Dimensi
Ekologi Pada Fenomena Permasalahan Danau Toba
Rasanya
belum lepas dari ingatan kita, bagaimana beberapa bulan yang lalu permasalahan
waduk Cirata menjadi topik utama yang menjadi bahasan para akuakulturis dan
pemerhati lingkungan. Kini, giliran Danau Toba kembali menyita perhatian kita
semua, yang mana secara substansi permasalahan sama persis dengan apa yang
terjadi di waduk Cirata dan perairan umum lainnya. Seperti halnya, yang
beberapa kali sempat penulis ulas pada beberapa artikel di media online, bahwa kita selalu
saja terjebak pada pendekatan penyelesaian masalah
yang bersifat kuratif, dan parsial, dan seolah lupa bahwa permasalahan perairan umum perlu penanganan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi.
yang bersifat kuratif, dan parsial, dan seolah lupa bahwa permasalahan perairan umum perlu penanganan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi.
Fenomena
kematian massal ikan budidaya yang mencapai lebih dari 1.800 ton, diduga
sebagai akibat kekurangan oksigen pada saat terjadinya up-welling. Dari kesimpulan awal tersebut semua orang tertuju pada
dampak KJA yang sporadis sebagai penyebab tunggalnya bahkan tidak sedikit yang
menyimpulkan bahwa aktivitas KJA menjadi penyebab tunggal kerusakan ekosistem
perairan Danau Toba. Dalam konteks dampak akuakultur, penulis sepakat bahwa
keberadaan aktivitas budidaya ikan di KJA yang sporadis tanpa penataan ruang
sudah barang tentu akan menimbuulkan masalah. Limbah organik pakan yang
terbuang baik melalui ekskresi maupun pakan yang tidak termanfaatkan akan
terakumulasi di dasar perairan yang suatu saat akan menjadi boom waktu.
Beberapa kajian juga menyebutkan bahwa laju sedimentasi limbah organik di bawah
KJA yang tinggi akan menimbulkan penurunan kualitas perairan secara signifikan.
Kondisi ini kian diperparah manakala masyarakat tidak melakukan best management practices (BMP) termasuk
manajemen pakan dalam proses produksi budidaya.
Pada kasus Cirata, Danau Toba dan peraian umum lainnya penulis
ingin mengajak untuk berfikir lebih komprehensif dengan tidak melihat masalah
hanya dari satu aspek. Permasalahan lingkungan apalagi pada perairan umum
merupakan masalah yang kompleks (multidimensional
problem). Baik, penulis ingin mengulas pandangan penulis dan pandangan
beberapa ahli lingkungan dengan mengerucutkan permasalahan danau toba pada
dimensi ekologi. Dalam konteks diimensi ekologi, melihat permasalahan danau
toba harus didasarkan pada kaca mata bio-region, artinya aktivitas multisektor
yang dilakukan pada batasan sebuah ekosistem sesungguhnya memberikan dampak
yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu penyelesaian masalaha danau
toba tidak bisa tersegmen pada masing-masing sektor tapi harus menyeluruh dan
terintegrasi antar lintas sektoral, artinya perlu ada pengelolaan kawasan
secara terintegrasi (integrated zone
managemen) dalam koridor zonasi peruntukannya.
Penurunan kualitas perairan Danau Toba bukan hanya disebabkan oleh
faktor tunggal aktivitas budidaya ikan di KJA saja, tapi beragam aktivitas
multisektor baik yang terjadi disepanjang DAS maupun secara langsung ke
perairan danau juga turut memberikan andil yang besar sebagai penyebab
penurunan kualitas dan kerusakan ekosistem. Aktivitas perumahan yang tidak
tertata dengan baik turut memberikan andil besar sebagai penyuplai limbah
antropogenik, aktivitas pertanian dan perkebunan yang justru berpotensi
menyumbang konsentrasi phospor yang cukup besar sebagai penyebab eutrofikasi,
penggundulan daerah catchment area
juga telah nyata berdampak terhadap tingginya laju sedimentasi , aktivitas
peternakan, industri. Dan satu hal lagi dampak dari sektor parawisata. Wacana Pemerintah
yang akan menjadikan danau toba sebagai sentral parawisata dunia, sudah barang
tentu akan meningkatkan alih fungsi lahan menjadi pusat perhotelan dan fasilitas
penunjangnya. Pengembangan perhotelan yang tidak didukung oleh perencanaan
lingkungan yang baik justru sangat kontra produktif. Dalam dimensi ekologi,
aktivitas parawisata dengan beragam fasilitas hotel dan lainnya sangat
berpotensi mengancam ekosistem perairan danau jika tanpa pengendalian yang
baik. Jikapun akan dilakukan pengembangan parawisata , maka untuk Danau Toba
mestinya didorong dengan berbasis pada pengembangan eco-wisata. Pertanyaannya,
sudahkah kesemuanya potensi resiko tersebut dikaji secara komprehensif?
Dari ulasan singkat di atas, maka jalan satu santunya adalah
melalui upaya pengendalian secara komprehensif, walaupun melakukan pemulihan
sebuah ekosistem membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat, namun upaya-upaya
preventif akan lebih baik dilakukan sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian,
sehingga permasalahan serupa tidak
terulang kembali. Langkah yang segera perlu dilakukan yaitu :
(a) Melakukan pemetaan daya dukung
lingkungan perairan dengan segera melakukan kajian secara komprehensif terkait
daya dukung melalui pendekatan kapasitas perairan, dan berdasarkan pendekatan
beban limbah N dan P. Ini penting
sebagai acuan bagi pengaturan tata letak dan jumlah kapasitas KJA yang
direkomendasikan pada zona peruntukan budidaya. Hasil kajian ini juga penting
sebagai bagian dalam persyaratan perijinan usaha KJA.
(b)
Melakukan
kajian terkait kerentanan ekosistem perairan Danau Toba yang didasarkan pada
potensi resiko dampak aktivitas multisektor, disamping itu sangat penting
dilakukan pengukuran indeks dan status keberlanjutan perairan Danau Toba.
Kesemua ini akan menjadi tolak ukur dalam penentuan strategi kebijakan
pengelolaan kawasan perairan Danau Toba secara berkelanjutan yaitu melalui
pengelolaan kawasan yang terintegrasi (integrated
zone management) tentunya dalam koridor zonasi bagi peruntukan
masing-masing sektor dan berbasis pada pendekatan eco-region.
(c)
Pengendalian
melalui pengawasan secara ketat terhadap aktivitas multisektor baik yang
langsung di perairan danau, sepanjang DAS maupun di sekitar kawasan perairan
danau (aktivitas up-land) berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang ada.
(d) Pengelolaan kawasan perairan
Danau Toba berbasis konservasi dengan melibatkan unsur komunitas masyarakat
lokal. Sebuah regulasi juga harus mengadopsi unsur kearifan lokal yang
berkembang pada masyarakat lokal di sekitar Perairan danau Toba.
(e) Dalam kaitannya dengan kegiatan
budidaya, maka penerapan best management
practices (BMP) dalam proses produksi menjadi sebuah keniscayaan, terutama
terkait bagaimana manajemen pangan dilakukan secara efisien untuk meminimalisir
buangan limbah pakan. Intinya bagaimana kegiatan budidaya dilakukan secara
bersih (nir-limbah) sebagai bagian dari prinsif eko-efesiensi.
Beberapa rekomendasi di atas, masih memfokuskan pada penanganan
dari sisi dimensi ekologi (lingkungan), tentunya masih ada dimensi lain yang
perlu dijadikan acuan bagai pengelolaan kawasan perairan danau yang
berkelanjutan antara lain dimensi ekonomi, dan sosial yang tidak kalah penting
perlu menjadi fokus perhatian kita bersama.
Mengakhiri ulasan ini, penulis rasa tidak ada sesuatu masalah yang
tidak bisa diselesaikan, dengan catatan mari kita sama-sama tanggalkan rasa ego
sektoral, tapi bersinergi dan membangun tanggungjawab bersama. Satu hal lagi,
bahwa jangan lupa kita punya sumberdaya alam dan lingkungan yang sangat besar,
begitu pula sumberdaya manusia yang kompeten dibidangnya, oleh karena itu tugas
Pemerintah adalah bagaimana merangkul mereka untuk duduk bersama dan mengkaji
masalah perairan umum ini dengan bermuara pada sebuah alternatif solusi yang
efektif.
Penulis
Cocon, S.Pi
Pemerhati Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar