(Membangun tanggungjawab moral,.
CBIB harusnya menjadi sebuah kebutuhan)
Selama hampir 3 (tiga) dekade (antara Tahun 1970
s/d 1998) bisnis perudangan Indonesia telah mampu menyihir minat para pelaku
usaha untuk menggelontorkan investasi dengan nilai yang sangat besar, tujuannya
tiada lain untuk melakukan spekulasi bisnis pada usaha ini. Tengok saja, hampir
di seluruh kawasan pesisir di
Indonesia terhampar luas lahan pertambakan udang
sebagai ladang untuk mendulang dollar.
Memang sudah bukan rahasia umum pada saat itu si
bongkok begitu julukan bagi udang windu (Penaeus
monodon) telah menjadi primadona dan
menjadi barang berharga di kalangan masyarakat. Betapa tidak, kala itu udang
windu hampir menyamai rekor daya tarik kemilau emas di mata pelaku usaha
budidaya. Tingginya permintaan ekspor udang ke berbagai negara khususnya Jepang
dan Uni Eropa serta trend harga yang
terus melangit, memicu para pelaku usaha budidaya untuk menggenjot produksi
sebesar-besarnya.
Ironisnya, Kejayaan udang windu yang sempat
memenuhi pundi-pundi devisa negara selama beberapa dekade tersebut ternyata
menyisakan masalah berkepanjangan. Tidak adanya kontrol terhadap pengelolaan
proses produksi budidaya serta aktivitas budidaya yang mengabaikan nilai
lestari telah nyata menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan budidaya dan
merupakan faktor utama penyebab munculnya hama penyakit pada udang windu.
Klimaksnya, mulai Tahun 1998 pamor udang windu
yang sempat menghiasi bisnis perudangan nasional, sejak tahun 1998 mulai
meredup dan bahkan mengalami titik kritis. Penyebabnya tiada lain adalah
munculnya wabah penyakit white spot
yang disebabkan oleh virus WSSV (white
spot syndrome virus). Wabah
virus WSSV secara cepat mempengaruhi penurunan produksi udang windu di
Indonesia. Menurut Lighter (2011), menyebutkan bahwa nilai kerugian usaha
budidaya udang dunia akibat penyakit white spot (virus WSSV) pada Tahun 2009
mencapai angka US$ 15 billion, nilai yang sangat besar tentunya.
Kegagalan budidaya udang windu, memicu adanya
kebijakan untuk melakukan importasi induk udang dari negara lain, dimana Tahun
2001 introduksi udang vanname (Litopenaeus
vanname) dari Hawaii membawa angin
segar pada bisnis perudangan nasional. Vanname dinilai mempunyai keunggulan
dibanding windu antara lain : lebih tahan terhadap penyakit; dan masa
pemeliharaan yang relatif cepat. Pertimbangan itu pula, masyarakat mulai
ramai-ramai untuk melirik primadona baru tersebut, puncaknya usaha budidaya
udang vanname telah menjadi trend
baru dikalangan masyarakat pembudidaya.
Namun ,harapan baru tersebut mulai terancam,
betapa tidak vanname yang diunggulkan tahan terhadap WSSV ternyata memicu
munculnya jenis virus baru. TSV (Taura
Syndrome Virus) teridentifikasi menginfeksi udang vannmae dan berpotensi
mengancam kegiatan usaha budidaya udang vanname. Disamping virus diatas,
beberapa jenis virus lain perlu diwaspadai karena setiap saat akan mengancam
keberhasilan budidaya udang.
Kunci utama dalam pengendalian hama dan penyakit
adalah melalui penerapan biosecurity
yang menjadi salah satu bagian dari prinsip CBIB disamping aspek keamanan
pangan (food safety) dan ramah lingkungan (eviromental
friendly). Keamanan biologi atau
lebih dikenal dengan Biosecurity
merupakan upaya mencegah atau mengurangi peluang masuknya penyakit ke suatu
sistem budidaya dan mencegah penyebaran dari satu tempat ke tempat lain yang
masih bebas. Namun demikian secara umum
pada kenyataannya prinsip biosecurity
belum sepenuhnya diterapkan pada kegiatan budidaya udang 1).
Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan
pola manajemen budidaya udang yang dilakukan di negara lain misalnya saja
Thailand, dimana prinsip biosecurity
menjadi pertimbangan utama sebagai penentu keberhasilan budidaya udang.
Pembudidaya seringkali belum menyadari bahwa pengelolaan air bukan hanya
dilakukan pada air yang masuk, namun pengelolaan air buangan budidayapun yang
sangat penting untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit udang terhadap
lokasi budidaya disekitarnya. Mempertimbangkan fenomena di atas maka “social
awareness” perlu ditanamkan terhadap para pembudidaya, sehingga ada
komitmen dan tanggungjawab bersama dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan
masuknya hama dan penyakit serta kemungkinan dampak penyebaran terhadap
lingkungan budidaya disekitarnya.
Pentingnya penerapan prinsip CBIB dalam proses
produksi budidaya sebagai bagian upaya pengendalian hama dan penyakit udang
harus ditanamkan pada pembudidaya. Hasil indentifikasi permasalahan pada
kawasan budidaya udang yang dilakukan BBPBAP Jepara, terdapat beberapa
faktor yang diduga sebagai penyebab
munculnya penyakit sehingga menyebabkan
kegagalan panen antara lain: 1)
Kualitas benih yang rendah dan sudah
terinfeksi penyakit virus; 2)
Kondisi Lingkungan tempat budidaya meliputi
sumber air berkualitas rendah
dan terkontaminasi oleh pathogen
penyebab penyakit dan 3) Pengelolaan lingkungan tambak selama pemeliharan yang kurang baik menyebabkan
kualitas lingkungan rendah dan terjadi
fluktuasi kualitas lingkungan yang luas
selama proses pemeliharaan menyebabkan udang mengalami stress sehingga kondisi
udang melemah, yang pada akhirnya mudah
terserang penyakit 2).
Berdasarkan
permasalahan, maka perlu ada upaya antisipasi dini pencegahan penyakit dalam
budidaya udang. Salah satu konsep yang saat ini telah diterapkan adalah melalui
penerapan CBIB secara konsisten dalam semua tahapan proses produksi budidaya.
Mendorong
CBIB Sebagai suatu kebutuhan,..
Seiring
dengan mulai meningkatnya kesadaran masyarakat konsumen global terhadap
pentingnya jaminan keamanan pangan (food
safety), maka sudah menjadi tuntutan dan persyaratan mutlak bahwa setiap
aktivitas usaha yang menghasilkan produk makanan (food grade) harus terjamin baik mutu maupun keamanannya, tidak
terkecuali bagi produk Perikanan yang saat ini telah menjadi produk primer dan
berperan penting dalam menopang ketahanan pangan dunia. Keterjaminan mutu dan
keamanan pangan hasil produksi perikanan tersebut harus mulai diterapkan mulai
dari hulu sampai hilir sebagai bagian integral dari sistim jaminan mutu dan
keamanan pangan.
Pola
pikir klasik yang mendasari minimnya kesadaran masyarakat baik pembudidaya
maupun konsumen di Indonesia terhadap pentingnya jaminan mutu dan keamanan
pangan hasil perikanan budidaya menjadi salah satu penyebab minimnya pencapaian
sertifiksi CBIB. Pola manajemen budidaya yang sehat dan aman, seringkali masih
diabaikan oleh pelaku budidaya khususnya pada unit usaha dengan komoditas non
ekspor, hal ini disebabkan masih ada anggapan bahwa dampak CBIB belum bisa
memberikan nilai tambah maupun posisi tawar bagi produk yang dihasilkan, toh,
produk hasil budidaya masih diterima di pasar lokal dengan harga yang sama.
Disisi lain konsumen lokal seringkali juga tidak peduli dengan
mutu dan keamanan produk karena lebih mempertimbangkan harga dibanding mutu.
Hal inilah yang menjadikan Pemerintah harus lebih bekerja ekstra keras dalam
upaya melakukan sosialisasi dan pembinaan bukan hanya terhadap pembudidaya tapi
juga terhadap konsumen.
Kesadaran
dan tanggungjawab masyarakat terhadap jaminan mutu dan keamanan pangan harus
mulai ditanamkan sedini mungkin terhadap pelaku usaha budidaya, pelaku
bisnis/industri dan masyarakat konsumen bukan hanya pada komoditas ekspor
tetapi juga terhadap komoditas non ekspor (lokal), sehingga CBIB kedepan bukan
hanya sebatas prasyarat administrasi tapi harus sudah menjadi sebuah kebutuhan pada
tataran masyarakat pembudidaya.
Pemberian insentif dari Pemerintah dalam bentuk dukungan materi justru
hanya bersifat instan dan tidak mendidik, insentif akan berjalan dengan
sendirinya antara produsen dan konsumen jika sudah terbangun kesadaran bersama.
Ke depan seiring dengan pengaruh perubahan paradigma pola pikir masyarakat
konsumen yang semula berorientasi terhadap harga produk murah menjadi produk
yang berbasis mutu dan aman, maka CBIB akan menjadi pra syarat multak dan ini harus diberikan
pemahaman terhadap masyarakat khususnya pembudidaya.
Program gemar makan ikan hendaknya didorong dengan memberikan pemahaman
terhadap pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan terhadap konsumen,
sehingga sosialisasi dan pembinaan seyogyanya bisa melibatkan lintas sektoral
khususnya yang membidangi perdagangan, dan kesehatan.
Disamping
itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan reward dan punishment
dari Pemerintah dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat konsumen harus
segera diimplementasikan secara konsisten. Kita punya regulasi yaitu Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012,
namun diakui masih mandul dalam tataran implementasi. Tanggungjawab moral terkait jaminan mutu dan keamanan pangan harus
diimbangi oleh konsistensi penerapan regulasi, sehingga akan terbangun
tanggungjawab bersifat timbal balik dari stakeholders
pelaku usaha perikanan antara produsen dan konsumen.
Kondisi ini tentunya berbeda dengan negara maju semisal Jepang,
bahwa tingkat kesadaran terhadap mutu dan keamanan pangan produk perikanan
telah melekat pada masyarakat bukan hanya terhadap produsen tetapi pada tataran
konsumen. Tanggungjawab dan kontrol terhadap mutu dan keamanan suatu produk
telah mampu dilakukan secara ketat dan mandiri, sehingga pemerintah hanya
bersifat sebagai kontrol bukan pengendali secara langsung. Terhadap suatu
kejadian/kasus keamanan pangan, pemerintah ataupun lembaga akan dengan mudah
dan cepat menemukan sumbernya, karena jaminan treacibility yang sangat baik pada seluruh tahapan proses produksi
mulai di hulu sampai di hilir, disamping itu penerapan reward dan punishment
dilakukan secara konsisten.
Mungkin Indonesia perlu membentuk sebuah lembaga independen atau
semi Pemerintah sebagai upaya melakukan control terhadap jaminan mutu dan
keamanan pangan, sebagaimana halnya yang dilakukan di Jepang.
Antisipasi
Dini Penyakit melalui Analisis Resiko Impor (Import Risk Analysis)
Penurunan produksi udang pada kenyataannya lebih
disebabkan oleh kegagalan produksi sebagai akibat akibat serangan virus,
dimana sumbernya dapat berasal dari
udang impor. Importasi udang dan produknya dari negara lain memberikan
kemungkinan penyakit udang untuk masuk ke Indonesia, hal ini dapat mempengaruhi
kesehatan dan berdampak terhadap kegagalan produksi udang nasional yang pada giliranya
dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat pembudidaya.
Analisa Resiko Impor (Import Risk Analysis) untuk komoditas udang baik dalam bentuk
induk, benih maupun produk dimaksudkan untuk menilai resiko terbawanya hama
penyakit udang ke Indonesia dikaitkan dengan importasi secara objektif dan
transparan sehingga tindakan kesehatan ikan dapat dijustifikasi secara alamiah.
Perjanjian WTO (World Trade Organization)
mengenai tindakan Sanitary and
Phystosanitary (SPS agreement)
mengakui secara sah penerapan tindakan-tindakan yang ditempuh suatu negara
untuk melindungi manusia dan hewan terhadap resiko masuknya penyakit 3).
Analisis Resiko Impor dapat diberlakukan terhadap
negara anggota OIE (Office
International des Epizooties) atau Badan Kesehatan Hewan Dunia, yaitu meliputi a) jenis atau strain/varietas ikan baru; b)
produk perikanan baru; c) jenis ikan berbahaya; d) ikan dan produk perikanan dari negara asal yang
memiliki penyakit baru; e) ikan dan
produk perikanan dari negara asal yang sedang terkena wabah; f) pertama kali
masuk dari suatu negara. Sedangkan bagi negara yang bukan anggota OIE larangan
impor dapat diberlakukan terhadap semua produk 4).
Harapan itu masih ada dan kian terbuka,..
Lika-liku perkembangan usaha budidaya udang
dengan segenap kompleksitas permasalahan yang mendera pada kenyataannya telah
memberikan pelajaran berharga kepada kita stakeholders
bahwa semua itu terletak pada kurang pedulinya pelaku usaha budidaya terhadap
manajemen budidaya yang lestari dan berkelanjutan. Peningkatan produksi secara
besar-besaran akan memicu masalah baru jika pengelolaan budidaya tidak
memperhatikan daya dukung dan kelestarian lingkungan.
Ya, mungkin kita harus berlapang dada untuk
kembali menuruti pribahasa bahwa “Kegagalan adalah Pengalaman Berharga”.
Konkritnya saat ini bagaimana kegagalan
dimasa lalu tersebut tidak menjadi preseden buruk dan terulang pada saat ini
dan yang akan datang melalui upaya kerja keras dalam melakukan perubahan secara
signifikan melalui penerapan pola manajemen budidaya berkelanjutan (Sustainable Aquaculture).
Pembinaan
dan sosialisasi pentingnya penerapan teknologi anjuran berbasis CBIB perlu
terus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan bukan hanya sebagai
tanggungjawab Pemerintah melainkan stakeholders
lain dapat secara langsung terlibat dalam upaya yang sama. Peran pembinaan harus harus
secara langsung
menumbuh kembangkan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) yang mampu menerapkan
standar dan teknologi anjuran untuk menghasilkan produk perikanan budidaya yang
berdaya saing.
Komitmen dan konsistensi pelaku usaha budidaya
dalam menerapkan prinsip-prinsip CBIB dalam semua tahapan proses produksi
mutlak perlu ditanamkan dan diimplementasikan secara nyata, jika tidak ingin
masuk ke lubang yang sama,.. saatnya menatap masa depan bisnis perudangan yang
lebih baik,.. Semoga..
Rujukan
:
(1)
Kebijakan Sistem
Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan. Makalah Prensentasi disampaikan pada
Pelatihan Auditor CBIB di Bandung. Direktorat Produksi DJPB. Tahun 2012
(2)
Makalah Presentasi Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada Temu Lapang Budidaya Air
Payau di Kendal Tahun 2011
(3)
Kesepakatan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Sanitari dan Fitosanitar. www.daff.gov.au.
Diakses Tanggal 25 Oktober 2012
(4)
Analisa Resiko
Impor Produk Hewan. tatavetblog.blogspot.com/2010. Diakses Tanggal 25
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar