertifikasi terkait tepung ikan misalnya yang dikeluarkan oleh IFFO
(International Fishmeal and Fish Oil).
Sertifikasi IFFO merupakan sebuah bentuk legalitas terkait tanggungjjjawab
lingkungan. (sumber : bisnis.com);
(b) mendorong penggunaan pakan melalui manajemen pengelolaan pakan secara
efisien; (c) mendorong adanya kajian terkait alternatif penggunaan bahan baku
tepung ikan dan minyak ikan (fish oil)
selain yang berasal dari hasil tangkapan ikan. Salah satu upaya yang patut
dijadikan rujukan adalah memproduksi tepung ikan dari sisa (by product ) industri pengolahan ikan
sebagaimana yang telah dilakukan uji coba pada beberapa negara di Eropa; (d)
dalam upaya mengurangi ketergantungan pada pakan high protein, maka sudah saatnya didorong budidaya ikan berbasis
pada komoditas low-trophic level (IUCN,
2007); dan (e) mendorong akuakultur berbasis ekosistem, salah satunya
mengintegrasikan aktivitas akuakultur dengan agrikultur seperti mina-padi dan wana-mina.
Kelima, potensi pollutan. Industri
akuakultur di satu sisi berpotensi dalam menghasilkan limbah pollutan. Pollutan
tersebut berpotensi besar sebagai akibat dari akumulasi bahan organik.
Penggunaan pakan dan bahan organik lain yang tidak terkontrol (tidak efisien)
disinyalir akan mengakibatkkan akumulasi bahan organik yang justru jika tidak
ada penanganan yang efektif, akan mengakibatkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Peningkatan BOD (biologycal
oxigen demand) secara signifikan merupakan indikator terjadinya pencemaran
lingkungan.
Menurut Edwards (1993) bahwa nutrisi dalam pakan yang
dikonsumsi ikan sebanyak sepertiganya akan langsung dibuang ke perairan dan
sisanya terbuang dalam proses pertumbuhan. Sekitar 15-30% nitrogen (N) dan
fosfor (P) dalam pakan akan diretensikan dalam daging ikan, sedangkan sisanya
terbuang ke lingkungan (Ackefors and Enell, 1994; Beveridge, 2004; Leung et al., 1999). Bahkan Folke et al.
(1994) menyetarakan beban
limbah budidaya yang dihasilkan sama dengan beban limbah pemukiman yang didiami
sebanyak 850 – 3.200 orang untuk memproduksi 100 ton ikan.
Efektivitas pengelolaan budidaya
yang menerapkan Best management Practices
dan pengelolaan dan pengendalian limbah buangan harus menjadi fokus utama.
Perangkat IPAL (instalansi pengelolaan limbah) yang efektif menjadi syarat
mutlak yang harus ada dalam aktivitas industri akuakultur. Potensi polutan juga
dapat berasal dari bahan kimia dan biologis yang digunakan dalam proses
produksi akuakultur, oleh karena itu maka pengawasan dan kontrol secara
intensif terhadap rangkaian proses budidaya mutlak dilakukan. Industri
akuakultur ke depan harus didorong agar melakukan inovasi yang mengedepankan
teknologi/produksi bersih yang nir-limbah
atau dengan kata lain menerapkan prinsip eko-efesiensi..
Keenam, Emisi (emission). Fenomena global warming sebagai akibat efek gas
rumah kaca, pada kenyataannya tidak hanya disebabkan oleh aktivitas industri,
namun demikian kontribusi sektor lain dalam hal ini agrikultur dan akuakultur
juga memberikan share terhadap
perubahan iklim global. Penggunaan pakan buatan (pabrikan) dan energi fosil
merupakan unsur yang memberikan kontribusi besar pada emisi karbon. Dalam
dimensi lingkungan, sebuah peengelolaan usaha akuakultur yang masih
mengandalkan energi fosil belum dapat dikatakan
berkelanjutan.
Ada hal menarik, hasil carbon
tracing terhadap aktivitas budidaya tambak intensif menyebutkkan bahwa
emisi karbon cukup banyak disumbangkan oleh penggunanan energi fosil dan pakan
(terutama pakan pabrikan). Dalam produksi per ton udang vaname dengan teknologi
bioflok (intensif) menghasilkan dampak terhadap lingkungan dalam hal ini global
warming potential (GWP) sebesar 7336,77 ± 1,46 kg CO2eq, dimana nilai tersebut
berasal dari kontribusi penggunaan energi llistrik sebesar 43%, pakan udang 38%
dan sarana produksi 18% (Ma’in et al,.
2013). Berkaitan dengan hal tersebut, maka startegi yang memungkinkan dilakukan
dalam meminimalisir dampak emisi yaitu ; (a) perlu
dilakukan perbaikan manajemen pemberian pakan berbasis kualitas air,dan peningkatan efesiensi pakan; (b) pengurangan
konsumsi energi listrik; dan (c) pengelolaan limbah yang efektif (Ma’in et al,. 2013).
Ketujuh, keanekaragaman hayati (Biodiversity). Dalam pembahasan IBSAP (Indonesia
Biodiversity Strategy and Action Plan) yang digagas Bappenas tahun 2014
yang lalu memberikan arahan kepada lintas sektoral termasuk sektor Kelautan dan
Perikanan untuk turut serta dalam menjaga keberadaan keanekaragaman hayati. Sub
sektor perikanan budidaya mempunyai peran penting dalam menjamin kelestarian biodiversity salah satunya melalui peran
domestikasi dan pengembangan bioteknologi akuakultur.
Saat ini, sub sektor perikanan
budidaya sudah semestinya didorong bukan hanya pada komoditas ekonomis penting
yang berbasis pada market oriented,
namun sudah harus fokus dalam mempertahankan dan mengembangkan komoditas yang
berbasis spesies endemik lokal dan spesies yang terancam kelestariannya. Disisi
lain, bioteknologi akuakultur yang berkaitan dengan rekayasa genetik harus
diantisipasi agar tidak berdampak negatif terhadap spesies yang ada di alam (wild species) dengan memproteksi agar
tidak lepas ke alam. Sub sektor akuakultur juga harus berperan dalam
memproteksi perkembangan spesies-spesies ikan yang bersifat invasif serta
melakukan kajian dampak terhadap biodiversity. Introduksi komoditas alien invasif species pada perairan umum melalui upaya restocking harus dihindari, sebagai
upaya menjaga kelestarian ikan endemik lokal. Data menyebutkan bahwa produksi
ikan alien invasif species menunjukan tren peningkatan yang cukup signifikan,
sedangkan ikan endemik lokal dan non
alien spesies justru mengalami penurunan. Oleh sebab itu pengelolaan
akuakultur yang bertanggungjawab harus mengedepankan prinsip kehati-hatian
yaitu setiap perencanaan pengelolaan harus terukur dan mengedepankan analisis
resiko sebagai bentuk pencegahan dini terhadap potensi dampak yang ditimbulkan
dari aktivitas usaha akuakultur.
Kedelapan, penilaian lingkungan (Enviromental assesment). Isu lingkungan telah memasuki ranah
lalu lintas perdagangan global saat ini khususnya yang berbasis sumberdaya
alam. Beragam standar dan persyaratan ekspor yang berkaitan dengan sertifikasi
produk telah banyak dikeluarkan baik bersifat privat standar maupun publik
standar. Fenomena ini walaupun terasa memberatkan tapi harus diakui bahwa kesemuannya
membuktikan adanya sebuah kesadaran masyarakat global terkait pentingnya
menerapkan prinsip sustainable
development.
Rekomendasi
Melatarbelakangi berbagai
permasalahan SDA dan lingkungan, dan semakin ketatnya persaingan perdagangan
sebagaimana ulasan di atas, maka saat ini dan kedepan semua pihak harus sudah
mulai merubah cara pandang bahwa pengelolaan akuakultur yang bertanggungjawab
dan berkelanjutan menjadi sebuah keniscayaan dan harus menjadi pondasi utama.
Makna keberlanjutan dalam pengelolaan akuakultur harus menjamin sebuah
keseimbangan pertimbangan tata kelola pada aspek multidimensi yaitu dimensi
ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, infrastruktur, regulasi dan kelembagaaan.
Pertama, dimensi ekologi. Pengelolaan
SDA akuakultur tidak bisa dilepaskan pada pertimbangan daya dukung, dan
bertanggungjawab terhadap kelestarian ekosistem secara umum. Penerapan ecosystem approach for aquaculture harus
mulai menjadi fokus kebijakan. Degradasi kualitas lingkungan harus diisikapi
dengan merubah pola budidaya ke arah upaya-upaya konservasi dan penerapan
teknologi bersih dengan memegang prinsip eko-efesiensi.
Kedua, dimensi ekonomi, pengelolaan akuakultur harus mampu menjamin sebuah
kesejahteraan masyarakat, bukan hanya jaminan bagi generasi saat ini tapi dalam
persepektif pembangunan berkelanjutan, maka nilai strategis ekonomi SDA
akuakultur harus mampu dirasakan oleh generasi yang akan datang.
Ketiga, dimensi sosial. Pengelolaan akuakultur harus diletakan sebagai familiy base aquaculture bukan semata coorporate base aquaculture, sehingga
mampu menjamin aspek pemberdayaan masyarakat dan memberikan kesempatan berusaha
seluas-luasnya kepada masyarakat. Disamping itu, jaminan produk akuakultur yang
aman dan berkualitas harus menjadi pertimbangan utama sebagai bentuk
tanggungjawab sosial bagi pemenuhan hak masyarakat konsumen akan kebutuhan
pangan yang sehat.
Keempat, dimensi teknologi. Penerapan teknologi akuakultur harus terukur,
memegang prinsip nir-limbah dan ramah lingkungan (enviromental friendly), serta efisiensi. Modernisasi teknologi yang
hanya berpatokan pada aspek ekonomi dengan berupaya menggenjot produksi
sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian ekosistem
harus sudah ditinggalkan. Orientasi inovasi teknologi harus berbasis ekosistem
(ecosystem base aquaculture). Prinsip
ekonomi biru (blue economy) yang
menjadi dasar pengelolaan sektor kelautan dan perikanan harus benar-benar
terimplementasi secara konkrit.
Kelima, dimensi infrastruktur. Pengembangan dan perbaikan infrastruktur
menjadi hal mutlak dalam upaya meningkatkan daya saing produk akuakultur.
Infrastruktur harus dibangun dalam kerangka menjamin konektivitas mata rantai
produksi dari hulu hingga ke hilir, sehingga secara langsung akan berdampak
pada peningkatan tingkat efesiensi, dimana pada akhirnya akan memberikan nilai
tambah produk yang lebih tinggi.
Keenam, regulasi dan kelembagaan. Pengelolaan akuakultur yang
bertanggungjawab dan berkelanjutan tidak akan efektif terimplementasi tanpa ada
dukungan kebijakan pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator.
Setidaknya ada beberapa poin penting yang perlu didorong sebagai upaya dalam
memberikan acuan pengelolaan akuakultur, yaitu :
a.
Melakukan
pemetaan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan pada setiap sentral
produksi dan kawasan potensial pengembangan akuakultur. Ini penting sebagai
acuan dini dalam menentukan rekomendasi tingkat
teknologi yang akan diterapkan. Target produksi harus mengacu pada
kemampuan daya dukung (ekologi, ekonomi, sosial budaya) yang ada, dengan begitu
pengelolaan akan berkelanjutan.
b.
Pemerintah
perlu memfasilitasi sebuah konsensus untuk membuat suatu acuan (guidelines) terkait indikator aspek multidimensi (ekologis,
ekonomi, sosial, infrastruktur, teknologi, kebijakan dan kelembagaan) dalam
menilai indeks dan status keberlanjutan suatu kawasan pengembangan akuakultur (Aquaculture Sustainability Index). Acuan
lainnya yaitu terkait Ecosystem Approach
for Aquaculture (EAA), dan penilaian terkait Aquaculture Performance Index (API) di setiap sentral produksi. Ini
penting sebagai bentuk antisipasi dini dan bahan acuan bagi stakeholders dalam melakukan sebuah
startegi pengelolaan budidaya yang berkelanjutan. Semua acuan di atas tentunya
mengacu pada FAO-code of conduct for
fisheries responsibility, ataupun acuan internasional lain seperti yang
dikeluarkan oleh International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
c.
Pemerintah
perlu memperbaiki terkait persyaratan perijinan usaha akuakultur. Perijinan
usaha multi sektor termasuk usaha akuakultur seharusnya mengacu pada ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup yaitu UU No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) beserta
turunannya. Dalam ketentuan pasal 22 UU no 32 2009 diatur bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal”. Kemudian
dalam ketentuan pasal 34 diatur bahwa “Setiap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
wajib memiliki UKL- UPL”. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 36
menyebutkan bahwa “Setiap usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”.
Dari ketentuan di atas, jelas bahwa khusus bagi usaha akuakultur yang berdampak
penting seperti penggunaan input teknologi tinggi, input produksi dan energi
tinggi dalam ketentuan perijinan usahanya wajib dilengkapi oleh ijin
lingkungan. Merebaknya pengembangan budidaya tambak udang teknologi tinggi misalnya,
baik teknologi intensif, apalagi supra intensif secara sporadis di berbagai
daerah perlu mendapat perhatian khusus melalui pengendalian yang efektif, salah
satunya dengan memperbaiki ketentuan perijinan usaha sebagai instrumen
pengendalian. Upaya ini tidak boleh dianggap sebagai upaya yang tidak
pro-investasi, namun demikian harus disikapi sebagai upaya dalam menjamin akuakultur
yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Terkait aspek
kelembagaan, maka perlu ada upaya untuk mendorong penguatan kelembagaan pada setiap
sentral produksi, sebagai upaya menjamin berjalaannya mata rantai bisnis.
Penguatan kelembagaan tersebut meliputi kelembagaan pokdakan dan kelembagaan
penunjang, kelembagaan libang, kelembagaan pembenihan, kelembagaan keskanling,
kelembagaan penyuluhan, kelembagaan pasar, dan kelembagaan lainnya yang
disesuaikan oleh potensi wilayah.
Sumber
Rujukan
Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K.,
Ferriss, B., 2000. How Good is Good?: A
Rapid Appraisal Technique for Sustainability Status of Fisheries of The North
Atlantic, in: See Around Us Methodology Review. Fisheries Centre,
University of British Columbia. Vancouver, Canada, pp. 136–182.
Alongi, D.M., Mckinnon, A.D., Brinkman, R., Trott, L.A.,
Undu, M.C., Muawanah, M., Rachmansyah, R., 2009. The Fate of Organic Matter Derived from Small-scale Fish Cage
Aquaculture in Coastal Waters of Sulawesi and Sumatra, Indonesia.
Aquaculture 295, 60–75. doi:10.1016 j.aquaculture.2009.06.025
Ackefors, H., Enell, M., 1994. The Release of Nutrients and Organic Matter from Aquaculture Systems in
Nordic Countries. Journal Application Ichtyology 10, 225–241.
Byron, C.J., Costa-Pierce, B.A., 2010. Carrying Capacity
Tools for Use in the Implementation of an Ecosystems Approach to Aquaculture.
Presented at the FAO Expert Workshop on Aquaculture Site Selection and Carrying
Capacity Estimates fo Inland and Coastal Waterbodies, 6-8 December 2010,
Stirling, U.K, p. 22 p.
Beveridge, M.C.M., 1984a. Cage and Pen Fish Farming. Carrying
Capacity Models and Environmental Impact. FAO Fisheries Technology Paper (255) : 131 p.
Edwards, P., 1993. Environmental Issues in Integrated
Agriculture-Aquaculture and Wastewater-Fed Fish Culture System, p 139-170, in:
Pullin, R.S. V, Rosenthal, H., Maclean, J.L. (Eds.), Environmental and
Aquaculture in Developing Countries. ICLAM Confference Prosiding 31, Manila, p.
359.
Fauzi,
A dan S. Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan :
Aplikasi Pendekatan RAPFISH (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal
Pesisir dan Lautan. Vol. 4(3) : 43-55
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome.
FAO, 2012. Fishery and Aquaculture Statistics. 2012/FAO
annuaire. FAO, Roma. 76 pp.
Folke, C., Kautsky, N., Troell, M., 1994. The Costs of
Eutrophication from Salmon Farming: Implications for Policy. Journal of
Environmental Management 40, 173–182.
General Fisheries
Commission for the Mediterranean. 2011. Indicators
for Sustainable Development of Finfish Aquaculture. Rome, 2011
International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2007. Guide for the Sustainable Development of
Mediterranean Aquaculture. Interaction between Aquaculture and the Environment.
IUCN, Gland, Switzerland and Malaga, Spain.
107 pages.
Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen
Budgets for the Areolated Grouper Epinephelus areolatus Cultured Under
Laboratory Conditions and in Open-sea Cages. Marine Ecology Progress Series 186,
271–281.
Main
et al, 2013. Kajian
Dampak Lingkungan Penerapan Teknologi Bioflok pada Kegiatan Budidaya Udang
Vaname dengan Metode Life Cycle Assessmen. Program Studi Ilmu Lingkungan
Undip Semarang. Jurnal Ilmu Lingkugan Volume 11 Issue 2 : 110-119 (2013)
Profesor Dwi Andreas Santoso. Opini :
Setahun Kedaulatan Pangan. Harian Kompas edisi 28 Desember 2015
UU RI No 32, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WCED.
1998. Our Common Future. (Hari Depan
Kita Bersama, diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). PT. Gramedia. Jakarta. 514p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar