Kembang Kempis Industri Pengolahan Udang
Keluhkan
kurangnya pasokan bahan baku udang segar, industri pengolah udang disarankan
merasionalisasi jumlah pabrik agar utilitas membaik. Angka utilitas 2013 adalah
65 %, artinya masih35 % mangkrak
Ibarat
penyakit, statusnya kronis atau sudah berlangsung menahun. Sudah lama industri
hilir pengolah udang tanah air mengeluhkan problem kontinuitas pasokan bahan
baku
utama berupa udang segar. Tak sedikit industri yang biasa diistilahkan
dengan cold storage ini megap-megap, bahkan sebagian rontok dikarenakan
tak sanggup berebut udang segar dari pembudidaya sebagai bahan baku utama
pabrik.
Dimintai
tanggapannya, Saimi Saleh menjawab dengan ungkapan sinikal bernada membenarkan.
“Sejak belum lahir, bahan baku sudah sulit,” ucap dia. Presiden Direktur
PT Indokom-perusahaan cold storage yang berbasis di Lampung-ini
menggambarkan, total kapasitas maksimal sekitar 70 ton per hari.
Apa lacur, saat
ini kenyataannya hanya mengolah bahan baku rata-rata 35 ton dengan hasil produk
20 ton saban hari. “Dua bulan lalu bahan baku turun sekitar 25 – 35 %, meskipun
kualitas tidak turun,” imbuh Saimi.
Sementara itu,
alternatif impor bahan baku tidak dimungkinkan karena pemerintah memberlakukan
larangan bagi pemasukan udang jenis vannamei, utamanya dari negara-negara yang
dinyatakan positif terjangkit penyakit udang. Tujuannya adalah melindungi
perairan Indonesia dari cemaran bibit penyakit yang banyak merebak di beberapa
negara produsen udang, agar industri perudangan nasional terhindar dari ancaman
kerugian massal. Contoh terbaru adalah wabah EMS (Early Mortality Syndrome)
yang telah meluluhlantakkan kedigdayaan udang Thailand, Cina, Vietnam,
Malaysia, dan India.
Kata Saimi,
menjadi wajar dan sudah seharusnya apabila pemerintah melarang impor udang
vannamei, demi menjaga pertumbuhan dan mengamankan produksi udang dalam negeri.
Tetapi, sambung dia, pemerintah punya konsekuensi harus serius menggenjot
produksi dalam negeri agar kebutuhan industri hilir terpenuhi.
Sejauh ini 100
% hasil olahan Indokom menyasar pasar ekspor dengan tujuan terbesar Amerika.
Tren pasar, ukuran kecil banyak diminati, dengan bentuk olahan udang
dikupas “ready to eat” atau “ready to cook”. Soal harga, kata dia biasa turun
naik. Dan menurutnya harga saat ini masih sesuai. Masalahnya, tunjuk Saimi, ada
di petambak. “Pabrik hanya mengolah, tidak masalah dengan harga. Yang jadi
masalah itu, produksi bisa banyak atau enggak?” tanyanya.
“Nggak Ngoyo”
Yang juga
mengeluhkan beratnya mempertahankan utilitas pabrik pengolahan udang adalah
Mohammad Nadjikh – Presiden Direktur PT Kelola Mina Laut. Seolah patah arang,
Nadjikh bahkan mengaku “nggak ngoyo” untuk bisnis udangnya. “Kalau bisnis
udang, sudahlah. Situasi bagus, genjot. Tapi kalau nggak bagus, nggak
ngoyo,” ucapnya pasrah.
Kata dia, saat
harga tinggi sejatinya yang meraup untung tebal adalah petambak. Sedangkan cold
storage, menurut Nadjikh, “Untungnya segitu-gitu aja, mepet.” Dan di
situasi terkini yang harga cenderung turun, Nadjikh mengaku memilih “diam” atau
wait and see, karena khawatir rugi.
Menurut
Nadjikh, soal udang Indonesia pemain global, jadi sudah tahu kalau udang tidak
bagus pasti tidak laku. Masalahnya petambak cuma satu, kata dia. “Maunya untung
gede terus, dan yang mengolah ini tidak dikasih untung. Bahkan bangkrut nggak
papa,” sindir dia dengan nada gusar. Padahal, masih ia merepet,
“Kalau cold storage bangkrut siapa yang akan menyerap udang mereka?”
Saat ini,
produk Nadjikh menyasar pasar ekspor dengan Amerika sebagai target terbesar, 60
% dari total ekspornya, sementara Jepang 30 % dan 10 % sisanya beberapa negara
lain. Permintaan terbanyak berupa udang beku headless (tanpa kepala),
meski sebagian juga yang siap masak.
Bertolak
Belakang
Anehnya,
penjelasan Saimi dan tudingan Nadjikh bertolak belakang dengan paparan Iwan
Sutanto, petambak yang juga ketua asosiasi pembudidaya udang SCI (Shrimp
Club Indonesia). Pemaparan Iwan justru menggambarkan adanya kelebihan
produksi udang di tambak akibat serapan hilir yang rendah. Ujungnya, harga
udang di tingkat pembudidaya merosot.
Iwan menyebut,
akhir-akhir ini harga udang turun sekitar 30 %. Size 50 ekor per kg yang
semula berkisar Rp 100 ribu/kg sekarang di kisaran Rp 75 ribu/kg,dengan HPP
(Harga Pokok Produksi) sekitar Rp 45 ribu. Ia mengeluhkan keuntungan yang tidak
begitu baik. “Buat kita sekarang, yang penting ada yang beli, bukan harga
berapa. Karena barang kalau tidak dibeli akan rusak,” keluhnya.
Iwan justru
mengatakan, pembudidayalah yang kerap ditekan oleh para buyer (pembeli).
Di saat panen, buyer menahan agar petambak tidak memanen dengan tidak
segera membeli. Alhasil harga di tingkat pembudidaya tertekan rendah. Sementara
hilir terus meminta karena produksi harus terus berjalan. Sehingga harga di
tingkat industri pengolah pun jadi tinggi.
Dampak dari
mekanisme tak sehat para pedagang perantara ini, kata Iwan, obsesi pemerintah
meningkatkan produksi dan menangkap peluang momentum anjloknya pasokan udang
dunia akibat EMS di beberapa negara lain menjadi tidak optimum. “Akibat EMS,
produksi dunia turun 1 juta ton, tapi kita tidak bisa memanfaatkan dengan
optimal. Karena itu seharusnya jangan sampai buyer menekan kita,”
tandasnya.
Dan juga salah
satu penyebab utama turunnya harga, kata Iwan, karena hilir tidak siap. Menurut
dia, kemampuan industri hilir harus mengikuti kenaikan produksi dalam negeri.
Industri hilir wajib mendapat perhatian tersendiri dari pemerintah, baik aspek
permodalan maupun aspek teknologi peralatan produksi agar kompetitif.
Iwan
menyebutkan, dari sekitar 20 pabrik pengolahan yang biasanya menyerap produksi
anggota SCI, faktanya kini hanya ada 5 yang aktif membeli. Angota SCI yang
sekitar 400 pengusaha tambak, memproduksi 200 ribu ton lebih udang. Kapasitas
produksi sama, tetapi yang beli jauh lebih sedikit. Tak ayal harga merosot.
“Tren bagus sesaat kemudian jatuh, karena hilir tidak siap. Pembudidaya kecil
yang sulit,” ungkapnya.
Utilitas Rendah
Direktur
Pemasaran Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Saut P Hutagalung mengakui adanya
keluhan pasokan bahan baku industri hilir udang yang dia masukkan sebagai UPI
(Usaha Pengolahan Ikan) ini.Tetapi menurut dia, kekurangan ini bukan
mencerminkan minimnya produksi melainkan lebih karena waktu yang tidak selalu
pas dengan panen.
“Industri
pengolahan udang berjalan tiap hari, kebutuhan pasokan tiap hari. Sementara
panen udang tidak setiap hari. Jadi ada satu waktu udang menumpuk, di waktu
lain kurang. Di saat itulah akan ada keluhan,” urainya setengah berdalih.
Belum lagi,
lanjut dia, sejak 2011 terjadi peningkatan jumlah UPI sehingga kompetisi
mendapatkan udang semakin ketat. “Penyebabnya, pertama udang menarik di
pasaran, kedua karena ada revitalisasi udang. Jadi UPI yang dulu hanya mengolah
ikan belakangan ikut melirik udang,” ujarnya. Ia menambahkan data, dari
571 UPI yang ada saat ini 168 diantaranya mengolah udang. Meningkat dari jumlah
di 2011 yang 140, dan 2012 ada sekitar 152.
Sementara angka
utilitas (kapasitas terpakai) berturut-turut 2011, 2012, dan 2013 adalah 52,2
%, 60 %, dan 65 %. “Artinya 35 % idle atau mangkrak. Jadi cukup
beralasan mereka mengeluhkan kekurangan bahan baku,” papar Saut.
Sumber : Majalah
TROBOS Aqua Edisi-24/15 Mei 2014 - 14 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar