Kamis, 12 Mei 2016

Menyikapi Masalah Perairan Danau Toba



Dimensi Ekologi Pada Fenomena Permasalahan Danau Toba


Rasanya belum lepas dari ingatan kita, bagaimana beberapa bulan yang lalu permasalahan waduk Cirata menjadi topik utama yang menjadi bahasan para akuakulturis dan pemerhati lingkungan. Kini, giliran Danau Toba kembali menyita perhatian kita semua, yang mana secara substansi permasalahan sama persis dengan apa yang terjadi di waduk Cirata dan perairan umum lainnya. Seperti halnya, yang beberapa kali sempat penulis ulas pada beberapa  artikel di media online, bahwa kita selalu saja terjebak pada pendekatan penyelesaian masalah
yang bersifat kuratif, dan parsial, dan seolah lupa bahwa permasalahan perairan umum perlu penanganan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi.

Fenomena kematian massal ikan budidaya yang mencapai lebih dari 1.800 ton, diduga sebagai akibat kekurangan oksigen pada saat terjadinya up-welling. Dari kesimpulan awal tersebut semua orang tertuju pada dampak KJA yang sporadis sebagai penyebab tunggalnya bahkan tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa aktivitas KJA menjadi penyebab tunggal kerusakan ekosistem perairan Danau Toba. Dalam konteks dampak akuakultur, penulis sepakat bahwa keberadaan aktivitas budidaya ikan di KJA yang sporadis tanpa penataan ruang sudah barang tentu akan menimbuulkan masalah. Limbah organik pakan yang terbuang baik melalui ekskresi maupun pakan yang tidak termanfaatkan akan terakumulasi di dasar perairan yang suatu saat akan menjadi boom waktu. Beberapa kajian juga menyebutkan bahwa laju sedimentasi limbah organik di bawah KJA yang tinggi akan menimbulkan penurunan kualitas perairan secara signifikan. Kondisi ini kian diperparah manakala masyarakat tidak melakukan best management practices (BMP) termasuk manajemen pakan dalam proses produksi budidaya.

Pada kasus Cirata, Danau Toba dan peraian umum lainnya penulis ingin mengajak untuk berfikir lebih komprehensif dengan tidak melihat masalah hanya dari satu aspek. Permasalahan lingkungan apalagi pada perairan umum merupakan masalah yang kompleks (multidimensional problem). Baik, penulis ingin mengulas pandangan penulis dan pandangan beberapa ahli lingkungan dengan mengerucutkan permasalahan danau toba pada dimensi ekologi. Dalam konteks diimensi ekologi, melihat permasalahan danau toba harus didasarkan pada kaca mata bio-region, artinya aktivitas multisektor yang dilakukan pada batasan sebuah ekosistem sesungguhnya memberikan dampak yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu penyelesaian masalaha danau toba tidak bisa tersegmen pada masing-masing sektor tapi harus menyeluruh dan terintegrasi antar lintas sektoral, artinya perlu ada pengelolaan kawasan secara terintegrasi (integrated zone managemen) dalam koridor zonasi peruntukannya.

Penurunan kualitas perairan Danau Toba bukan hanya disebabkan oleh faktor tunggal aktivitas budidaya ikan di KJA saja, tapi beragam aktivitas multisektor baik yang terjadi disepanjang DAS maupun secara langsung ke perairan danau juga turut memberikan andil yang besar sebagai penyebab penurunan kualitas dan kerusakan ekosistem. Aktivitas perumahan yang tidak tertata dengan baik turut memberikan andil besar sebagai penyuplai limbah antropogenik, aktivitas pertanian dan perkebunan yang justru berpotensi menyumbang konsentrasi phospor yang cukup besar sebagai penyebab eutrofikasi, penggundulan daerah catchment area juga telah nyata berdampak terhadap tingginya laju sedimentasi , aktivitas peternakan, industri. Dan satu hal lagi dampak dari sektor parawisata. Wacana Pemerintah yang akan menjadikan danau toba sebagai sentral parawisata dunia, sudah barang tentu akan meningkatkan alih fungsi lahan menjadi pusat perhotelan dan fasilitas penunjangnya. Pengembangan perhotelan yang tidak didukung oleh perencanaan lingkungan yang baik justru sangat kontra produktif. Dalam dimensi ekologi, aktivitas parawisata dengan beragam fasilitas hotel dan lainnya sangat berpotensi mengancam ekosistem perairan danau jika tanpa pengendalian yang baik. Jikapun akan dilakukan pengembangan parawisata , maka untuk Danau Toba mestinya didorong dengan berbasis pada pengembangan eco-wisata. Pertanyaannya, sudahkah kesemuanya potensi resiko tersebut dikaji secara komprehensif?

Dari ulasan singkat di atas, maka jalan satu santunya adalah melalui upaya pengendalian secara komprehensif, walaupun melakukan pemulihan sebuah ekosistem membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat, namun upaya-upaya preventif akan lebih baik dilakukan sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian, sehingga permasalahan serupa  tidak terulang kembali. Langkah yang segera perlu dilakukan yaitu :
(a)  Melakukan pemetaan daya dukung lingkungan perairan dengan segera melakukan kajian secara komprehensif terkait daya dukung melalui pendekatan kapasitas perairan, dan berdasarkan pendekatan beban limbah N dan P.  Ini penting sebagai acuan bagi pengaturan tata letak dan jumlah kapasitas KJA yang direkomendasikan pada zona peruntukan budidaya. Hasil kajian ini juga penting sebagai bagian dalam persyaratan perijinan usaha KJA.
(b)  Melakukan kajian terkait kerentanan ekosistem perairan Danau Toba yang didasarkan pada potensi resiko dampak aktivitas multisektor, disamping itu sangat penting dilakukan pengukuran indeks dan status keberlanjutan perairan Danau Toba. Kesemua ini akan menjadi tolak ukur dalam penentuan strategi kebijakan pengelolaan kawasan perairan Danau Toba secara berkelanjutan yaitu melalui pengelolaan kawasan yang terintegrasi (integrated zone management) tentunya dalam koridor zonasi bagi peruntukan masing-masing sektor dan berbasis pada pendekatan eco-region.
(c)   Pengendalian melalui pengawasan secara ketat terhadap aktivitas multisektor baik yang langsung di perairan danau, sepanjang DAS maupun di sekitar kawasan perairan danau (aktivitas up-land) berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada.
(d)  Pengelolaan kawasan perairan Danau Toba berbasis konservasi dengan melibatkan unsur komunitas masyarakat lokal. Sebuah regulasi juga harus mengadopsi unsur kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat lokal di sekitar Perairan danau Toba.
(e)  Dalam kaitannya dengan kegiatan budidaya, maka penerapan best management practices (BMP) dalam proses produksi menjadi sebuah keniscayaan, terutama terkait bagaimana manajemen pangan dilakukan secara efisien untuk meminimalisir buangan limbah pakan. Intinya bagaimana kegiatan budidaya dilakukan secara bersih (nir-limbah) sebagai bagian dari prinsif eko-efesiensi.

Beberapa rekomendasi di atas, masih memfokuskan pada penanganan dari sisi dimensi ekologi (lingkungan), tentunya masih ada dimensi lain yang perlu dijadikan acuan bagai pengelolaan kawasan perairan danau yang berkelanjutan antara lain dimensi ekonomi, dan sosial yang tidak kalah penting perlu menjadi fokus perhatian kita bersama.

Mengakhiri ulasan ini, penulis rasa tidak ada sesuatu masalah yang tidak bisa diselesaikan, dengan catatan mari kita sama-sama tanggalkan rasa ego sektoral, tapi bersinergi dan membangun tanggungjawab bersama. Satu hal lagi, bahwa jangan lupa kita punya sumberdaya alam dan lingkungan yang sangat besar, begitu pula sumberdaya manusia yang kompeten dibidangnya, oleh karena itu tugas Pemerintah adalah bagaimana merangkul mereka untuk duduk bersama dan mengkaji masalah perairan umum ini dengan bermuara pada sebuah alternatif solusi yang efektif.



Penulis
Cocon, S.Pi
Pemerhati Lingkungan

Tidak ada komentar: