MEMBANGUN
KETERPADUAN HULU DAN HILIR DALAM PROGRAM INDUSTRIALISASI UDANG BUDIDAYA YANG
BERDAYA SAING, ADIL, DAN BERKELANJUTAN[1]
Oleh
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB;
Ketua Umum
Masyarakat Akuakultur Indonesia;
Penasehat
Menteri Kelautan dan Perikanan; dan
Member
of International Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development,
University of Bremen
Bila kita insan perikanan Indonesia (nelayan,
pembudidaya ikan, pengusaha perikanan, jajaran birokrasi pemerintah, peneliti,
akademisi, LSM, dan stakeholders lainnya) ingin dianggap berjasa oleh
rakyat Indonesia, maka kita harus bekerja cerdas, keras, sinergis dan ikhlas
untuk menjadikan sektor KP (Kelautan dan Perikanan) memberikan kontribusi yang
signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa dan, secara simultan
menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri. Untuk itu, sektor KP harus
mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku perikanan (khususnya para nelayan
dan pembudidaya ikan tradisional), menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor, meningkatkan volume dan
nilai ekspor, meningkatkan nilai tambah, mengembangkan multiplier effects, dan
memperbesar kontribusinya bagi PDRB (perekonomian daerah) maupun bagi PDB
(perkeonomian nasional) secara signifikan dan berkelanjutan (sustainable).
Salah satu jenis usaha perikanan yang sangat berpeluang
untuk memberikan kontribusi signifikan dan cepat bagi terwujudnya Indonesia
yang maju dan adil-makmur adalah usaha budidaya tambak udang. Sedikitnya ada lima alasan yang mendasari
keyakinan dan optimisme penulis terhadap ’si bongkok’ (udang) yang satu
ini. Pertama, permintaan (demand) udang, baik untuk pasar
domestik maupun ekspor, cenderung terus mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu. Harganya pun relatif stabil,
bahkan cenderung semakin mahal. Sampai
sekarang, udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang termahal, lebih
dari US$ 5 per kg harga di lokasi tambak. Dan, dari total nilai ekspor
perikanan tahun 2011 sebesar US$ 3,2 miliar, lebih dari setengahnya (US$ 1,2
miliar) berasal dari udang. Kedua,
Indonesia memiliki areal lahan pesisir, yang cocok (suitable) untuk
usaha budidaya tambak udang, terluas di dunia, sekitar 1,22 juta ha. Apalagi, dengan teknologi biocrete
(dasar tambak dilapisi plastik tebal), lahan pesisir betekstur pasir pun lebih
baik untuk budidaya udang. Maka, lahan
pesisir yang cocok untuk usaha budidaya tambak udang bakal semakin luas. Ini berarti Indonesia sesungguhnya juga
memiliki potensi produksi (supply capacity) udang tambak yang terbesar
di dunia.
Ketiga, udang tambak dapat
diproduksi secara masal (volume yang sangat besar), ukuran dan kualitas bisa
diatur menjadi relatif seragam dan baik, dan waktu produksi bisa diatur secara
reguler. Dengan perkataan lain, udang memenuhi segenap persyaratan untuk ’di-industrialisaikan’,
alias dilipat-gandakan nilai tambahnya. Keempat, dapat menyerap banyak
tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang besar dan luas.
Kelima, sejak Program Udang
Nasional pada 1982 sampai 1995 dengan tingkat produksi rata-rata 250.000
ton/tahun, Indonesia pernah menjadi produsen dan sekaligus pengekspor udang
tambak terbesar di dunia. Sayang, kita
kurang disiplin dan taat azas dalam menerapkan Cara Budidaya Udang Yang Baik (Best
Aquaculture Practices) dan abai melakukan pumuliaan (genetic improvement)
bibit dan benih udang. Akibatnya,
setelah mencapai produksi udang tertinggi (300.000 ton) pada 1995, produksi
udang nasional turun drastis menjadi hanya sekitar 150.000 ton pada tahun 1996
sampai 1999 lantaran serangan wabah penyakit (MBV, white spot,
dan lainnya). Kemudian, sejak berdirinya
DKP pada akhir September 1999, produksi udang mulai menggeliat lagi. Lalu, sejak dibudidayakan udang Vaname pada
November 2001, produksi udang nasional cepat meningkat, dan mencapai puncaknya
pada 2008 sebesar 400.000 ton. Kembali,
karena rendahnya disiplin para petambak dan pengusaha pembenihan (hatchery)
dengan mengimpor induk udang Vaname yang tidak bebas penyakit (Specific
Pathogen Free), sejak 2009 banyak tambak udang Vaname yang gagal panen
akibat ledakan virus Myo. Akibatnya,
sejak itu produksi udang nasional pun merosot lagi.
Dengan lima alasan diatas, udang diyakini
bisa kembali menjadi komoditas primadona Indonesia, seperti halnya ikan tuna,
rumput laut, sawit, kopi, teh, dan cokelat. Bayangkan, apabila kita mampu
mengusahakan 200.000 ha tambak udang Vaname (12% total potensi lahan pesisir
yang sesuai untuk tambak) dengan produktivitas rata-rata 20 ton/ha/tahun atau 50% dari produktivitas
rata-rata nasional selama ini, maka dapat kita produksi 4 juta ton udang
Vaname/tahun. Dengan harga rata-rata di
tambak saat ini US$ 5/kg, maka pendapatan kotornya mencapai US$ 20
miliar/tahun. Kalau 50 persen saja
diekspor, berarti kita bisa meraup devisa US$ 10 miliar setiap tahunnya.
Sekedar perbandingan, pada 2011 total nilai ekspor TPT (tekstil dan produk
tekstil) Indonesia hanya US$ 13, 7 miliar, dan sawit US$ 12,6 miliar. Karena
setiap hektar usaha budidaya tambak udang memerlukan 4 orang (on farm),
maka lapangan kerja yang tercipta sekitar 800.000 orang. Belum lagi tenaga
kerja yang terlibat di kegiatan off-farm dari tambak ini, sekitar 2
orang/ha tambak.
Untuk udang windu yang merupakan spesies asli Indonesia,
sebaiknya kita gunakan teknologi semi-intensif untuk mengusahakan 400.000 ha
(30% dari total lahan potensial untuk tambak) tambak yang tersebar di seluruh
wilayah nusantara. Dengan produktivitas
rata-rata 4 ton/ha/tahun, maka dapat diproduksi 1,6 juta ton udang
windu/tahun. Dengan harga jual di tambak
rata-rata US$ 8/kg, maka pendapatan kotor yang diperoleh US$ 12,8
miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja untuk
aktivitas di tambak (on farm) sekitar 800.000 orang, dan untuk off
farm sekitar 1,6 juta orang.
Penyebab Rendahnya Kinerja Tambak Udang
Dengan memiliki potensi terbesar di dunia, lalu mengapa
produksi, nilai ekspor, dan rata-rata kesejahteraan petambak udang Indonesia
lebih rendah ketimbang Thailand, China, India, dan Vietnam?. Berikut adalah sejumlah faktor yang
menyebabkan kinerja usaha budidaya tambak udang Indonesia kurang optimal.
Pertama, kecuali
perusahaan-perusahaan besar dan menengah (seperti PT. Central Pertiwi
Bratasena, PT. Wahyuni Mandira, PT. Monodon Kencana, PT. Pasahari-Maluku
Tengah, dan tambak milik anggota Shrimp Club Indonesia), hampir semua
tambak rakyat (yang menggunakan teknologi tradisional dan semi-intensif) belum
menerapkan Cara-cara Budidaya Udang Yang Baik (Best Aquaculture Practices). Cara Budidaya Udang Yang Baik itu meliputi:
(1) penggunaan benur unggul yakni yang bebas penyakit (Spesific Pathogen
Free), tahan terhadap serangan penyakit (Spesific Pathogen Resistant),
dan cepat tumbuh; (2) pemberian pakan berkualitas secara tepat dan benar; (3)
pengendalian hama dan penyakit secara benar; (4) pengelolaan tanah dasar dan
kualitas air tambak yang baik; (5) tata letak (lay out) dan teknik
perkolaman (pond engineering) secara benar; dan (6) biosecurity
(keamanan hayati). Akibatnya, produktivitas dan efisiensi usaha tambak udang
Indonesia kalah dibanding dengan Thailand, Vietnam dan India. Lebih dari itu, serangan wabah penyakit pun
acap kali melanda tambak-tambak udang kita, yang berujung pada kegagalan panen.
Kedua, tata ruang wilayah pesisir pada umumnya tidak mendukung produktivitas dan
keberlanjutan (sustainability) usaha budidaya tambak udang. Tingginya
laju konversi lahan tambak untuk kawasan industri, pemukiman, perkotaan, pusat
bisnis, dan peruntukan lainnya menunjukkan betapa tata ruang wilayah tidak
berpihak pada usaha tambak udang.
Saluran irigasi tambak hampir semuanya merupakan bagian (ujung atau
hilir) dari sistem saluran irigasi pertanian (sawah). Sehingga, air tawar yang digunakan untuk
budidaya tambak udang, sebagian besar mengandung sisa pupuk, pestisida dan
limbah pertanian lainnya. Limbah dan
sampah yang berasal dari berbagai macam kegiatan manusia (industri, pemukiman,
perkotaan, dan lainnya) di daratan lahan atas pada umumnya dibuang ke sungai
dan laut, tanpa diolah atau dinetralkan (treatment) lebih dahulu.
Sehingga, air dari perairan pesisir dan laut, yang merupakan sumber air untuk
budidaya tambak udang, seringkali dalam keadaan tercemar. Kondisi semacam inilah yang ditenggarai turut
memicu peledakan wabah penyakit dan mengakibatkan pertumbuhan dan
perkembangbiakan udang di tambak kurang optimal, terutama di Pantura, pesisir
Sulawesi Selatan, dan wilayah pesisir lain yang padat penduduk dan tinggi
tingkat industrialisasinya. Tingginya
pengendapan (sedimentasi) di muara-muara sungai dan saluran irigasi tambak
akibat penggundulan hutan dan pengelolaan lahan atas (upland management)
yang buruk juga berdampak negatip terhadap usaha budidaya tambak udang.
Ketiga, ketersediaan benur unggul dan pakan berkualitas, terutama bagi petambak
di luar Jawa dan Lampung, sangat terbatas.
Harga benur dan pakan dengan kualitas yang sama lebih mahal di Indonesia
ketimbang di Thailand, Vietnam dan India yang merupakan negara-negara pesaing
utama kita. Demikian juga halnya dengan
BBM untuk tambak udang intensif dan semi intensif, selain harganya lebih mahal
(karena tidak mendapat subsidi) dibandingkan dengan yang berlaku di ketiga
negara itu, juga ketersediaannya acap kali terbatas. Padahal, benur, pakan, dan BBM menyedot sekitar
80 persen dari seluruh biaya produksi budidaya udang di tambak intensif maupun
semi intensif.
Keempat, infrastruktur (jaringan jalan, listrik, dan telkom) di kawasan
pertambakan udang (wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) pada umumnya buruk.
Kondisi ini menyebabkan biaya transportasi udang hasil panen dari kawasan
pertambakan udang ke kawasan industri pengolahan udang dan cold storage,
daerah konsumen (pasar) domestik, maupun pelabuhan ekspor menjadi mahal. Demikian juga halnya dengan biaya transportasi
benur, pakan, BBM dan saran produksi tambak udang lainnya dari daerah
produksinya ke kawasan pertambakan udang.
Kelimat, SDM dan Kelembagaan Pembudidaya. Pembudidaya tambak
umumnya memperoleh pengetahuan dan ketrampilan budidaya tambak secara turun-temurun. Penerapan teknologi khususnya dalam budidaya
udang lebih banyak diperolehnya melalui pengalaman dari pembudidaya tambak
lainnya, tanpa pemahaman yang mendasar tentang teknologi (cara) budidaya udang
yang baik. Kelembagaan kelompok petambak yang merupakan salah satu prasyarat
untuk menerapkan SCHM (Shrimp Culture Health Management) secara
benar masih lemah. PTL/PPL (Petugas Teknis Lapangan/Petugas Penyuluh Lapangan)
sebagai ujung tombak dalam pembinaan/penyuluhan budidaya tambak di lapangan
masih sangat kurang, baik dalam jumlah maupun tingkat pengetahuan/
ketrampilannya.
Keenam, usaha budidaya tambak udang merupakan salah satu usaha perikanan yang
padat modal. Sebagai gambaran, biaya modal kerja budidaya udang dengan
teknologi sederhana (ekstensif) mencapai sekitar Rp. 15 juta/ha, semi-intensif
Rp. 60 juta/ha dan intensif lebih dari Rp. 100 juta/ha. Di lain pihak
pembudidaya tambak umumnya sangat lemah dalam menyediakan modal, dan akses
mereka terhadap kredit perbankan maupun lembaga keuangan non-bank pun sangat
rendah. Setelah peledakan wabah penyakit udang yang menyebabkan banyak usaha
budidaya tambak udang bangkrut di pertengahan tahun 1990-an, sampai sekarang
lembaga perbankan menganggap usaha budidaya tambak udang sebagai usaha yang
kurang atau tidak ’bankable’. Selain
itu, tingkat suku bungan bank di Indonesia, kini sekitar 12 persen, merupakan
salah satu yang tertinggi di dunia.
Sekedar perbandingan, saat ini suku bunga pinjaman bank di Thailand,
Malaysia, India, China dan Jepang berturut-turut hanya sebesar 3 persen, 4
persen, 6 persen, 5 persen, dan 0,5 persen (Bank Dunia, 2011) . Lemahnya permodalan pembudidaya tambak dan
belum adanya skim kredit untuk usaha budidaya udang, menyebabkan pembudidaya
sulit menerapkan teknologi budidaya udang sesuai anjuran dan potensi sumberdaya
yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dan, sulit pula untuk memenuhi skala ekonomi
(economy of scale) usahanya. Pada
umumnya perbankan di Indonesia hanya mau memberikan pinjaman kredit kepada
perusahaan-perusahaan budidaya tambak udang berskala besar.
Solusi Permasalahan
Untuk mengatasi sejumlah permasalahan diatas
tepat pada jantungnya, sehingga kita dapat membangun usaha ekonomi budidaya
tambak udang nasional yang produktif, efisien, berdaya saing, berkeadilan, dan
berkelanjutan, maka kita mesti melaksanakan program (langkah-langkah) sebagai
berikut.
Pertama, penataan ulang tata ruang wilayah pesisir agar
kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha budidaya tambak udang; dan pengendalian
pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia dan pembangunan yang
terdapat wilayah pesisir maupun di wilayah hulu (upland areas).
Kedua, melakukan revitalisasi tambak-tambak udang yang
hingga kini masih mangkrak (iddle),
yang jumlahnya mencapai 200.000 ha yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara,
khususnya di Pantura, Lampung, Aceh, Sulawesi Selatan, dan NTB. Bergantung pada kondisi ekologis (biofisik)
dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat nya, pilihan komoditas di setiap wilayah
adalah: (1) monokultur udang windu, (2) monokultur udang vaname, (3) polikultur
udang wiindu dengan rumput laut Gracilaria spp, atau (4) polikultur
udang windu, Gracilaria spp, dan ikan bandeng. Pilihan teknologi budidaya tambak udang
berupa: (1) tradisional (ekstensif), (2) semi intensif, atau (3) inetnsif. Yang pasti, apapun pilihan komoditas dan
teknologi nya, kita harus menerapkan Cara Budidaya Udang Yang Baik secara
tepat, benar, dan konsisten.
Ketiga, melakukan peningkatan produktivitas dan
efisiensi terhadap usaha tambak udang yang sampai sekarang masih bertahan dan
menguntungkan secara berkelanjutan. Caranya dengan menerapkan Best Aquaculture
Practices, perbaikan manajemen usaha, peningkatan kualitas SDM petambak udang,
pengurangan pencemaran perairan, dan perbaikan tata ruang wilayah agar kondusif
bagi kinerja usaha budidaya tambak udang.
Keempat, karena potensi lahan pesisir di seluruh
Indonesia yang sesuai untuk usaha tambak sekitar 1,22 juta ha, dan hingga kini
baru diusahakan untuk tambak seluas 400.000 ha, maka untuk mewujudkan Indonesia
sebagai produsen udang terbesar di dunia, kita bisa membuka lahan usaha tambak
udang baru dengan menerapkan tata ruang wilayah yang benar, Best Aquaculture
Practices, pengendalian pencemaran, dan manajemen usaha (bisnis) secara
terpadu dari produksi, industri pasca panen, dan pemasaran.
Kelima, pemerintah c.q. KKP (Kementerian Kelautan dan
Perikanan) harus mendorong dan memfasilitasi sektor swasta untuk berinvestasi
mengembangkan usaha pembenihan (hatchery) dan pabrik pakan untuk
menghasilkan benur unggul dan pakan berkualitas dengan harga relatif murah
(setidaknya sama dengan harga di Thailand, China, dan negara-negara produsen
udang lainnya) dan jumlah (kuantitas) yang dapat memenuhi usaha budidaya tambak
udang di seluruh wilayah NKRI. Di daerah-daerah
sentra produksi tambak udang, dimana sektor swasta belum mau berinvestasi, KKP
harus membangun usaha hatchery dan pabrik pakan untuk memenuhi kebutuhan
benur dan pakan di daerah-daerah tersebut.
Keenam, KKP harus bencmarking atau melakukan kajian
tentang harga BBM untuk tambak udang di Malaysia, Thailand, Vietnam, China, dan
India. Lalu, tetapkan harga BBM untuk
tambak intensif dan semi intensif sebesar harga di negara-negara tersebut, atau
kalau dapat lebih murah. Selain itu,
jumlah kuota BBM harus mencukupi untuk usaha tambak intensif dan semi intensif
di seluruh wilayah Nusantara.
Ketujuh, perbaiki dan bangun infrastruktur baru
(jaringan irigasi tambak, jaringan jalan, listrik, dan telkom) di dalam kawasan
pertambakan udang dan yang menghubungkannya dengan daerah pemasaran udang di
wilayah nasional maupun pelabuhan ekspor.
Kedelapan, pemerintah harus menyediakan skim kredit khusus
untuk usaha budidaya tambak udang, termasuk untuk usaha industri hulu dan
industri hilirnya, dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang semurah dan
selunak di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China.
Kesembilan, pemerintah c.q. KKP dan pemerintah daerah
(provinsi dan kabupaten) harus menyediakan tenaga penyuluh berkualitas dan
penuh dedikasi dengan jumlah mencukupi kebutuhan usaha budidaya tambak udang. Hal ini sangat penting (urgent) untuk peningkatan kapasitas teknologi budidaya,
manajemen, dan etos kerja para pembudidaya tambak udang melalui program
DIKLATLUH secara benar, sistematis, dan berkelanjutan.
Kesepuluh, pemerintah bekerjasama dengan swasta harus
terus menerus secara kreatif dan inovatif memperdalam dan mengembangkan pasar
baru, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kesebelas, dalam jangka panjang kita mesti secara sistemik
dan berkesinambungan memperkuat dan mengembangkan industri yang menghasilkan
peralatan dan mesin tambak udang seperti kincir air tambak (pedal wheel), automathic feeder,
dan lainnya. Sehingga, produktivitas,
daya saing, nilai tambah, dan multiplier effects
dari sektor usaha budidaya tambak udang dapat kita kembangkan lebih besar dan
luas. Demikian juga halnya dengan
aktivitas penelitian dan pengembangan (R & D)
yang terkait dengan usaha budidaya tambak udang.
Keduabelas, pemerintah c.q. KKP harus
mendorong dan memfasilitasi pola kerjasama kemitraan antara petambak udang
dengan pengusaha industri pengolahan dan ekportir udang berdasarkan pada
prinsip yang saling mengungtungkan (a win-win cooperation), saling
menghormati, dan dilandasi oleh semangat Indonesian Aquaculture Incorporated. Kongkritnya, baik petambak, pengolah, dan
eksportir harus saling menjaga bahwa masing-masing pihak harus mendapatkan
keuntungan yang wajar sesuai harga pasar.
Lebih dari itu, masing-masing harus berusaha maksimal untuk menghasilkan
produk dan jasa yang terbaik, bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga
pada tingkat global. Atas dasar kesepakatan kerjasama di atas, KKP mesti terus
melakukan pemantauan, evaluasi, dan koreksi bilamana diperlukan. Untuk ini, KKP bias bekerjasama dengan Masyarakat
Akuakultur Indonesia (MAI).
Saya
sangat optimis, jika pemerintah, petambak udang, industri pengolahan udang dan
eksportir serta stakeholders lainnya menyumbangkan kemampuan terbaiknya
dan bekerjasama secara sinergis untuk mengimplentasikan segenap program dan
langkah kongkrit sebagaimana diuraikan diatas, maka Indonesia akan mampu
menjadi produsen udang tambak terbesar di dunia, yang turut membantu Indonesia
menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur dan berdaulat dalam waktu tidak
terlalu lama, tahun 2025 insya Allah.
1 Makalah ini disampaikan dalam ajang
Forum Budidaya Udang tanggal 24 Mei 2012 di IPB Convention Center Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar