MENGUKUR KESIAPAN INDONESIA
MENYONGSONG AEC 2015
(referensi
kebijakan, yang menunggu implementasi nyata)
Liberarilasi
ekonomi pada level regional ASEAN atau ASEAN
Economic Community (AEC) tahun 2015 menjadi medan perang ekonomi baru yang
akan memaksa Indonesia memainkan peran, apakah sebagai piguran atau
pemeran
utama..? Ada beberapa kalangan menilai bahwa AEC mestinya tidak harus dianggap
sebagai momok namun harus disikapi secara positif, dimana AEC mestinya
dijadikan momen untuk menyatukan segenap kekuatan negara-negara di kawasan
ASEAN sebagai kekuatan besar ekonomi
baru di dunia. Namun disisi lain, faktanya AEC masih dianggap sebagai hal
menakutkan bagi negara-negara ASEAN. AEC
dinilai menjadi persaingan ekonomi di level regional ASEAN, sehingga antar
negara ASEAN sendiri menganggap satu sama lain sebagai pesaing utama.
Terlepas
dari persepsi di atas, pada kenyataannya era liberalisasi arus barang, jasa dan
tenaga kerja memang mau tidak mau harus kita songsong, tentunya dalam hal ini
Indonesia harus siap untuk jadi pemenang dan pemeran utama sebagai calon
kekuatan ekonomi dunia baru seperti yang seringkali diprediksi oleh beberapa
ahli ekonomi. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kesiapan Indonesia
mewujudkannya....? atau bahkan sebagaian negara ASEAN sendiri secara umum masih
gagap menghadapi era ini. Jika dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya
memang Indonesia mempunyai potensi nilai strategis yang tinggi jika dibanding
negara ASEAN lain. Namun demikian, Nilai strategis yang begitu besar tersebut
harus dilihat bukan sekedar sebagai peluang semata, namun seyogyanya juga perlu disikapi sebagai sebuah tantangan
besar.
Ada
dua nilai strategis yang bisa menjadi peluang namun sebaliknya bisa menjadi
tantangan besar jika Indonesia tidak mampu menyikapinya. Pertama, dengan sumberdaya manusia yang menguasai hampir 50% total
penduduk ASEAN, Indonesia berpotensi sebagai pangsa pasar baru seiring
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa, jika kita sendiri tidak
melihat ini sebagai sebuah peluang besar bagi pemenuhan kebutuhan pasar
domestik, maka siap-siap Indonesia akan menjadi tujuan utama pasar ASEAN dan
dunia, sementara produk dalam negeri hanya akan menjadi pajangan semata. Kedua, dengan sumberdaya alam yang
begitu melimpah Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan produk barang
dan jasa melalui optimalisasi pemanfaatan SDA secara arif dan berkelanjutan,
namun disi lain jika kita tidak mampu mengelola secara mandiri dan optimal,
maka lagi-lagi Indonesia hanya akan menjadi ladang investasi asing, sehingga
nasionalisasi terhadap pengelolaan SDA sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945 hanya akan menjadi harapan tak berujung. Ada kata kunci sebagai prasyarat
mutlak jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam kancah persaingan
ekonomi di atas, yaitu “Daya Saing (Competitiveness)”
Bicara
daya saing, menurut The
Global Competitiveness
Index (GCI) tingkat daya saing
Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya
seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Faktor utama yang
mempengaruhi daya saing tersebut adalah kesiapan infrastruktur. Inilah yang
menjadi tantangan bagaimana Indonesia harus berbenah 1).
Peluang
dan Tantangan AEC dilihat dari perspektif sub sektor perikanan budidaya
Dari
ulasan di atas, dayasainglah sebenarnya yang menjadi ukuran apakah Indonesia
mampu memainkan peran utama dalam kancah persaingan perdagangan bebas ASEAN.
Daya saing sangat erat kaitannya dengan efesiensi dan mutu/kualitas. Produk
perikanan memang saat ini menjadi salah satu komoditi strategis dalam
perdagangan AEC seiring dengan paradigma masyarakat global bahwa sektor
perikanan memegang peranan penting dalam menopang ketahanan pangan dan gizi
masyarakat. Data Badan Pusat Statistik
mencatat sampai dengan triwulan III tahun 2013 pertumbuhan PDB perikanan
nasional mencapai 6,9%.
Indonesia
memang disuguhi begitu besar potensi sumberdaya akuakultur, keberpihakan dari
aspek teknis, dan pola iklim yang sangat mendukung terhadap pengembangan
akuakultur, menjadikan Indonesia sangat potensial memainkan peran melalui sub
sektor ini. Data FAO yang dirilis bulan Maret 2013 mencatat bahwa pada Tahun
2011 Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai penghasil produk akuakultur dunia walaupun dari sisi volume produksi
masih jauh di bawah China, dimana Indonesia hanya memberikan share sebesar 9,48% terhadap total
volume produksi dunia. Ada hal lain yang nampaknya kita harus banyak belajar
dari China, dimana capaian produksi juga diiringi oleh peningkatan nilai tambah
dan daya saing. Pangsa pasar dalam negeri menjadi sasaran utama negara tersebut
untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sehingga nilai tambah terhadap produk
jelas dirasakan secara utuh oleh masyarakat dan pelaku usaha.
Nampaknya
ini yang menjadi PR besar bangsa Indonesia, kita punya semuanya mulai dari SDM
dan SDA yang melimpah, tapi harus diakui lemah dari sisi pengelolaan yang
efektif sehingga jika bicara daya saing mungkin kita masih perlu perbaiki. Dari
aspek usaha budidaya, kita akui bahwa pendekatan masih mengarah bagaimana
menambah jumlah pelaku usaha, namun belum pada tataran bagaimana meningkatkan
kapasitas dan kemandirian skala usaha, padahal ini penting bagaimana skala
usaha budidaya mampu berdaya saing. Ini bisa dilihat, jika bicara pada tataran
skala ekonomi makro, maka Usaha dengan skala besar/Industri di Indonesia
dinilai mempunyai potensi untuk bersaing dengan negara ASEAN lain, namun jika
sudah bicara daya saing pada tataran skala usaha kecil nampaknya Indonesia
harus berjuang lebih keras lagi, padahal sektor mikro (UMKM) saat ini yang
diharapkan menjadi barometer utama ekonomi bangsa Indonesia.
Dalam
perspektif perikanan budidaya daya saing tidak bisa lepas dari faktor efesiensi
dan mutu, dimana ke dua faktor tersebut akan mampu mendorong terhadap
percepatan penumbuhkembangan kapasitas usaha budidaya yang kuat dan mandiri.
Dukungan yang bersifat instan top to down
sebaiknya sudah harus dikurangi, namun demikian Pemerintah harus memposisikan
diri sebagai katalisator, fasilitator dan regulator bagaimana menjamin
kemudahan akses bagi jalannya bisnis akuakultur yang positif. Dari aspek sosial
budaya, pada prinsipnya pola pikir masyarakat bersifat parternalistik, sehingga jika pemerintah mampu memainkan peran
sebagai fasilitator dalam memfasiliasi kemudahan akses yang secara langsung
berdampak pada efesiiensi produksi dan margin keuntungan yang baik, maka
sebenarnya mereka akan terjun langsung secara mandiri melakukan usaha
akuakultur, disisi lain akan secara langsung meningkatkan gairah investasi pada
bisnis ini.
Penulis
mencoba untuk memetakan beberapa langkah konkrit yang harus segera
ditindaklanjuti untuk meningkatkan daya saing perikanan budidaya sebagai
senjata ampuh menghadapi liberalisasi ekonomi AEC :
Pertama,
benahi infrastruktur. Kesiapan infratruktur sebagai tolak ukur bagaimana suatu
negara mampu berdaya saing. Infrastruktur harus dibangun dalam kerangka menjamin
efesiensi produksi. Siklus bisnis akuakultur akan mampu berjalan
berkesinambungan jika mata rantai sistem produksi mampu bergerak dari hulu
sampai hilir, dimana didalamnya infrastruktur menjadi suatu keniscayaan yang
harus dibangun. The
Global Competitiveness
Index (GCI) menyebutkan bahwa kualitas infrastruktur Indonesia
menempati peringkat ke-82 dari 148 negara, dimana kualitas infrastruktur
Indonesia berada di peringkat ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan
Thailand 2).
Fenomena
inefesiensi seringkali terjadi pada
siklus bisnis akuakultur sebagai akibat tidak terjaminnya konektivitas yang
efisien dari hulu ke hilir, kondisi inilah yang menyebabkan volume produksi di
sentral produksi belum sepenuhnya menjamin nilai tambah dan daya saing produk
budidaya yang dihasilkan. Tengok saja misalnya, sentral produksi budidaya laut
lebih banyak tersentral di Indonesia bagaian timur sementara industri terpusat
di Jawa (Surabaya dan Jakarta) kondisi lelahnya rantai distribusi pasar sebagai
akibat infrastruktur yang tidak memadai menyebakan peningkatan biaya logistik
tinggi sehingga pada akhirnya menyebabkan inefesiensi.
Pengembangan minapolitan harus dibangun dalam kerangka menjamin aksesibilitas
proses bisnis yang efesien.
Kedua,
Standar. Daya saing sebuah produk sangat ditentukan oleh kualitas/mutu, dimana
mutu yang berdaya saing mustahil akan dicapai jika kita tidak mempunyai standar
mulai dari tahapan proses produksi sampai hasil produksi. Standar disini
tentunya standar yang telah diharmonisasi dengan standar baku yang berlaku
dalam perdagangan pasar global baik sebagai public
standart maupun private standart. Hanya
poduk yang menerapkan standarlah yang akan mampu bersaing di tataran
perdagangan global.
Inilah
faktor kedua yang masih lemah dan secara umum belum sepenuhnya diterapkan di
Indonesia, sehingga berbagai masalah ketimpangan antara hasil produksi di hulu
dengan di Industri seringkali terjadi. Penerapan standar masih dianggap sebagai
hal yang memberatkan di tingkat pembudidaya, kondisi ini terjadi sebagai akibat
dari pola tata niaga yang tidak tertata dengan baik. Penaataan middleman sampai saat ini belum
dilakukan, padahal masalah suplly chain di Indonesia masih sangat
ditentukan oleh peran middleman yang
tidak terkontrol. Sebenarnya, kita telah
punya regulasi terkait Standar, namun lemah dalam sosialisai dan penerapan di
level stakeholders terkait.
Dengan
berlakunya AEC maka standar ini menjadi hal mutlak, sehingga mulai saat ini
seluruh stakeholders terkait
khususnya pelaku usaha perlu didorong agar merubah pola pikir bahwa melek
standar menjadi sebuah kebutuhan. Pemerintah segera merubah regulasi dari
semula standar yang bersifat voluntary
(sukarela) menjadi mandatory (wajib).
Disisi
lain, Indonesia juga harus punya standar baku terhadap komoditas maupun produk
impor lainnnya dari negara lain, ini penting sebagai perangkat yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya risk analysis
terhadap produk yang masuk ke Indonesia.
Ketiga,
Teknologi. Input teknologi akuakultur harus menjamin efesiensi, aplikatif dan
mampu diadopsi secara mudah oleh masyarakat melalui pendekatan komoditas yang
berbasis pada market oriented. Penerapan teknologi harus
menjamin usaha akuakultur yang berkelanjutan, mampu menjamin keseimbangan
ekosistem melalui pengendalian dan pengelolaan lingkungan yang efektif berbasis
pada kearifan lokal. Modernisasi teknologi budidaya harus terukur, penerapan
teknologi yang tidak terukur justru dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi
keberlanjutan akuakultur itu sendiri.
Keempat,
Regulasi. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus menempatkan diri sebagai
regulator yang efektif. Regulasi harus mampu memberikan kemudahan akses bagi
investasi di bidang akuakultur.
Lambannya investasi di Indonesia seringkali terjadi karena terbentur oleh birokrasi
yang dianggap masih melelahkan, disamping karena kurangnya jaminan kepastian
hukum dan keamanan investasi. Konflik kepentingan terkait pemanfaatan ruang
laut misalnya, masih seringkali kali terjadi di beberapa daerah, sehingga
berimbas pada keberlanjutan usaha marikultur. Kondisi ini sebagai akibat dari
regulasi khususnya penataan zonasi/tata ruang wilayah (RTRW) yang belum ada,
disisi lain implementasi regulasi seringkali terbentur oleh kurangnya
persamaaan persepsi terkait pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
Penataan
dan konsistensi implementasi regulasi mulai dari perizinan usaha, zonasi/RTRW
serta kepastian hukum menjadi prasyarat mutlak yang harus segera dibenahi
dengan membangun sinergisiitas dan persamaan persepsi antara Pusat dan daerah,
sehingga ada jaminan bagi keamanan investasi di bidang akuakultur.
Kelima,
Kelembagaan. Penguatan kelembagaan seringkali masih belum menjadi fokus
perhatian kita, padahal kelembagaan baik kelompok maupun penunjang menjadi
titik tolak bagi peningkatan kapasitas dan kemandirian usaha. Keberlanjutan
usaha budidaya sangat ditentukan oleh kelembagaan yang kuat, karena dengan
kelembagaanlah akan mampu menjamin terhadap kemudahan akses baik produksi,
pasar maupun permodalan. Kelembagaan yang kuat akan mampu mempermudah dalam
membangun kemitraan usaha yang kuat dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan
mampu menjamin efesiensi, posisi tawar, daya saing dan peningkatan kapasitas
usaha.
Permasalahan
tidak berjalannya siklus bisnis akuakultur di beberapa daerah yang menjadi
sentral produksi, karena disebabkan belum terbangun sebuah kelembagaan dan
kemitraan yang kuat dan mandiri.
Keenam.
Sumberdaya manusia. AEC menuntut adanya arus bebas tenaga kerja, jadi siapapun
dan dari negara manapun di kawasan ASEAN bebas untuk bersaing sebagai pelaku
ekonomi. Daya saing SDM sangat ditentukan oleh budaya kerja dan pola pikir yang
maju dan visioner. Pola Pembinaan terhadap masyarakat harus lebih didorong
bukan untuk mencetak pelaku usaha
budidaya baru tapi untuk melahirkan
pelaku usaha budidaya baru. Dengan melahirkan
pelaku usaha budidaya baru, maka jiwa wirausaha dan integritasnya akan mampu
teruji dengan baik. Indonesia ini butuh SDM akuakultur yang bukan hanya mampu
bersaing pada tataran ekonomi lokal, namun yang mampu bersaing dalam tataran
ekonomi global.
AEC
sudah di depan mata, langkah awal lainnya yang harus segera dilakukan adalah
dengan memberikan pemahaman secara massive
ke seluruh stakeholders khususnya di
daerah – daerah potensial terkait peluang, dan tantangan dalam menghadapi AEC.
Pemahaman dan persamaan persepsi ini perlu agar daerah paham dan segera
menyiapkan langkah antisipatif bagaimana menyiapkan sumberdaya melalui
kerjasama sinergi dengan Pemerintah Pusat, sehingga pada akhirnya kita tidak
lagi gagap menghadapi liberalisasi ekonomi ASEAN ini. Yang lebih penting kita
tidak hanya menjadi penonton dan harus mempertaruhkan kedaulatan sumberdaya
yang kita miliki.
Rujukan
(1)(2)Survey Peringkat Daya Saing Indonesia menurut The
Global Competitiveness Indeks (GCI 2013). www.tempo.com. Diakses Tanggal 5 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar