SILVOFISHERY,..
BUDIDAYA BERDASARKAN PRINSIP
KESEIMBANGAN
(sebuah
studi kasus,
sebagai
model bagi daerah pengembangan budidaya)
Prinsip
keseimbangan (Principle of harmony)
menjadi dasar bagi terwujudnnya budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Kesimbangan yang dimaksud adalah bahwa
pengelolaan perikanan budidaya harus mampu menjamin berjalannya siklus dan
interaksi yang saling menguntungkan dalam
sebuah ekosistem.
Silvofishery sejalan dengan prinsip blue economy
Kementerian
Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue Economy dalam pengelolaan
suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut diantaranya adalah : 1) kepedulian terhadap
lingkungan (pro-enviroment) karena
memastikan bahwa pengelolaannya bersifat zero
waste; 2) menjamin keberlanjutan (sustainable);
3) menjamin adanya social
inclusiveness; 4) terciptanya pengembangan inovasi
bisnis yang beragam ( multiple cash flow).
Silvofishery sebagai
sebuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya yaitu
budidaya di tambak menjadi alternatif usaha yang prospektif dan sejalan dengan
prinsip blue economy. Pendekatan
terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove
memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik,
disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi.
Hal yang paling penting adalah bahwa konsep ini menawarkan alternatif teknologi
yang aplikatif berdasarkan prinsip keberlanjutan
(sustainable)
Pengelolaan terpadu mangrove-tambak
diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon
mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan
wanamina (silvofishery). Silvofishery
pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat
tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga
diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis karena mempertimbangkan kepedulian terhadap ekologi (ecologycal awareness)
Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk
kepentingan pengembangan perikanan. Keuntungan ganda telah diperoleh dari
simbiosis ini, selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya
pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.
Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan
telah mampu memenuhi kebutuhan untuk usaha budidaya tambak, berarti disini
terwujud efesiensi.
Pengelolaan
budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas
yang cukup baik dengan hasil produk yang terjamin keamanannya karena merupakan
produk organik (non-cemical). Bukan
hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga
menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah
bisnis wisata alam (eco-taurism business)
yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk makanan dari buah
mangrove, disamping bisnis turunan lainnya.
Secara umum terdapat tiga model tambak
silvofishery, yaitu; model empang parit,
komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang
berkembang di masyarakat. Pada tambak silvofishery
model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu
hamparan yang diatur oleh satu pintu air.
Pada tambak silvofishery model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan
empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua
pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak silvofishery model jalur merupakan hasil
modifikasi dari tambak silvofishery
model empang parit. Pada tambak model ini terjadi penambahan saluran-saluran di
bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul,
hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang
berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3
pola silvofishery dan pola yang
berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola silvofishery kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini
didasarkan atas pertimbangan:
1.
Penanaman mangrove di tanggul
bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan
tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
2.
Penanaman mangrove di tengah bertujuan
untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di
areal pertambakan 1).
Kabupaten
Subang sebagai model pengembangan silvofishery
Pemanfaatan
mangrove untuk silvofishery di
Kabupaten Subang saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini
telah terbukti mendatangkan keuntungan secara ekonomis bagi pembudidaya dan
nelayan. Adalah Syamsuddin (45 th) yang saat ini menggawangi Koperasi Langgeng
Jaya di Ds. Langen Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian
menginisiasi pengembangan silvofishery di Subang khususnya di Desa Langen sari.
Menurutnya, sejak tahun 1990 sebenarnya Silvofishery
telah mulai dikenalkan dan dikembangkan di Kabupaten Subang atas inisasi dari
Perhutani yang kemudian mereka sebut dengan konsep Wanamina. Awalnya mereka
sangat prihatin dengan terjadinya kerusakan hutan mangrove akibat ulah yang
tidak bertanggungjawab sehingga fungsi barrier
dan ekologis sudah tidak ada lagi, akibatnya secara langsung berdampak pada
menurunnya daya dukung tambak udang, yang berujung pada kegagalan produksi udang
windu yang dibudidayakan.
Alhasil
, saat ini melalui kelembagaan koperasi yang ia pimpin telah mampu menginisiasi
dan mendorong pengelolan budidaya bandeng dan udang dengan konsep wanamina
tersebut.
Menurut
Syamsuddin, ada beberapa keuntungan ganda yang pembudidaya dapatkan dari
penerapan konsep wanamina ini : Pertama : jika dibanding teknologi intensif,
maka budidaya dg konsep ini lebih terjamin keberlanjutannya walaupun
produktivitas jauh lbh kecil; kedua : daya dukung lahan lebih terjaga karena memegang
prinsip ramah lingkungan; ketiga : produk yang dihasilkan lebih aman karena
tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik); keempat : mampu
menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina), dan UMKM
untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup).
Pemerintah
perlu memberikan pemahaman untuk terus mendorong berkembangnya konsep silvofishery daerah lain, karena konsep
inilah yang secara nyata mampu menjamin keberlanjutan usaha budidaya karena
secara langsung memegang prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal.
Rujukan
Bengen, D.G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
(1)
Petunjuk Teknis
Model Percontohan Tambak Model Silvofishery dengan Penerapan BMPs. umegajayaakuakultur.blogspot.com.
Diakses pada Tanggal 15 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar