MENGURAI BENANG KUSUT
BISNIS RUMPUT LAUT NASIONAL
(Sebuah
penantian : “keseriusan untuk berbenah”)
Sudah
tidak dapat dipungkiri lagi tumbuhan laut (makro alga) yang satu ini telah
menjadi primadona pada tataran perdagangan global. Rumput laut dengan berbagai
manfaatnya dapat diolah menjadi begitu banyak varian hasil olahan,
baik yang
merupakan bahan baku utama maupun sebagai bahan baku tambahan (bahan emulsi)
pada beberapa produk dari industrial
grade, farmaeutical grade dan food grade. Dan faktanya, rumput laut
tersebut mampu tumbuh subur di perairan Indonesia dimana diperkirakan lebih
dari 500 jenis rumput laut tersebar di perairan Indonesia.
Dari
sisi produksi, Indonesia telah mampu mengungguli Philipina sebagai produsen
rumput laut Eucheuma cottoni hasil
budidaya terbesar dunia. Data capaian produksi rumput laut nasional tahun 2012
sebesar 6.201.400 ton, dan mampu melampaui target capaian produksi pada tahun
yang sama sebesar 21,6% dari target yang diproyeksikan sebesar 5.100.000 ton
atau menguasai 60% terhadap share produksi
perikanan budidaya nasional. Merujuk
pada data FAO, bahwa pada tahun 2011 Indonesia merupakan produsen rumput laut
untuk jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria terbesar di dunia dengan
memberikan share masing-masing untuk E. cottoni sebesar (98,2%) dan Gracillaria sebesar (90,5%) terhadap
produksi rumput laut dunia (sumber
: Fishstat FAO, Maret 2013).
Produksi rumput laut dunia sebesar masing-masing untuk jenis E. cottonii : 4.623.754 ton dan Gracillaria 697.240 ton 1).
Kinerja
positif tersebut di atas bukan hal yang mencengangkan mengingat jika dikaitkan
dengan potensi yang ada Indonesia bukan tidak mustahil mampu menghasilkan
produksi yang lebih besar lagi.
Terlepas
dari capaian kinerja positif di sektor hulu (on farm), sebenarnya ada hal lain yang justru menjadi batu
sandungan dan bahkan cukup ironis. Faktanya, capaian produksi yang maksimal
tadi, justru belum mampu menciptakan nilai tambah yang seharusnya dirasakan
oleh pelaku usaha khususnya pembudidaya. Fakta lain, ternyata dari total
produksi rumput laut nasional tersebut, lebih dari 80% diekspor dalam bentuk raw material yang justru nilai tambah
produk hanya dirasakan oleh Negara-negara importir seperti China dan hanya 20%
saja yang diolah pada industri nasional.
Kondisi
ini berimbas pada stabilitas harga yang fluktuatif, karena secara umum harga
dikendalikan oleh pihak eksportir sehingga tidak mampu memberikan nilai tambah
di tingkat pembudidaya dan industri nasional cenderung sulit bersaing. Yang
lebih ironis lagi, ternyata industri nasional sebagian besar masih mengimpor
produk Refine Carageenan (RC) dari
Negara lain sekitar 1.250 ton/tahun untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Pada
saat pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor raw material, ternyata direspon negatif
oleh negara importir khususnya China yang mengancam akan melirik pasar bahan
baku lain di luar Indonesia, disisi lain dampak ini akan merugikan masyarakat
pembudidaya, karena faktanya industri nasional belum siap melakukan penyerapan
produk bahan baku. Inilah, yang membuat kita prihatin, Indonesia sebagai
produsen rumput laut ternyata harus disetir oleh para negara importir, dimana
mestinya Indonesia mampu berdaulat dengan menjadi kiblat industri rumput laut
dunia.
Dari
sekian fakta di atas, tentunya dapat diambil kesimpulan, bahwa siklus bisnis
rumput laut di Indonesia memang masih dihadapkan pada masalah-masalah yang
kompleks. Penulis mencoba untuk mengurai benang merah, kenapa siklus bisnis
rumput laut ini sulit berkembang dan belum memberikan nilai tambah signifikan
bagi para pelaku usaha.
Pertama,
pada zona hulu, antara lain produksi yang masih belum stabil pada beberapa
daerah yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan perairan yang fluktuatif,
degradasi kualitas bibit, dan konflik kepentingan berkaitan dengan pemanfaatan
ruang perairan. Kondisi ini tentunya perlu ditindaklanjuti dengan meningkatkan
peran riset dan perekayasaan untuk menghasilkan bibit unggul/berkualitas dan
adaftif. Hasil seleksi klon dan kultur jaringan hendaknya harus segera
diaplikasikan secara masal pada sentral-sentral produksi melalui pengembangan
kebun bibit yang dikelola secara efektif.
Fenomena
sering terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang perairan,
hendaknya difasilitasi dengan segera menetapkan regulasi Rencana Tata Ruang
Wilayah Perairan, sehingga kejadian seperti di Bali yang menuntut para
pembudidaya rumput laut terpaksa harus beralih profesi/berpindah sebagai akibat
gesekan dengan sektor parawisata tidak akan terjadi lagi. Sinergitas antar
lintas sektoral hendaknya harus segera dibangun untuk menyatukan persepsi,
dimana sebenarnya aktivitas budidaya bisa disinergikan dengan aktivitas wisata,
misalnya melalui Program “Wisata Mina”.
Kedua,
pada zona antara, penulis menilai biangkerok kurang berjalannya siklus bisnis
rumput laut adalah karena masih amburadulnya pola tata niaga termasuk rantai
pasok (suplly chain) ditingkat bawah
(zona I pembudidaya dan zona II pengepul/tengkulak), sehingga mempengaruhi
rantai nilai (value chain). Sayangnya
kondisi ini selalu luput dari perhatian kita dan masih menganggap sebagai micro problem padahal sebenarnya inilah titik tolak permasalahan siklus bisnis
rumput laut.
Kita
masih terfokus pada penyelesaiaan masalah-masalah makro. Betapa tidak, pada
satu kawasan saja, peran spekulan masih mendominasi, berapa banyak peran
pengepul yang belum tertata dengan baik, berapa banyak ketergantungan
pembudidaya terhadap tengkulak sehingga terjadi monopoli pasar. Permasalahan
tata niaga dan suplly chain yang
terjadi di zona ini jika dibiarkan sudah otomatis akan mempengaruhi stabilitas
harga, jaminan mutu dan kontiyuitas produk, imbasnya tentu nilai tambah tidak
akan mampu dirasakan masyarakat pembudidaya, disisi lain industri nasional
tidak akan mampu berkembang dengan baik.
Melihat
permasalahan di atas, maka hendaknya pemerintah (pusat dan daerah) segera
memetakan permasalahan tata niaga dan suplly
chain pada setiap kawasan/sentral produksi untuk kemudian menyusun regulasi
dalam penataan pola tata niaga.
Ketiga,
masih belum terbangunnya kelembagaan yang kuat baik kelembagaan kelompok maupun
kelembagaan penunjang. Faktanya, secara umum disetiap sentral produksi budidaya
masih belum terbangun kelembagaan yang kuat atau bahkan belum terbentuk
kelembagaan. Padahal, kelembagaan tersebut menjadi bagian yang sangat penting
dalam membuka kran pengembangan kemitraan usaha, sehingga akan lebih mudah
dalam mendapatkan akses produksi, informasi teknologi, informasi pasar/harga
yang berimbang dan permodalan. Jika ini sudah terbangun dengan baik, maka optimis
siklus usaha akan berjalan dengan baik. Contoh, peran koperasi Kopermindo di
Makassar Sulawesi Selatan yang telah secara nyata mampu membangun iklim usaha
yang positif, patut menjadi referensi positif bagi kawasan lain di Indonesia.
Keempat,
penerapan standar teknologi budidaya dan standar mutu produk secara konsisten
melalui peran pembinaan kepada pelaku usaha rumput laut. Membangun
tanggungjawab sadar “Mutu” sudah seharusnya ditanamkan baik pada pembudidaya
maupun pelaku usaha lain. Tanggungjawab dan kesadaran akan terbangun jika kedua
belah pihak (hulu-hilir) sama-sama mempunyai tanggungjawab moral dan adanya
umpan balik yang positif, sehingga lagi-lagi penguatan kelembagaan dan
kemitraan usaha menjadi bagian penting dalam menciptakan hubungan mutualisme.
Pemerintah
sudah seharusnya mengeluarkan kebijakan wajib standar bagi produk rumput laut.
Persyaratan ekspor yang dikeluarkan China terkait Health Certificate bagi rumput laut memberikan dampak positif bagi
terbangunnya kesadaran terhadap pentingnya standar mutu dan keamanan pangan (food safety). Gerakan sadar SNI harus
segera diaplikasikan terhadap semua stakeholders
rumput laut.
Kelima,
belum terbangunnya rantai nilai (value
chain), faktanya masyarakat pembudidaya belum merasakan nilai tambah, yang
seharusnya sebenarnya mereka pantas mendapatkannya. Konsep, pengembangan unit
pengolahan pada sentral-sentral produksi hendaknya diimbangi ketersediaan market oriented yang sudah pasti,
standar mutu produk yang diinginkan pasar, SDM pengelola dan dukungan manajemen
pengelolaan yang baik. Kondisi tidak berjalannya unit pengolahan yang telah
dibangun, adalah sebagai akibat dari belum terpenuhinya persyaratan dimaksud.
Pemerintah
sebenarnya tinggal memfasilitasi dan mengadvokasi kemungkinan terbangunnya
kemitraaan usaha antara pembudidaya dengan industri tanpa harus membangun unit
pengolahan yang dibangun sendiri pemerintah. Intinya, biarkan peran di hilir
(pengolahan) dikendalikan oleh pihak swasta, dimana pemerintah tinggal
mengawasi dan memfasilitasi terhadap pengembangan industri rumput nasional.
Dalam
mewujudkan Indonesia sebagai kiblat industri rumput laut dunia, maka pemerintah
harus berupaya menarik investor untuk membangun industri rumput laut di
Indonesia, disisi lain menarik minat importir utama semisal China untuk
membangun perwakilan industri di Indonesia, dimana kebijakan ini tentunya juga
dengan mendorong berkembangnnya industri nasional yang telah ada. Sudah mulai
diterapkannya konsep “Resi Gudang Rumput Laut” sudah seharusnya diiplementasikan
secara konsisten pada seluruh kawasan/sentra produksi.
Keenam,
belum terbangunnya sinergitas. Lagi-lagi ini menjadi penyakit kronis yang
menjadi penyebab implementasi kebijakan menjadi mandeg. Sebagaimana amanat Wakil
Presiden Budiono untuk fokus menjadikan rumput laut sebagai komoditas unggulan
nasional yang berpotensi besar menggerakan ekonomi nasional, telah
ditindaklanjuti melalui penandatanganan nota kesepahaman antara 6 (enam)
Kementerian/Lembaga melalui pembentukan Pokja Rumput Laut. Namun tidak dapat
dipungkiri kinerja inipun masih belum cukup maksimal, lagi-lagi masalahnya
adalah sinergitas lintas sektoral yang belum terbangun dengan baik.
Masih
terjadinya tumpang tindih peran pada masing-masing lintas sektoral menjadikan
implementasi kebijakan belum berjalan mulus. Penulis menyarankan hendaknya,
membuat dan menetapkan road map dan action plan rumput laut dalam skala
Nasional sebagai acuan pelaksanaan kebijakan, sehingga masing-masing sektoral
akan fokus pada perannya masing-masing dengan tetap membangun koordinasi.
Keenam
masalah di atas bagi penulis merupakan masalah utama penyebab siklus aquabisnis
rumput laut Indonesia tidak berjalan berkesinambungan, sehingga harus segera
dicarikan solusi dan ditindaklanjuti secara konsisten. Kedepan, kebutuhan dunia
akan rumput laut diprediksi akan semakin meningkat, sehingga Indonesia harus
bersiap diri, bukan hanya sebagai pemasok bahan baku, namun menjadi pengendali
perdagangan rumput laut dunia karena telah mampu mandiri dan berdaulat sebagai
kiblat rumput laut dunia. Bukan mustahil ini akan terwujud selama ada kemauan,
tanggungjawab dan kerjasama sinergi dari semua pihak.
Terakhir, ada fenomena menarik apa yang disampaikan seorang
pakar/peneliti bahwa sejak tahun 2003 China memang telah melihat Indonesia
sebagai ladang sumberdaya rumput laut, sehingga kala itu mereka melakukan
kerjasama untuk melakukan riset terhadap nilai guna rumput laut bagi beberapa end product.
Hasilnya China telah mampu
mengaplikasikan hasil riset tersebut untuk menghasilkan beragam jenis end product berbasis rumput laut,
hebatnya lagi mereka telah melihat pangsa pasar dalam negeri yang begitu besar,
sehingga nilai tambah produk benar-benar dirasakan.
Lalu, Indonesia lagi-lagi hanya sebagai ladang, inilah yang kita
prihatinkan bahwa pada kenyataanya riset menjadi hal yang masih dikesampingkan
padahal itu kunci bagi percepatan pergerakan ekonomi suatu Negara. Kita masih
punya lebih dari 500 jenis rumput laut yang harus segera kita manfaatkan nilai
gunanya dengan sumberdaya serta pangsa pasar yang besar, jika tidak, maka kita
akan kecolongan si emas hijau ini.
Rujukan
(1)Data Produksi Rumput Laut Dunia Tahun 2011. FAO. Dirilis bulan
Maret Tahun 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar