Ada Udang Dibalik Asa
(Mengintip Animo Masyarakat Pesisir Jepara)
Waktu
itu matahari tepat berada diatas ubun-ubun, sinarnya terasa menyayat-nyayat
kulit yang berlumuran keringat, namun anehnya angin pesisir juga seolah enggan
untuk muncul menghantarkan kesejukan seperti biasanya. Mungkin sebagaian orang
yang
tidak terbiasa akan dengan cepat mengumpat dan menyalahkan kondisi alamiah
semacam ini. Tapi itulah fakta, dan begitulah adanya kondisi kehidupan pesisir.
Kondisi semacam itu menjadi hal lumrah yang justru menjadi ladang pembelajaran
alamiiah bagi masyarakat sehingga mampu mencetak karakter kuat pada diri
sebagian besar masyarakat pesisir. Karakter sebagai pekerja keras yang pantang
menyerah tentunya. Sudah sekitar tiga hari saya sengaja untuk menyusuri daerah
pesisir Jepara dari ujung-ke ujung. Mulai dari pesisir Kecamatan Donorojo
hingga Kecamatan Kedung dan siang ini saya telah memesan janji untuk bertemu dengan salah satu kelompok pembudidaya udang yang
ada di Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo.
Dari
jauh terlihat hamparan lahan pertambakan yang cukup tertata dengan baik, saya
agak terkejut dengan perbedaan yang mencolok tersebut, karena saya masih ingat
dulu, tepatnya tujuh tahun yang lalu kondisi lahan pertambakan ini sangat tidak
terurus alias mangkrak dan nyaris tak ada aktivitas apapun. Pada saat itu saya
sempat tanya kepada salah seorang penduduk tentang kondisi ini, mereka
menyampaikan bahwa kondisi lahan tambak sudah lama mangkrak dan ditinggal sejak
kegagalan produksi udang windu, imbasnya waktu itu masyarakat enggan untuk
terjun berbudidaya udang karena trauma akan menanggung kerugian yang lebih
besar. Waktu itu saya menyarankan masyarakat untuk memanfaatkan lahan tersebut
dengan berbudidaya rumput laut Gracillaria
sp, namun hingga kini belum terwujud karena minim dukungan.
Saya
tiba di sebuah bangunan kayu berbilik bambu tepat berada tidak jauh dari
pematang tambak yang terhampar sekitar tiga petak dan satu petak yang berfungsi
sebagai tandon. Rupanya ini merupakan gudang sekaligus basecamp bagi kelompok “udang lestari” yang saat ini dikomandoi
oleh Siswanto. Lelaki setengah baya seorang yang ulet dan cukup berpengalaman
dalam manajemen budidaya udang karena telah lama berkecimpung dalam usaha ini,
bahkan sempat bekerja di Sulawesi dan Lampung. Dari pengalamannya itulah
kemudian dia tularkan dan menjadi salah satu yang mampu mendorong motivasi
anggotanya untuk mengelola usaha budidaya saat ini.
Ketiga
petak yang sedang operasional ini merupakan buah dari rangkaian program
pemerintah dalam mendorong bangkitnya sentra-sentra budidaya udang yang sempat
mangkrak bertahun-tahun. Salah satu upaya taktis yang dilakukan yaitu melalui
pengembangan demonstrasi farm pada sentra-sentral eks tambak udang. Menurut
Kabid Perikanan Budidaya DKP Kab. Jepara, bahwa demfarm ini merupakan dukungan
melalui APBN Tugas Pembantuan TA. 2015 yang kesemuanya dialokasikan untuk
operasional bagi sekitar satu hektar tambak udang semi intensif.
Ditambahkan
Siswanto, sejak penebaran pertama sekitar dua bulan yang lalu saat ini kondisi
udang vaname masih cukup stabil, walaupun memang ada perlambatan dari sisi
pertumbuhan harian. Menurutnya perlambatan pertumbuhan menjadi hal lumrah
mengingat kondisi cuaca dimusim kemarau ini cukup ekstrim sehingga memicu
tingginya salinitas. “Pertumbuhan udang vaname menjadi lambat karena salinitas
mencapai 60 ppt, sementara sumber air tawar kali ini sangat sulit. Dalam
kondisi normal umur udang dua bulan harusnya sudah mencapai size dibawah
seratus, namun yang terjadi masih dalam kisaran rata-rata size seratus”, tutur
Siswanto sembari menjelaskan aspek teknis dengan gamblang. Namun menurutnya,
semua itu merupakan faktor alamiah, dia optimis menjelang masuk musim penghujan
pertumbuhan udang akan normal. Dia bersama anggotanya mematok target produksi
kali ini 5-6 ton dengan padat tebar awal 60 ekor/m2. “Paling tidak udang bisa
terbebas dari penyakit sudah bagus, dan semangat kami sangat terpacu dengan
ini. Jika diitung-itung secara ekonomi dengan pencapaian target tersebut
diharapkan mampu meraup pendapatan 400 hingga 500 juta per siklus”, tambah
Siswanto berseri.
Siswanto
juga berharap ke depan penerima manfaat tidak hanya terfokus pada anggota
kelompoknya saja, namun masyarakat sekitar akan diusahakan bisa digandeng untuk
bersama-sama merasakan kembali geliat usaha budidaya yang saat ini sedang
dijajaki lewat pengelolaan demfarm. Diakuinya, sejak keberadaan demfarm di desa
Sekuro animo masyarakat kembali muncul. Bahkan sejak beberappa bulan yang lalu
telah mulai masuk perusahaan swasta yang berinvestasi di desa Sekuro dan
hasilnya sangat menggembirakan, dimana siklus pertama saja telah mampu
menghasillkan produksi sekitar 30 ton.
Pada
kesempatan ini saya menyarankan agar pendapatan yang dihasilkan bisa kembali
dikelola secara baik dengan melakukan alokasi untuk re-investasi paling tidak minimal 20-25% dari pendapatan bersih. Ini
penting karena perlambatan pengembangan usaha budidaya secara umum di Indonesia
disebabkan karena para pembudidaya cenderung nggan melakukan re-investasi. Disamping itu tentunya,
pola pengelolaan budidaya dan manajemen usaha harus dilakukan dengan baik, oleh
karena itu dari aspek manajemen, penguatan kelembagaan menjadi suatu
keniscayaan. Dari aspek teknis tentunya kegiatan budidaya harus dilakukan
secara bertangggungjawab dan ramah lingkungan. Melalui ini, masyarakat harus
mulai berperan aktif dalam memperbaiki dan merehabilitasi ekosistem sekitar
yang telah rusak. Rehabilitasi hutan mangrove di sekitar area budidaya menjadi
bagian penting yang harus dilakukan guna menjaga siklus alamiah, dan tentunya
akan berdampak positif bagi keberlanjutan budidaya udang.
Dari
rangkaian kunjungan tidak resmi saya menyusuri pesisir Jepara, saya beranjak
pada sebuah kesimpulan bahwa program demfarm budidaya udang yang terprogram dan
terencana dengan baik secara umum telah mampu membangkitkan kembali animo
masyarakat untuk berbudidaya udang. Dan ini bisa dirasakan dari geliat usaha
budidaya udang mulai dari pesisir kecamatan Donorojo, kecamatan Mlonggo dan
Kedung (data resmi bisa dikonfirmasi ke DKP Kabupaten Jepara)
Sifat
masyarakat yang cenderung “parternalistik”
harus menjadi acuan kuat bagaimana
program dan kebijakan pemerintah harus secara langsung bersifat “Participatory” dan menjadi tuntunan yang
akan mendorong semangat dan kerja keras masyarakat. Berbagai program dan
kebijakan seyogyanya harus mengedepankan upaya pengembangan masyarakat (Community Development) dengan
menempatkan masyarakat sebagai subjek dan bukan sebatas pada upaya yang hanya
sekedar menjaga hubungan dengan masyarakat melalui pemenuhan keinginan yang
bersifat instan (community
interest/relation).
Post by
Cocon,
S.Pi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar