Senin, 17 Agustus 2015

Ulasan Tokoh Akuakultur 1

MEMBANGUN KETERPADUAN HULU DAN HILIR DALAM PROGRAM INDUSTRIALISASI UDANG BUDIDAYA YANG BERDAYA SAING, ADIL, DAN BERKELANJUTAN[1]

Oleh
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia;
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan; dan
Member of International Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen

           
Bila kita insan perikanan Indonesia (nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha perikanan, jajaran birokrasi pemerintah, peneliti, akademisi, LSM, dan stakeholders lainnya) ingin dianggap berjasa oleh rakyat Indonesia, maka kita harus bekerja cerdas, keras, sinergis dan ikhlas untuk menjadikan sektor KP (Kelautan dan Perikanan) memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa dan, secara simultan menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri.  Untuk itu, sektor KP harus mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku perikanan (khususnya para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional), menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor, meningkatkan volume dan nilai ekspor, meningkatkan nilai tambah, mengembangkan multiplier effects, dan memperbesar kontribusinya bagi PDRB (perekonomian daerah) maupun bagi PDB (perkeonomian nasional) secara signifikan dan berkelanjutan (sustainable).

Salah satu jenis usaha perikanan yang sangat berpeluang untuk memberikan kontribusi signifikan dan cepat bagi terwujudnya Indonesia yang maju dan adil-makmur adalah usaha budidaya tambak udang.  Sedikitnya ada lima alasan yang mendasari keyakinan dan optimisme penulis terhadap ’si bongkok’ (udang) yang satu ini. Pertama, permintaan (demand) udang, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, cenderung terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.  Harganya pun relatif stabil, bahkan cenderung semakin mahal.  Sampai sekarang, udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang termahal, lebih dari US$ 5 per kg harga di lokasi tambak. Dan, dari total nilai ekspor perikanan tahun 2011 sebesar US$ 3,2 miliar, lebih dari setengahnya (US$ 1,2 miliar) berasal dari udang.  Kedua, Indonesia memiliki areal lahan pesisir, yang cocok (suitable) untuk usaha budidaya tambak udang, terluas di dunia, sekitar 1,22 juta ha.  Apalagi, dengan teknologi biocrete (dasar tambak dilapisi plastik tebal), lahan pesisir betekstur pasir pun lebih baik untuk budidaya udang.  Maka, lahan pesisir yang cocok untuk usaha budidaya tambak udang bakal semakin luas.  Ini berarti Indonesia sesungguhnya juga memiliki potensi produksi (supply capacity) udang tambak yang terbesar di dunia.
Ketiga, udang tambak dapat diproduksi secara masal (volume yang sangat besar), ukuran dan kualitas bisa diatur menjadi relatif seragam dan baik, dan waktu produksi bisa diatur secara reguler. Dengan perkataan lain, udang memenuhi segenap persyaratan untuk ’di-industrialisaikan’, alias dilipat-gandakan nilai tambahnya. Keempat, dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang besar dan luas.

Kelima, sejak Program Udang Nasional pada 1982 sampai 1995 dengan tingkat produksi rata-rata 250.000 ton/tahun, Indonesia pernah menjadi produsen dan sekaligus pengekspor udang tambak terbesar di dunia.  Sayang, kita kurang disiplin dan taat azas dalam menerapkan Cara Budidaya Udang Yang Baik (Best Aquaculture Practices) dan abai melakukan pumuliaan (genetic improvement) bibit dan benih udang.  Akibatnya, setelah mencapai produksi udang tertinggi (300.000 ton) pada 1995, produksi udang nasional turun drastis menjadi hanya sekitar 150.000 ton pada tahun 1996 sampai 1999 lantaran serangan wabah penyakit (MBV, white spot, dan lainnya).  Kemudian, sejak berdirinya DKP pada akhir September 1999, produksi udang mulai menggeliat lagi.  Lalu, sejak dibudidayakan udang Vaname pada November 2001, produksi udang nasional cepat meningkat, dan mencapai puncaknya pada 2008 sebesar 400.000 ton.  Kembali, karena rendahnya disiplin para petambak dan pengusaha pembenihan (hatchery) dengan mengimpor induk udang Vaname yang tidak bebas penyakit (Specific Pathogen Free), sejak 2009 banyak tambak udang Vaname yang gagal panen akibat ledakan virus Myo.  Akibatnya, sejak itu produksi udang nasional pun merosot lagi.

Dengan lima alasan diatas, udang diyakini bisa kembali menjadi komoditas primadona Indonesia, seperti halnya ikan tuna, rumput laut, sawit, kopi, teh, dan cokelat. Bayangkan, apabila kita mampu mengusahakan 200.000 ha tambak udang Vaname (12% total potensi lahan pesisir yang sesuai untuk tambak) dengan produktivitas rata-rata  20 ton/ha/tahun atau 50% dari produktivitas rata-rata nasional selama ini, maka dapat kita produksi 4 juta ton udang Vaname/tahun.  Dengan harga rata-rata di tambak saat ini US$ 5/kg, maka pendapatan kotornya mencapai US$ 20 miliar/tahun.  Kalau 50 persen saja diekspor, berarti kita bisa meraup devisa US$ 10 miliar setiap tahunnya. Sekedar perbandingan, pada 2011 total nilai ekspor TPT (tekstil dan produk tekstil) Indonesia hanya US$ 13, 7 miliar, dan sawit US$ 12,6 miliar. Karena setiap hektar usaha budidaya tambak udang memerlukan 4 orang (on farm), maka lapangan kerja yang tercipta sekitar 800.000 orang. Belum lagi tenaga kerja yang terlibat di kegiatan off-farm dari tambak ini, sekitar 2 orang/ha tambak.

Untuk udang windu yang merupakan spesies asli Indonesia, sebaiknya kita gunakan teknologi semi-intensif untuk mengusahakan 400.000 ha (30% dari total lahan potensial untuk tambak) tambak yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.  Dengan produktivitas rata-rata 4 ton/ha/tahun, maka dapat diproduksi 1,6 juta ton udang windu/tahun.  Dengan harga jual di tambak rata-rata US$ 8/kg, maka pendapatan kotor yang diperoleh US$ 12,8 miliar/tahun.  Jumlah tenaga kerja untuk aktivitas di tambak (on farm) sekitar 800.000 orang, dan untuk off farm sekitar 1,6 juta orang.

Penyebab Rendahnya Kinerja Tambak Udang

Dengan memiliki potensi terbesar di dunia, lalu mengapa produksi, nilai ekspor, dan rata-rata kesejahteraan petambak udang Indonesia lebih rendah ketimbang Thailand, China, India, dan Vietnam?.  Berikut adalah sejumlah faktor yang menyebabkan kinerja usaha budidaya tambak udang Indonesia kurang optimal.

Pertama, kecuali perusahaan-perusahaan besar dan menengah (seperti PT. Central Pertiwi Bratasena, PT. Wahyuni Mandira, PT. Monodon Kencana, PT. Pasahari-Maluku Tengah, dan tambak milik anggota Shrimp Club Indonesia), hampir semua tambak rakyat (yang menggunakan teknologi tradisional dan semi-intensif) belum menerapkan Cara-cara Budidaya Udang Yang Baik (Best Aquaculture Practices).  Cara Budidaya Udang Yang Baik itu meliputi: (1) penggunaan benur unggul yakni yang bebas penyakit (Spesific Pathogen Free), tahan terhadap serangan penyakit (Spesific Pathogen Resistant), dan cepat tumbuh; (2) pemberian pakan berkualitas secara tepat dan benar; (3) pengendalian hama dan penyakit secara benar; (4) pengelolaan tanah dasar dan kualitas air tambak yang baik; (5) tata letak (lay out) dan teknik perkolaman (pond engineering) secara benar; dan (6) biosecurity (keamanan hayati). Akibatnya, produktivitas dan efisiensi usaha tambak udang Indonesia kalah dibanding dengan Thailand, Vietnam dan India.  Lebih dari itu, serangan wabah penyakit pun acap kali melanda tambak-tambak udang kita, yang berujung pada kegagalan panen.

Kedua, tata ruang wilayah pesisir pada umumnya tidak mendukung produktivitas dan keberlanjutan (sustainability) usaha budidaya tambak udang. Tingginya laju konversi lahan tambak untuk kawasan industri, pemukiman, perkotaan, pusat bisnis, dan peruntukan lainnya menunjukkan betapa tata ruang wilayah tidak berpihak pada usaha tambak udang.  Saluran irigasi tambak hampir semuanya merupakan bagian (ujung atau hilir) dari sistem saluran irigasi pertanian (sawah).  Sehingga, air tawar yang digunakan untuk budidaya tambak udang, sebagian besar mengandung sisa pupuk, pestisida dan limbah pertanian lainnya.  Limbah dan sampah yang berasal dari berbagai macam kegiatan manusia (industri, pemukiman, perkotaan, dan lainnya) di daratan lahan atas pada umumnya dibuang ke sungai dan laut, tanpa diolah atau dinetralkan (treatment) lebih dahulu. Sehingga, air dari perairan pesisir dan laut, yang merupakan sumber air untuk budidaya tambak udang, seringkali dalam keadaan tercemar.  Kondisi semacam inilah yang ditenggarai turut memicu peledakan wabah penyakit dan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangbiakan udang di tambak kurang optimal, terutama di Pantura, pesisir Sulawesi Selatan, dan wilayah pesisir lain yang padat penduduk dan tinggi tingkat industrialisasinya.  Tingginya pengendapan (sedimentasi) di muara-muara sungai dan saluran irigasi tambak akibat penggundulan hutan dan pengelolaan lahan atas (upland management) yang buruk juga berdampak negatip terhadap usaha budidaya tambak udang.

Ketiga, ketersediaan benur unggul dan pakan berkualitas, terutama bagi petambak di luar Jawa dan Lampung, sangat terbatas.  Harga benur dan pakan dengan kualitas yang sama lebih mahal di Indonesia ketimbang di Thailand, Vietnam dan India yang merupakan negara-negara pesaing utama kita.  Demikian juga halnya dengan BBM untuk tambak udang intensif dan semi intensif, selain harganya lebih mahal (karena tidak mendapat subsidi) dibandingkan dengan yang berlaku di ketiga negara itu, juga ketersediaannya acap kali terbatas.  Padahal, benur, pakan, dan BBM menyedot sekitar 80 persen dari seluruh biaya produksi budidaya udang di tambak intensif maupun semi intensif.

Keempat, infrastruktur (jaringan jalan, listrik, dan telkom) di kawasan pertambakan udang (wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) pada umumnya buruk. Kondisi ini menyebabkan biaya transportasi udang hasil panen dari kawasan pertambakan udang ke kawasan industri pengolahan udang dan cold storage, daerah konsumen (pasar) domestik, maupun pelabuhan ekspor menjadi mahal.  Demikian juga halnya dengan biaya transportasi benur, pakan, BBM dan saran produksi tambak udang lainnya dari daerah produksinya ke kawasan pertambakan udang.

Kelimat, SDM dan Kelembagaan Pembudidaya. Pembudidaya tambak umumnya memperoleh pengetahuan dan ketrampilan budidaya tambak secara turun-temurun.  Penerapan teknologi khususnya dalam budidaya udang lebih banyak diperolehnya melalui pengalaman dari pembudidaya tambak lainnya, tanpa pemahaman yang mendasar tentang teknologi (cara) budidaya udang yang baik. Kelembagaan kelompok petambak yang merupakan salah satu prasyarat untuk menerapkan SCHM (Shrimp Culture Health Management) secara benar masih lemah. PTL/PPL (Petugas Teknis Lapangan/Petugas Penyuluh Lapangan) sebagai ujung tombak dalam pembinaan/penyuluhan budidaya tambak di lapangan masih sangat kurang, baik dalam jumlah maupun tingkat pengetahuan/ ketrampilannya.

Keenam, usaha budidaya tambak udang merupakan salah satu usaha perikanan yang padat modal. Sebagai gambaran, biaya modal kerja budidaya udang dengan teknologi sederhana (ekstensif) mencapai sekitar Rp. 15 juta/ha, semi-intensif Rp. 60 juta/ha dan intensif lebih dari Rp. 100 juta/ha. Di lain pihak pembudidaya tambak umumnya sangat lemah dalam menyediakan modal, dan akses mereka terhadap kredit perbankan maupun lembaga keuangan non-bank pun sangat rendah. Setelah peledakan wabah penyakit udang yang menyebabkan banyak usaha budidaya tambak udang bangkrut di pertengahan tahun 1990-an, sampai sekarang lembaga perbankan menganggap usaha budidaya tambak udang sebagai usaha yang kurang atau tidak ’bankable’.  Selain itu, tingkat suku bungan bank di Indonesia, kini sekitar 12 persen, merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.  Sekedar perbandingan, saat ini suku bunga pinjaman bank di Thailand, Malaysia, India, China dan Jepang berturut-turut hanya sebesar 3 persen, 4 persen, 6 persen, 5 persen, dan 0,5 persen (Bank Dunia, 2011) .  Lemahnya permodalan pembudidaya tambak dan belum adanya skim kredit untuk usaha budidaya udang, menyebabkan pembudidaya sulit menerapkan teknologi budidaya udang sesuai anjuran dan potensi sumberdaya yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal.  Dan, sulit pula untuk memenuhi skala ekonomi (economy of scale) usahanya.  Pada umumnya perbankan di Indonesia hanya mau memberikan pinjaman kredit kepada perusahaan-perusahaan budidaya tambak udang berskala besar.

Solusi Permasalahan

Untuk mengatasi sejumlah permasalahan diatas tepat pada jantungnya, sehingga kita dapat membangun usaha ekonomi budidaya tambak udang nasional yang produktif, efisien, berdaya saing, berkeadilan, dan berkelanjutan, maka kita mesti melaksanakan program (langkah-langkah) sebagai berikut.

Pertama, penataan ulang tata ruang wilayah pesisir agar kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha budidaya tambak udang; dan pengendalian pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia dan pembangunan yang terdapat wilayah pesisir maupun di wilayah hulu (upland areas).

Kedua, melakukan revitalisasi tambak-tambak udang yang hingga kini masih mangkrak (iddle), yang jumlahnya mencapai 200.000 ha yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di Pantura, Lampung, Aceh, Sulawesi Selatan, dan NTB.  Bergantung pada kondisi ekologis (biofisik) dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat nya, pilihan komoditas di setiap wilayah adalah: (1) monokultur udang windu, (2) monokultur udang vaname, (3) polikultur udang wiindu dengan rumput laut Gracilaria spp, atau (4) polikultur udang windu, Gracilaria spp, dan ikan bandeng.  Pilihan teknologi budidaya tambak udang berupa: (1) tradisional (ekstensif), (2) semi intensif, atau (3) inetnsif.  Yang pasti, apapun pilihan komoditas dan teknologi nya, kita harus menerapkan Cara Budidaya Udang Yang Baik secara tepat, benar, dan konsisten.

Ketiga, melakukan peningkatan produktivitas dan efisiensi terhadap usaha tambak udang yang sampai sekarang masih bertahan dan menguntungkan secara berkelanjutan. Caranya dengan menerapkan Best Aquaculture Practices, perbaikan manajemen usaha, peningkatan kualitas SDM petambak udang, pengurangan pencemaran perairan, dan perbaikan tata ruang wilayah agar kondusif bagi kinerja usaha budidaya tambak udang.

Keempat, karena potensi lahan pesisir di seluruh Indonesia yang sesuai untuk usaha tambak sekitar 1,22 juta ha, dan hingga kini baru diusahakan untuk tambak seluas 400.000 ha, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen udang terbesar di dunia, kita bisa membuka lahan usaha tambak udang baru dengan menerapkan tata ruang wilayah yang benar, Best Aquaculture Practices, pengendalian pencemaran, dan manajemen usaha (bisnis) secara terpadu dari produksi, industri pasca panen, dan pemasaran.

Kelima, pemerintah c.q. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) harus mendorong dan memfasilitasi sektor swasta untuk berinvestasi mengembangkan usaha pembenihan (hatchery) dan pabrik pakan untuk menghasilkan benur unggul dan pakan berkualitas dengan harga relatif murah (setidaknya sama dengan harga di Thailand, China, dan negara-negara produsen udang lainnya) dan jumlah (kuantitas) yang dapat memenuhi usaha budidaya tambak udang di seluruh wilayah NKRI.  Di daerah-daerah sentra produksi tambak udang, dimana sektor swasta belum mau berinvestasi, KKP harus membangun usaha hatchery dan pabrik pakan untuk memenuhi kebutuhan benur dan pakan di daerah-daerah tersebut.

Keenam, KKP harus bencmarking atau melakukan kajian tentang harga BBM untuk tambak udang di Malaysia, Thailand, Vietnam, China, dan India.  Lalu, tetapkan harga BBM untuk tambak intensif dan semi intensif sebesar harga di negara-negara tersebut, atau kalau dapat lebih murah.  Selain itu, jumlah kuota BBM harus mencukupi untuk usaha tambak intensif dan semi intensif di seluruh wilayah Nusantara.

Ketujuh, perbaiki dan bangun infrastruktur baru (jaringan irigasi tambak, jaringan jalan, listrik, dan telkom) di dalam kawasan pertambakan udang dan yang menghubungkannya dengan daerah pemasaran udang di wilayah nasional maupun pelabuhan ekspor.

Kedelapan, pemerintah harus menyediakan skim kredit khusus untuk usaha budidaya tambak udang, termasuk untuk usaha industri hulu dan industri hilirnya, dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang semurah dan selunak di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China.

Kesembilan, pemerintah c.q. KKP dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) harus menyediakan tenaga penyuluh berkualitas dan penuh dedikasi dengan jumlah mencukupi kebutuhan usaha budidaya tambak udang.  Hal ini sangat penting (urgent) untuk peningkatan kapasitas teknologi budidaya, manajemen, dan etos kerja para pembudidaya tambak udang melalui program DIKLATLUH secara benar, sistematis, dan berkelanjutan.

Kesepuluh, pemerintah bekerjasama dengan swasta harus terus menerus secara kreatif dan inovatif memperdalam dan mengembangkan pasar baru, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Kesebelas, dalam jangka panjang kita mesti secara sistemik dan berkesinambungan memperkuat dan mengembangkan industri yang menghasilkan peralatan dan mesin tambak udang seperti kincir air tambak (pedal wheel), automathic feeder, dan lainnya.  Sehingga, produktivitas, daya saing, nilai tambah, dan multiplier effects dari sektor usaha budidaya tambak udang dapat kita kembangkan lebih besar dan luas.  Demikian juga halnya dengan aktivitas penelitian dan pengembangan (R & D) yang terkait dengan usaha budidaya tambak udang. 

Keduabelas, pemerintah c.q. KKP harus mendorong dan memfasilitasi pola kerjasama kemitraan antara petambak udang dengan pengusaha industri pengolahan dan ekportir udang berdasarkan pada prinsip yang saling mengungtungkan (a win-win cooperation), saling menghormati, dan dilandasi oleh semangat Indonesian Aquaculture IncorporatedKongkritnya, baik petambak, pengolah, dan eksportir harus saling menjaga bahwa masing-masing pihak harus mendapatkan keuntungan yang wajar sesuai harga pasar.  Lebih dari itu, masing-masing harus berusaha maksimal untuk menghasilkan produk dan jasa yang terbaik, bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat global. Atas dasar kesepakatan kerjasama di atas, KKP mesti terus melakukan pemantauan, evaluasi, dan koreksi bilamana diperlukan.  Untuk ini, KKP bias bekerjasama dengan Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Saya sangat optimis, jika pemerintah, petambak udang, industri pengolahan udang dan eksportir serta stakeholders lainnya menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan bekerjasama secara sinergis untuk mengimplentasikan segenap program dan langkah kongkrit sebagaimana diuraikan diatas, maka Indonesia akan mampu menjadi produsen udang tambak terbesar di dunia, yang turut membantu Indonesia menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur dan berdaulat dalam waktu tidak terlalu lama, tahun 2025 insya Allah.



1 Makalah ini disampaikan dalam ajang Forum Budidaya Udang tanggal 24 Mei 2012 di IPB Convention Center Bogor







Tidak ada komentar: