Melihat Lebih Dekat Pengembangan Budidaya Laut Indonesia,..
“Budidaya Laut
(mariculture) sebagai alternatif usaha prosepektif keberadaannya menjadi sangat
dibutuhkan untuk terus didorong melalui
pengembangan kawasan budidaya berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir.
Fenomena pasang surut pengembangan budidaya laut termasuk peluang dan tantangan
di dalamnya sudah seharusnya menjadi fokus perhatian segenap stakeholders dalam
menjamin keberlanjutan usaha budidaya”
Demikian
kesimpulan dan rekomendasi hasil monitoring dan evaluasi pada kawasan
pengembangan budidaya laut yang baru-baru ini dilakukan oleh Tim Monev dari
Direktorat Produksi Perikanan Budidaya pada beberapa sentral produksi antara
lain di Provinsi NTB (Lombok Tengah, Lombok Timur dan Lombok Barat), Provinsi
Kepuluan Riau (Batam dan Bintan), dan Provinsi Jawa Timur (Situbondo).
Pengembangan budidaya laut dinilai masih mempunyai
peluang yang sangat besar, terlihat dari total pemanfaatan potensi lahan yang
belum sepenuhnya meng-cover luas potensi
lahan yang ada. Dengan luas indikatif
potensi lahan pengembangan budidaya laut nasional luas 4,58 juta ha sampai
dengan tahun 2011 baru dimanfaatkan untuk usaha budidaya sekitar 169.292 ha
(3,69%). Dari
luas pemanfaatan lahan tersebut, perkembangan produksi pada komoditas unggulan
budidaya laut khususnya fin fish mengalami trend yang beragam. Sebagai
gambaran pada tahun 2012 capaian angka produksi sementara
masing-masing untuk ikan kerapu sebesar 10.200 ton atau turun sebesar 3,6% dari capaian tahun 2011 sebesar 10.580 ton. Sedangkan capaian produksi ikan kakap sebesar 6.100 ton atau meningkat sebesar 16,5% dari tahun 2011 yang hanya mencapai 5.236 ton. Jika
dibandingkan dengan target
produksi yang diproyeksikan pada Tahun 2012, masing-masing untuk ikan kerapu
dengan capaian 92,7% dari target sebesar 11.000 ton dan ikan kakap dengan capaian 95,2% dari target sebesar 5.500 ton
Ikan Kerapu Masih Menjadi Primadona
Saat
ini budidaya ikan laut masih didominasi oleh beberapa komoditas yang memang
secara teknologi telah mampu dibudidayakan secara massal di masyarakat, dimana
ikan kerapu masih menjadi primadona dikalangan pelaku usaha disamping komoditas
lainnya antara lain lobster, bawal bintang dan kakap. Ikan kerapu sebagai
komoditas unggulan ekspor perikanan budidaya, mempunyai nilai ekonomis tinggi
karena harga yang menggiurkan, bayangkan untuk jenis ikan kerapu bebek
ditingkat pembudidaya dibandrol dengan harga Rp. 350 ribu per kilogram,
sedangkan dtingkat eksportir mencapai Rp. 500 ribu per kilogram. Lain halnya
dengan jenis ikan kerapu macan rata-rata ditingkat pembudidaya dibandrol dengan
harga Rp. 120 ribu per kilogram. Menurut Manhan Rasuli salah satu pembudidaya
kerapu di Teluk Batu Nampar Lombok Timur, budidaya ikan kerapu membutuhkan
modal yang besar, sehingga mereka menginisiasi membudidayakan kerapu dengan
pola berkelompok. “ Bagi kami budidaya ikan kerapu merupakan investasi atau
tabungan penghasilan, karena masa pemeliharaan yang cukup lama, maka kami
upayakan untuk melakukan usaha ini secara berkelompok”, terang Manhan.
Diakuinya, ikan kerapu bebek masih menjadi primadona dibudidayakan di teluk
Batu Nampar, karena selain harganya sangat tinggi, pasarnyapun sudah pasti.
Lain
halnya dengan upaya yang dilakukan UD. Bali Minatama salah satu perusahaan
budidaya kerapu yang berpusat di Bali, dimana dalam upaya mempercepat
pengembangan usaha budidaya kerapu di masyarakat, pihak perusahaan menjalin
kerjasama kemitraan dengan menerapkan pola segmentasi usaha. Pola segementasi
usaha, menurut Carollus Wibowo pemilik UD. Bali Minatama adalah dalam rangka efesiensi dan memberikan
kesempatan kpd masyarakat binaan mendapatkan nilai tambah pada setiap
tingkatan/segmen ukuran ikan kerapu yang dibudidayakan. “Kita tahu usaha
budidaya ikan kerapu membutuhkan investasi besar, sehingga masyarakat kecil
tidak akan mampu berusaha, dengan kemitraan semacam ini, maka masyarakat akan
mendapatkan nilai tambah pada masing-masing tahapan pembudidaya dengan tanpa
mengeluarkan modal tinggi. Pola ini juga telah secara nyata mampu mempercepat
kapasitas usaha budidaya”, jelas Carollus saat memberikan paparan pada
ajang Forum Budidaya Laut di Batam akhir tahun lalu. Ditambahkan
Carollus pembudidaya mitra akan mendapatkan penghasilan rutin setiap bulan,
dimana nilai income tergantung prestasi. Ikan yang dipelihara akan dihargai Rp.
2 ribu per cm. Sampai
Tahun 2012 jumlah unit KJA yang diusahakan melalui pola kemitraan dengan
masyarakat telah mencapai 649
unit, dari sebelumnya yang hanya 45 unit yaitu
masing-masing tersebar di Sumberkima, Teluk Ekas Lombok Timur dan Sumbawa.
Disisi lain, menurut sumber dari Assosiasi Budidaya
Laut Indonesia (Abilindo) dari luas areal budididaya laut yang telah
dikembangkan untuk budidaya ikan kerapu
di KJA sekitar 19.690 unit yang tersebar di Kep. Riau dan Natuna, Aceh,
Sumatera Utara, Lampung, NTB dan Lainnya. Ditambahkan Wayan Sudja Sekjen
Abilindo, sentra-sentra produsen kerapu yang tergabung dalam Abilindo tersebar
di wilayah Sumatera Utara dan Aceh, yang diperkirakan mengusahakan budidaya KJA
kerapu sebanyak 2.800 jaring;
Kepulauan Riau sebanyak 2.000 jaring;
Natuna sebanyak 3.000 jaring;
Lampung sebanyak 5.741 jaring;
Bali dan NTB sebanyak 4.150 jaring; dan
lokasi lainnya sebanyak 4.500 jaring.
Usaha budidaya ikan kerapu nampaknnya menunjukan
perkembangan yang menggembirakan, ini bisa terlihat pada sentra-sentra produksi
benih kerapu yang secara rutin mendapatkan order dengan jumlah yang cukup
besar. Ini diperkuat dengan pernyataan Lalu Hamdi Kepala BPBIP Sekotong Lombok
Barat, Menurutnya, saat ini instalasinya secara rutin mendapat permintaan benih
ikan kerapu bebek ke beberapa daerah khususnya di Provinsi NTB. “Kami coba
untuk menggenjot produksi benih ikan kerapu bebek ukuran 5-10 cm untuk mencukupi
permintaan benih khususnya di Provinsi NTB yang semakin meningkat akhir-akhir
ini”, terang Hamdi optimis.
Sebagai gambaran pada tahun 2011 sentral produksi kerapu masih
didominasi oleh 10 (sepuluh) Provinsi penghasil utama, masing-masing Provinsi Sumatera Utara dengan capaian produksi sebesar
4.404 ton (41,63%); Provinsi Kepulauan Riau sebesar 1.512 ton (14,29%);
Provinsi Aceh 1.130 ton (10,68%); Provinsi Lampung 837 ton (7,91%); Provinsi
Sulawesi Tenggara 647 ton (6,11%); Provinsi Jawa Timur 319 ton (3,01%);
Provinsi Papua Barat 266 ton (2,51%); Provinsi NTB 256 (2,42%); Provinsi Maluku
Utara 228 ton (1,90%) dan Provinsi Maluku 175 ton (1,65%).
Penurunan
daya dukung perairan mejadi tantangan utama,.
Merebaknya serangan penyakit pada budidaya ikan
kerapu akhir-akhir ini cukup menghawatirkan pada beberapa sentral produksi
seperti Lampung. Agen utama penyebab kasus penyakit ini disebabkan oleh
penyebaran virus dan jamur. Menurut Teguh Setyiono Senior Technical Service PT.
Suri Tani Pemuka sebagaimana dikutif dalam Trobos Aqua, ia menyebut bahwa iridovirus sebagai penyebab kematian
massal yang paling sering terjadi menyerang ikan kerapu. Penurunan daya dukung
lingkungan perairan disinyalir menjadi penyebab merebaknya permasalahan
penyakit. Introduksi vaksin bagi ikan kerapu, diharapkan membawa angin segar
bagi pencegahan merebaknya penyakit yang diakibatkan virus tersebut.
Kasus lain yang baru-baru ini menggemparkan adalah
terjadinya fenomena red tide sebagai akibat dari blooming
algae yang telah mengakibatkan kematian massal ikan kerapu di Teluk Lampung
menjadi indikasi bahwa telah terjadi penurunan daya dukung perairan. Semakin
padatnya aktivitas usaha budidaya kerapu di KJA dengan tanpa adanya penataan
ruang yang baik, dipastikan akan memicu permasalahan tersebut. Mempertimbangkan
hal tersebut, maka penetapan zonasi atau tata ruang perairan khususnya untuk
aktivitas budidaya menjadi sangat mutlak diperlukan dalam rangka mempertahankan
daya dukung perairan, sehingga aktivitas budidaya akan terjamin keberlanjutannya.
Ini diperkuat oleh pernyataan Ali pengurus Forum
Kerapu Lampung (Fokel) bahwa penataan ruang KJA budidaya kerapu sudah menjadi
kebutuhan yang memaksa, menurutnya perairan ini sudah jenuh sehingga penyebaran
penyakit akan mudah dan cepat terjadi dari satu unit ke unit lainnya. “Kami
mengharapkan pemeritah daerah turun langsung dan segera menetapkan regulasi
untuk penataan ruang aktivitas usaha budidaya dan membatasi pembangunan KJA
baru di perairan ini”, jelas Ali serius. Ditambahkan Ali permasalahan
ketersediaan pakan berkualitas juga masih minim akhir-akhir ini. Pembudidaya
masih mengandalkan ikan rucah segar sebagai pakan utama kerapu, karena dinilai lebih
baik jika dibandingkan menggunakan pakan buatan, namun ketersediaannya masih
bersifat musiman, sedangkan pakan buatan masih belum teruji efektifitasnya. Hal
tersebut juga diungkapakan Wajan Sudja disela-sela pembahasan RSNI Budidaya
Ikan Kerapu tahun lalu, bahwa riset terkait penggunaan pakan buatan untuk
budidaya laut khususnya kerapu menjadi sebuah kebutuhan yang bersifat mendesak,
pakan buatan tersebut harus teruji mampu menyamai efektifitas penggunaan dengan
pakan rucah. “Saya malah mengusulkan ada direktorat teknis yang berdiri sendiri
dibawah Ditjen Perikanan Budidaya yang secara khusus menangani masalah pakan
ikan ”, imbuh Wajan penuh harap.
Demfarm
budidaya ikan kerapu, upaya percepatan kawasan budidaya kerapu,.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Ditjen
Perikanan Budidaya terus mendorong upaya percepatan pengembangan kawasan
budidaya laut di daerah-daerah potensial melalui pengembangan model usaha
budidaya bebasis manajemen kelompok. Menurut Direktur Produksi Perikanan
Budidaya Ir. Abduh Nurhidajat, M.Si
sebagaimana dikutip dalam Trobos Aqua, pada tahun 2012 Ditjen Perikanan
Budidaya melalui alokasi APBNP telah mengembangan percontohan (demfarm) usaha
budidaya ikan kerapu di 10 (sepuluh) Kabupaten yang merupakan kawasan-kawasan
potensial antara lain Kabupaten Langkat (Sumatera Utara); Kabupaten Pesisir
Selatan (Sumatera Selatan); Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau); Kabupaten Bangka
Selatan (Kepulauan Riau); Kabupaten Belitung (Kepulauan Riau); Kabupaten
Situbondo (Jawa Timur); Kabupaten Lombok Timur (NTB); Kabupaten Lombok Tengah
(NTB); Kabupaten Lombok Barat (NTB); Kabupaten Bima (NTB). Disamping alokasi
yang berasal dari APBNP, Ditjen Perikanan Budidaya juga telah mengalokasikan
anggaran melalui APBN tahun 2012 yaitu untuk pengembangan demfarm budidaya
kerapu di Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Tenggara. Ditambahkan Abduh,
tujuan pengembangan demfarm ini adalah dalam rangka memperkenalkan model
penerapan usaha budidaya ikan kerapu yang sesuai teknologi anjuran, diharapkan
melalui pengelolaan demfarm secara berkelompok ini masyarakat akan mampu
mengelola usahanya secara berkelanjutan. “ Demfarm ini juga memperkenalkan
konsep KJA ramah liingkungan dari bahan HDPE, disamping itu kami juga akan
memperkenalkan jenis ikan kerapu hibrida yaitu jenis kerapu cantik sebagai
hasil perkawinan silang ikan kerapu hibrid cantang dengan kerapu batik”, jelas
Abduh.
Sejauh ini hasil monitoring terhadap demfarm ikan
kerapu pada beberapa kawasan menunjukan perkembangan yang menggembirakan.Diakui
Rizal ketua Pokdakan Putra Bahari di Batu Nampar Lombok Timur, bahwa jenis
kerapu cantik mempunyai kelebihan dan kekurangan dibanding kerapu lainnya.
Dijelaskan Rizal, kerapu cantik cenderung tahan terhadap penyakit dan perubahan
lingkungan dibanding kerapu lainnya, ini terbukti selama pemeliharan 3,5 bulan
tingkat SR masih mencapai >90%, namun kelemahannya pertumbuhan lebih lambat
dibanding kerapu cantang dan kerapu macan. Namun demikian menurutnya ikan
kerapu bebek masih menjadi primadona dikalangan pembudidaya. Dirinya, meminta
agar pasar kerapu hibrida ini dijamin dan tidak kalah bersaing dengan kerapu
macan. “Untuk kerapu cantik ini, kami berharap pemerintah lebih giat melakukan
promosi pasar ekspor sehingga harganya mampu bersaing paling tidak sama dengan
harga jenis kerapu macan”, imbuh Rizal.
Komoditas lain terus didorong,..
Tidak kalah menariknya, usaha budidaya ikan laut
lainnya semisal Bawal Bintang, Kakap Putih dan Lobster saat ini mulai
berkembang di masyarakat dan telah menjadi komoditas unggulan yang diminati
pasar baik domestikk maupun untuk kebutuhan ekspor. Tengok saja, usaha budidaya
ikan bawal bintang telah mulai berkembang di Batam, Bintan, Lombok,Bali dan
daerah lainnya. Menurut Buntaran, Koordinator Instalasi BBL Lombok di Grupuk,
saat ini permintaan bawal bintang untuk memasok kebutuhan restoran sudah mulai
luas. Untuk di Lombok saja permintaan rutin selalu datang dari Bali sebagai
pasar utama. Walaupun harga bawal bintang tidak semahal kerapu, yaitu berkisar
50 rb rupiah per kilogram, namun karena masa pemeliharaan yang tidak terlalu
lama, menjadikan komoditas ini cukup diminati oleh masyarakat pembudidaya.
Untuk mempertahankan usahanya, pembudidaya tidak
jarang melakukan kombinasi budidaya kerapu dengan ikan kakap putih. Itu pula
yang dilakukan beberapa pembudidaya ikan di Teluk Lampung. Dibanding kerapu
bebek, budidaya ikan kakap putih jauh lebih cepat. Selain itu itu Survival Rate (SR) lebih tinggi yaitu
dapat mencapai > 70%. Pangsa pasar kakap putihpun saat ini mulai terbuka
luas baik untuk mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Bila dijual dipasar
lokal harganya Rp. 25 ribu sedangkan jika dijual ke restoran harganya bisa
mencapai Rp. 60 ribu. BBPBL Lampung saat ini telah mampu melakukan perekayasaan
dalam menghasilkan benih ikan kakap putih, sehingga prospek usaha budidaya ikan
kakap putih juga tidak kalah prospektif dengan jenis ikan lainnya.
Lain halnya dengan budidaya lobster,. Salah seorang
pengumpul benih di Teluk Bumbang Grupuk Lombok Tengah, mengaku saat ini benih
lobster sedang melimpah di alam, namun dirinya mengaku saat ini harga turun
drastis, jika saja sebelumnya harga benih lobster ukuran jangkrik mencapai Rp.
5 ribu per ekor, saat ini harganya hanya berkisar Rp. 1.500,- s/d Rp. 2.000,-
per ekor. Disamping itu permintaan terhadap benih lobster beberapa bulan
terakhir juga menurun drastis. Nampaknya penurunan permintaan benih tersebut
terkait dengan permasalahan penyakit yang terjadi di sentral-sentral produksi
pembesaran lobster di NTB antara lain di Teluk Awang, Teluk Ekas dan Teluk Batu
Nampar serta daerah lainnya. Penyakit lobster yang disebut Milkiest Desease ini menyerang lobster yang dibudidayakan.
“Penyakit ini sebenarnya telah biasa menyerang pada musim-musim tertentu, namun
saat ini merupakan puncaknya”, tutur salah seorang pembudidaya. Upaya selama
ini melalui identifikasi terhadap penyebab munculnya penyakit ini terus
dilakukan, dan diharapkan secepat mungkin menemukan solusi terbaik untuk
pencegahan dan penanggulangan. Perlu diketahui, pemerintah dalam hal ini
menunjuk BBL Lombok sebagai UPT Ditjen Perikanan Budidaya telah bekerjasama
dengan ACIAR dalam upaya pengembangan riset dan perekayasaan komoditas lobster.
Lobster menjadi primadona dikalangan pelaku usaha karena prospek pasar dan
harga yang sangat menggiurkan, satu kilogram dibandrol dengan harga Rp.
300.000,- di tingkat pembudidaya.
Budidaya laut (mariculture)
mempunyai peluang besar dalam menopang pergerakan ekonomi masyarakat di pesisir
dan pulau-pulau, sehingga peran pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat
diperlukan dengan memberikan kemudahan terhadap akses investasi pada sektor
ini.
Posted by Cocon,SPi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar