“TAMBAK ESTATE”, UPAYA PERCEPATAN
REVITALISASI
(sebuah
referensi kebijakan yang butuh sinergisitas)
Indonesia
saat ini dihadapkan pada sebuah tantangan besar yaitu dalam menghadapi
persaingan perdagangan bebas di level regional ASEAN atau Asean Economic Community (AEC). AEC memberikan kebebasan terkait
arus bisnis untuk masuk ke Indonesia begitupun sebaliknya. Mempertimbangkan hal
tersebut, sub sektor perikanan
budidaya sebagai barometer utama pembangunan
perikanan nasional didorong untuk mampu
bersaing pada tataran perdagangan global, yaitu melalui peningkatan jaminan
mutu dan keamanan pangan (food safety).
Udang
sebagai komoditas unggulan ekspor perikanan Indonesia keberadaannya menjadi
sangat strategis dalam menopang perekonomian nasional melalui penciptaan devisa
Negara, sehingga bisnis perudangan nasional perlu terus didorong secara
berkelanjutan. Sebagai gambaran nilai ekspor udang nasional Tahun 2011 mencapai
1.039 milyar US Dolar, angka yang cukup besar dalam memberikan kontribusi
terhadap PDB nasional. Fenomena merebaknya penyakit EMS (Early Mortality Syndrome) pada beberapa Negara pesaing seperti
Thailand, Vietnam, Malaysia dan Mexico telah memaksa pasar udang dunia
kehilangan suplly sebesar 300.000 ton/tahun. Dari pasar dunia 400.000 ton
disinyalir sisanya akan berkurang karena Negara importer telah memperketat
masuknya produk udang beku yang berasal dari Negara yang terkena wabah EMS.
Dari kenyataan tersebut Indonesia berpeluang menambah produksi hingga 500.000
ton, jika dikompilasi dengan produksi udang Indonesia yang saat ini mencapai
470.000 ton, maka Indonesia berpeluang menggenjot produksi hingga 970.000
ton/tahun. Angka ini akan tercapai jika mampu mengoptimalisasi lahan seluas
60.000 ha (produktivitas 16 ton/ha/tahun). Existing lahan termanfaatkan saat
ini mencapai 24.000 ha, sehingga masih perlu me-revitalisasi sisanya seluas
36.000 ha 1).
Disisi
lain, keberhasilan Indonesia dalam meyakinkan pihak Dewan Perdagangan USA
ditandai dengan telah dicabunya CVD (Countervailling
Duties) atas tuduhan subsidi, dimana
Indonesia dinyatakan Deminise karena
subsidi kurang dari 2% yaitu dengan Nilai 0,23%, secara langsung mampu menambah
nilai positif atas daya saing udang nasional di tataran perdagangan dunia.
Melemahnya nilai rupiah terhadap dollar USA justru memicu tingginya harga udang
dalam negeri, harga udang ditingkat on farm saat ini mencapai Rp. 105.000,-/kg
untuk size 70. Kondisi ini tentunya menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk
mengisi pundi-pundi devisa Negara dengan menggenjot volume ekspor udang
Indonesia 2).
Percepatan
produksi melalui “Tambak Estate”
Dari
semua fenomena di atas, maka Indonesia harus mampu merebut peluang emas
tersebut dengan berupaya mendorong peningkatan produksi udang melalui kebijakan
opearsional yang bersifat strategis yang secara langsung berdampak pada
percepatan peningkatan produksi udang secara signifikan. Bicara industrialisasi
udang , maka tidak bisa lepas dari peran private
sector, untuk itu Ditjen Perikanan
Budidaya akan menarik peran swasta dalam upaya me-revitalisasi tambak idle
maupun dalam mencetak tambak baru yaitu melalui konsep yang dikenal “Tambak
Estate”. Konseptor “tambak estate” Ir. Coco Kokarkin, M.Sc yang juga Direktur
Produksi Ditjen Perikanan Budidaya menyampaikan bahwa beberapa masalah yang
saat ini menghambat peningkatan produksi udang nasional antara lain belum
cukupnya dukungan terhadap kemudahan finansial ; Kurangnya Keberanian
re-investasi (sekitar 20%); kurangnya optimalisasi pemanfaatan lahan;
keterbatasan SDM teknisi baik kualitas maupun kuantitas, dan organisasi
petambak tradisional yang masih buruk. Sehingga menurut Coco, konsep “tambak
estate” merupakan solusi dalam upaya memecahkan permasalahan tersebut khususnya
dalam percepatan re-vitalisasi tambak udang nasional, terlebih saat ini harga
udang vaname mencapai titik tertinggi sepanjang sejarang perudangan nasional.
Konsep
“tambak estate” merupakan sebuah pola manajemen pengelolaan lahan tambak yang
melibatkan beberapa private sector yang tergabung dalam sebuah
manajemen bersama berdasarkan kesepakatan kerjasama. Ada 3 (tiga) pelaku utama
yang berinvestasi dalam konsep ini, antara lain : (1) investor sebagai pengembang
fisik (rehabilitasi tambak); (2) penyedia benih, Pakan, dan teknisi; (3) investasi
operasional dalam bentuk holding campany, dalam hal ini masyarakat juga
berkesempatan untuk berinvestasi melalui pembelian saham.
Sebagai
ilustrasi, dari target produksi sebesar 12 ton/ha/siklus (2,5 bulan), dengan
asumsi harga udang senilai Rp. 105.000,-/kg (size 70), dan biaya produksi
sekitar Rp.42.000/kg, maka keuntungan bersih per hektar pada bisnis ini mampu
mencapai Rp. 756.000.000,-/siklus (2,5 bulan) atau Rp. 2.280.000.000.-/tahun.
Berdasarkan ilustrasi sharing saham,
maka nilai ini masing-masing sebesar < 30% untuk pengembang fisik; >21%
untuk penyedia pakan, benih dan teknisi; dan investasi operasional 49%.
Nilai
yang sangat menggiurkan, dan diharapkan mampu menarik minat private sector untuk berinvestasi dalam bisnis perudangan nasional. Ditjen
Perikanan Budidaya dalam hal ini berperan sebagai regulator dan fasilitator
dalam memberikan kemudahan akses bagi pelaksanaan konsep “tambak estate” ini.
Langkah awal yang akan dilakukan adalah melakukan inventarisasi potensi
lahan-lahan tambak idle di Indonesia, tidak terkecuali lahan-lahan tambak milik
Pemerintah.
Dalam rangka pengendalian terhadap manajemen pengelolaan usaha budidaya udang di masyarakat serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia para pembudidaya dan teknisi, maka perlu ada upaya dalam membangun sebuah pola pembinaan yang terkontrol pada seluruh tahapan proses produksi. Untuk itu Ditjen Perikananan Budidaya bekerjasama dengan Shrimp Club Indonesia (SCI) dan pihak terkait lainnya akan menerapkan pusat manajemen udang (Shrimp Management Center) di sentral-sentral produksi. Melalui penerapan SMC maka diharapkan manajemen budidaya udang semakin baik termasuk jaminan mutu dan foodsafety yang menjadi persyaratan mutlak negara-negara importer khususnya Uni Eropa, sehingga mampu berdaya saing pada tataran perdagangan global
Dalam rangka pengendalian terhadap manajemen pengelolaan usaha budidaya udang di masyarakat serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia para pembudidaya dan teknisi, maka perlu ada upaya dalam membangun sebuah pola pembinaan yang terkontrol pada seluruh tahapan proses produksi. Untuk itu Ditjen Perikananan Budidaya bekerjasama dengan Shrimp Club Indonesia (SCI) dan pihak terkait lainnya akan menerapkan pusat manajemen udang (Shrimp Management Center) di sentral-sentral produksi. Melalui penerapan SMC maka diharapkan manajemen budidaya udang semakin baik termasuk jaminan mutu dan foodsafety yang menjadi persyaratan mutlak negara-negara importer khususnya Uni Eropa, sehingga mampu berdaya saing pada tataran perdagangan global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar