Implementasi Akuakultur Berkelanjutan
Oleh :
Cocon, S.Pi*
Sebagian
besar insan akuakultur pasti tidak asing lagi jika mendengar istilah perikanan
budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Istilah tersebut bahkan
hampir disetiap kesempatan seringkali digaungkan, walaupun mungkin sebenarnya
tidak sedikit diantara kita yang justru tidak tahu apa makna dari prinsip sustainability. Kita seringkali salah
kaprah dalam memakani prinsip sustainable
aquaculture, dengan seringkali menyamakan makna keberlanjutan (sustainability) dengan keberlangsungan (continuity). Padahal istilah keberlanjutan dengan keberlangsungan
merupakan dua makna dalam konteks yang berbeda. Keberlanjutan lebih
mengedepankan aspek lingkungan, sedangkan makna keberlangsungan lebih
mengedapkan aspek bisnis. Kesalahan persepsi inilah, sehingga dalam
implementasinya kegiatan usaha budidaya seringkali hanya mempertimbangkan
faktor ekonomi semata.
Dalam
sejarah perkembangan pola pendekatan pembangun pada negara-negara di dunia, kita
bisa lihat sejak deklarasi stockholm tahun
1972, bahwa mulai ada pergeseran paradigma pola pengelolaan sumberdaya alam
dari semula bersifat anthropo-centris menjadi eco-centris yaitu dengan
melahirkan sebuah konsep pendekatan yang dinamakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip inilah
yang kemudian diadosi pada berbagai sektor baik yang berbasis sumberdaya alam (natural resources) maupun industri (manufacturing).
Dalam
konteks akuakultur, prinsip sustainability
harus dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumberdaya akuakultur secara
bertanggungjawab dengan tetap menjamin kualitas lingkungan dan upaya konservasi
sumberaya alam.
Tantangan
Akuakultur di Masa Yang akan datang
Produksi
akuakultur dunia mengalami trend peningkatan yang signifikan. Kita bisa lihat
misalnya data FAO yang merilis bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun
2011 telah mengalami lonjakan produksi dari sebesar 4,73 juta ton pada tahun
2006 menjadi 63,6 juta ton pada 2011, disatu sisi dalam kurun waktu yang sama
produksi perikanan tangkap justru menujukkan adanya trend yang konstan (FAO,
2012). Tidak salah jika FAO memprediksi ke depan akuakultur akan menjadi
andalan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat global.
Namun
disisi lain, akuakultur juga dihadapkan pada suatu tantangan besar yaitu
bagaimana memenuhi kebutuhan pangan yang kian meningkat ditengah permasalahan
penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan global. Perubahan iklim dalam
hal ini fenomena pemanasan global (global
warming)) dan berbagai masalah
lingkungan saat ini telah berdampak langsung terhadap penurunan tapak ekologis
(ecologycal footprint) secara signifikan termasuk di dalamnya fenomena
permasalahan yang dihadapi akuakultur, kondisi ini sudah barang tentu akan
berpengaruh besar terhadap perwujudan ketahanan pangan masyarakat global (global food security) yang justru ke
depan akan semakin bergantung pada sumber gizi ikani.
Tantangan
lainnya, sebagaimana dalam buku “Challenging
the Aquaculture Industry on Sustainability”, edisi Maret 2008 yang
diterbitkan Greenpeace International”, justru menyampaikan fakta bahwa industri
akuakultur turut memberikan kontribusi potensi dampak negatif terhadap fenomena
perubahan lingkungan global saat ini. Dampak
negatif tersebut antara lain berkaitan dengan alih fungsi lahan (land conversion), emisi, biodiversity,
pencemaran akibat polutan (nutrien, dan bahan kimia), dan isu lain yang
berkaitan dengan konflik pemanfaatan sumberdaya air.
Apapun
itu, nampaknya fenomena tersebut sudah harus menjadi bahan pertimbangan bagi
titik balik pola pengelolaan akuakultur yang lebih bertanggungjawab. Indonesia
sebagai salah satu penopang terbesar produk akuakultur dunia harus segera
menentukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya antisipasi dini dalam
menghadapi tantangan akuakultur ke depan dengan memperkuat interaksi akuakultur
dengan lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dimensi
lingkungan sebagai dasar Sustainable Aquaculture
Dari
bahasan di atas, sebenarnya muara dari prinsip sustainability adalah pada aspek lingkungan. Artinya, tidak bisa
sebuah pengelolaan usaha budidaya dikatakan berkelanjutan tanpa mempertimbangkan
aspek lingkungan di dalamnya. Dengan
kata lain, lingkungan dimaksud bukan hanya lingkungan yang terfokus pada on farm, tapi lingkungan dalam arti luas
yang berkaitan dengan jaminan keseimbangan siklus alamiah yang membangun sebuah
ekosistem secara keseluruhan.
FAO
Sebagaimana dalam Code of Conduct for
Responsible Aquaculture telah memberikan guiden kepada negara-negara bagaimana melakukan pengelolaan akuakultur
secara bertanggungjawab dengan menjamin kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Merujuk pada apa yang telah diamanatkan dalam FAO-code of conduct di atas, kita dapat
memetakan terkait interaksi antara akuakultur dengan dimensi lingkungan sebagai
salah stu indikator sebuah pengelolaan usaha budidaya bisa dikatakan sustain.
Dalam
konteks dimensi lingkungan, secara umum beberapa indikator sustainability yang patut menjadi bahan acuan pengelolaan
akuakultur yang berkelanjutan adalah sebagai berikut :
Pertama, konversi lahan (land conversion).
Pengembangan
kawasan akuakultur tidak boleh mengorbankan kawasan penyangga, kawasan
konservasi, dan kawasan-kawasan lain yang bersifat vital sebagai penopang
ekosistem secara keseluruhan. Dalam penetapan kawasan budidaya tambak,
misalnya, maka pelaku usaha wajib menyediakan spare minimal 20% dari total lahan potensial untuk kawasan
penyangga (buffer zone), begitupun dengan jenis budidaya
lainnya.
Maraknya
alih fungsi lahan hutan mangrove beberapa dekade yang lalu menjadi lahan pertambakan
secara tak terkendali, pada kenyataannya telah mendegradasi struktur, komposisi
dan fungsi ekosistem yang ada. Kondisi ini pada akhirnya juga menjadi bumerang
bagi aktivitas akuakultur dan menyisakan masalah berkepanjangan hingga saat
ini. Merebaknya hama dan penyakit pada ikan dan udang merupakan bagian mata
rantai sebagai akibat terabaikannya aspek ekologis yang membangun sebuah
ekosistem tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggungjawab para pelaku
usaha sudah seharusnya menyediakan kompensasi jasa lingkungan.
Kedua, daya
dukung dan daya tampung lingkungan. Daya
dukung lingkungan secara umum diartikan sebagai kemampuan lingkungan dalam
menopang/mendukung perikehidupan makluk hidup. Dalam konteks akuakultur, maka
daya dukung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan
ikan secara optimal. Sedangkan daya tampung lingkungan dapat diartikan sebagai
kemampuan lingkungan dalam menerima unsur/materi yang masuk serta kemampuan me-recovery kondisi yang semula tidak
stabil menjadi kembali stabil.
Daya
dukung lingkungan yang baik adalah pada kondisi dimana siklus kehidupan dalam
sebuah ekosistem berjalan dengan normal, sehingga mampu menopang prikehidupan
ikan/udang yang dibudidayakan. Sangat disayangkan, manakala pelaku usaha
budidaya karena termotivasi meraup hasil produksi yanng tinggi lantas melakukan
budidaya tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan yang ada. Kita lihat
misalnya di Pantai Utara Jawa, hasil kajian daya dukung lahan yang dilakukan
jauh sebelumnya menyebutkan bahwa daya dukung lahan hanya sekitar 40% dengan
rekomendasi teknologi maksimal semi intensif, kondisi ini mestinya sejak dini
menjadi bahan acuan pelaku usaha budidaya.
Di
perairan umum berbagai masalah
lingkungan kemudian muncul dan mengakibatkan masalah pada usaha budidaya. Di
waduk Jati Luhur dan Cirata misalnya, kita bisa lihat betapa perairan waduk
tertutup rapat oleh Karamba Jaring Apung yang tak tertata, hampir tak ada space penyangga sama sekali. Hasil
kajian yang telah dilakukan sejak lama menyimpulkan bahwa daya dukung dan daya
tampung lingkungan justru sudah tidak mampu menopang, namun anehnya sampai saat
ini tidak ada pembatasan yang disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung
yang ada. Akibatnya kematian masal ikan terus menerus terjadi.
Dalam
konteks perairan umum ini, maka pengendalian tidak bisa dilakukan secara
parsial, namun harus secara komprehensif, ini mengingat potensi massalah
lingkungan yang terjadi bukan hanya diakibatkan oleh aktivitas akuakultur saja,
tapi dapat bersumber dari limbah
anthropogenik dan industri yang mencemari sepanjang DAS (Daerah Aliran
Sungai). Pendekatan pengelolaan perairan umum seperti waduk Jati Luhur dan
Cirata harus berdasarkan pada pengelolaan yang bersifat eco-region dan bukan hanya menjadi tanggungjawab satu kawasan
administratif saja.
Kita
tidak bisa menampik kenyataan bahwa sebenarnya ada kekhawatiran terkait
implementasi modernisasi teknologi. Input teknologi yang tinggi justru
dikhawatirkan akan memaksa penggunaan input produksi yang besar dan tak
terkontrol. Kekhawatiran beberapa pihak tersebut bukan tanpa alasan, penerapan high density
misalnya, akan memicu penggunaan input pakan dan energi, dimana disatu sisi
belum adanya jaminan pengelolaan limbah yang efektif, atau lebih parah lagi
tidak dilakukannnya kajian daya dukung lingkungan sebelumnya. Kondisi ini sudah
dipastikan akan menimbulkan masalah di kemudiaan hari.
Misalnya
saja, saat ini yang tengah menjadi trending
topic adalah penerapan teknologi supra intensif dengan mengandalkan high density melalui rekayasa lingkungan
dan telah menghasilkan produktivitas yang
mencengangkan > 150 ton/ha, dan konon merupakan teknologi yang
menghasilkan produktifitas tertinggi di dunia. Sontak kita dibuat tercengang
sekaligus terbesit perasaan bangga, sehingga teknologi ini telah banyak
diadopsi di berbagai daerah. Namun pertanyaannya kemudian muncul, sudahkah
sebelumnya dikaji daya dukung lingkungannya? Sudahkan dikaji terkait
efektifitas pengelolaan limbahnya? Akumulasi limbah pakan dikhawatirkan dalam
jangka waktu lama akan melampaui daya tampung lingkungan, sehingga imbasnya
akan berdampak negatif terhadap jalannya siklus yang membangun sebuah
ekosistem. Kesimpulannya, sudahkan teknologi ini dikaji status
keberlanjutannya?
Fenomena
penyakit WFD (White Feces Desease)
yang akhir-akhir ini dihadapi para pelaku budidaya udang patut diyakini bahwa
muara yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut adalah terputusnya mata
rantai siklus yang membangun sebuah ekosistem akibat terabaikannya aspek ekologis
dalam pengelolaan budidaya. Oleh karena itu, kita jangan terjebak hanya pada
upaya penanggulangan penyakitnya saja, tapi lebih dari itu harus lebih didorong
pada upaya preventif dengan melakukan pengelolaan budidaya yang lebih
bertanggungjawab.
Ada
hal menarik, justru beberapa
negara-negara di dunia khususnya di Uni Eropa mulai menggeser paradigma
pengelolaan akuakultur dari berbasis modernisasi teknologi kepada akuakultur yang
berbasis ekosistem. Penerapan IMTA (integrated
Multi Trophic Aquaculture) dan pengelolaan yang berbasis ekosistem lainnya,
sudah semestinya di dorong mulai saat ini. Pemetaan daya dukung lahan pada
sentral produksi dan kawasan potensial menjadi sesuatu yang mutlak untuk segera
dilakukan, sehingga akan memberikan acuan rekomendasi bagi pengelolaan
akuakultur dan tingkatan teknologi yang dapat diterapkan.
Ketiga, proses
domestikasi (domestication). Dalam dunia akuakultur, proses
domestikasi suatu spesies merupakan hal lumrah dan diperlukan. Seiring perkembangan
rekayasa teknologi akuakultur yang sudah sedemikian maju, domestikasi telah memberikan dampak positif
terhadap peningkatan produksi akuakultur saat ini.
Sebagaimana
yang disampaikan IUCN (International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources) bahwa dalam konteks
dimensi lingkungan, maka maka perlu ada semacam guidelines terkait kegiatan domestikasi dimaksud, yaitu : (a) Selective breeding harus didorong
sebagai upaya dalam menghasilkan spesies yang unggul, namun demikian harus
dirancang dalam meminimalisir potensi
dampak terhadap biodiversity; (b) sistem
budidaya harus dirancang sebagai upaya mengurangi pelepasan spesies hasil
rekayasa genetik ke alam liar; (c) pembuatan bank gen dari spesies ikan liar
harus didorong sebagai tempat sumber genetik.
Keempat, pakan
(feed).
Permasalahan
pakan seolah tidak ada habisnya, bayangkan lebih dari 60% dari total cost produksi dikelluarkan untuk biaya
pakan. Isu pakan juga menjadi isu strategis sebagai permasalahan utama dalam
bisnis akuakultur global. Bukan hanya karena merupakan bagian terbesar penyusun
cost produksi, namun disisi lain
dalam konteks lingkungan, ternyata pakan berpotensi cukup besar dalam memberikan
kontribusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.
Bahan
baku pakan khususnya high protein
masih mengandalkan pada tepung ikan yang didapatkan dari hasil tangkapan ikan
laut non ekonomis. Kondisi ini tentunya sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan
food security, terlebih raw material pakan dihasilkan dengan
cara-cara yang tidak sustainable yang
justru mengancam biodiversity.
Pemilihan alternatif subsitusi tepung ikan dengan tepung nabaati misalnya, yang
diberikan untuk komoditas ikan karnivora masih terbentur pada efektifitas dan efesiensi
nilai kecernaan. Hasil kajian menyebutkan bahwa tepung nabati mengandung anti nutrisi
yang justru tidak efektif dan menjadi faktor penghambat untuk pertumbuhan
spesies ikan karnivora.
Terkait
isu bahan baku pakan, maka beberapa rekomendasi yang patut menjadi bahan
perhatian, yaitu : (a) sumber bahan baku pakan harus terjamin aspek
keberlanjutannya, dimana sumber bahan baku pakan tersebut didapatkan dengan
tanpa menggangu ekosistem yang ada. Pada negara-negara eksportir tepung ikan
seperti Chili, sertifikasi sutainability
sumber bahan baku tepung ikan menjadi salah satu persyaratan ekspor. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Ketua Divisi
Pakan Ikan GPMT Denny D. Indradjaja mengatakan impor tepung ikan akan sulit
dihindari selama bahan baku tepung ikan lokal belum mendapat sertifikasi dari
IFFO (International Fishmeal and Fish Oil).
Sertifikasi IFFO merupakan sebuah bentuk legalitas terkait tanggungjjjawab
lingkungan. (sumber : bisnis.com); (b) mendorong penggunaan
pakan melalui manajemen pengelolaan pakan secara efisien; (c) mendorong adanya kajian
terkait alternatif penggunaan bahan baku tepung ikan dan minyak ikan (fish oil) selain yang berasal dari hasil
tangkapan ikan. Salah satu upaya yang patut dijadikan rujukan adalah
memproduksi tepung ikan dari sisa (by
product ) industri pengolahan ikan sebagaimana yang telah dilakukan uji
coba pada beberapa negara di Eropa; (d) dalam upaya mengurangi ketergantungan
pada pakan high protein, maka sudah
saatnya didorong budidaya ikan berbasis pada komoditas low-trophic level (IUCN, 2007); dan (e) mendorong akuakultur
berbasis ekosistem, salah satunya mengintegrasikan aktivitas akuakultur dengan
agrikultur seperti mina-padi dan silvofishery.
Kelima,
potensi pollutan. Industri akuakultur di satu sisi berpotensi dalam
menghasilkan limbah pollutan. Pollutan tersebut berpotensi besar sebagai akibat
dari akumulasi bahan organik. Penggunaan pakan dan bahan organik lain yang
tidak terkontrol (tidak efisien) disinyalir akan mengakibatkkan akumulasi bahan
organik yang justru jika tidak ada penanganan yang efektif, akan mengakibatkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Peningkatan BOD (biologycal oxigen demand) secara signifikan merupakan indikator
terjadinya pencemaran lingkungan. Efektivitas pengelolaan budidaya yang
menerapkan Best management Practices
dan pengelolaan dan pengendalian limbah buangan harus menjadi fokus utama.
Perangkat IPAL (instalansi pengelolaan limbah) yang efektif menjadi syarat
mutlak yang harus ada dalam aktivitas industri akuakultur. Dalam
UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup, usaha
akuakultur menjadi salah satu aktivitas yang diatur dan diwajibkan memiliki
dokumen AMDAL, dan atau UKL-UPL berdasarkan kriteria tingkatan teknologi dan
kapasitas usaha. Potensi pollutan juga dapat berasal dari bahan kimia dan
biologis yang digunakan dalam proses produksi akuakultur, oleh karena itu maka
pengawasan dan kontrol secara intensif terhadap rangkaian proses budidaya
mutlak dilakukan.
Keenam, Emisi
(emission). Fenomena global warming sebagai akibat efek gas rumah kaca, pada
kenyataannya tidak hanya disebabkan oleh aktivitas industri, namun demikian
kontribusi sektor lain dalam hal ini agrikultur dan akuakultur juga memberikan share terhadap perubahan iklim global.
Penggunaan pakan buatan (pabrikan) dan energi fosil merupakan unsur yang
memberikan kontribusi besar pada emisi karbon. Dalam dimensi lingkungan, sebuah
peengelolaan usaha akuakultur yang masih mengandalkan energi fosil belum
dapat dikatakan ramah lingkungan atau sustainable.
Konsep
blue economy memberikan acuan penting
dalam mengggeser paradigma pola pengelolaan sumberdaya alam yang lebih
bertanggungjawab. Namun, tidak jarang kita memaknai konsep ini dalam lingkup
yang sempit yaitu menganggap prinsip blue
economy yang seolah berhenti pada satu rangkaian siklus pengelolaan limbah
buangan saja menjadi input yang bernilai
ekonomi. Prinsip blue economy
sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari prinsip sustainable development, atau sustainable
aquaculture (dalam konteks akuakultur), sebuah konsep pengelolaan yang
bersifat eco-sentris dengan
mengedepankan pengelolaan summberdaya alam
dan lingkungan yang berbasis pada ekosistem.
Ada
hal menarik, hasil carbon tracing terhadap aktivitas budidaya tambak intensif menyebutkkan
bahwa emisi karbon cukup banyak disumbangkan oleh penggunanan energi fosil dan pakan
(terutama pakan pabrikan). Dalam produksi per ton udang vaname dengan teknologi
bioflok (intensif) menghasilkan dampak terhadap lingkungan dalam hal ini global
warming potential (GWP) sebesar 7336,77 ± 1,46 kg CO2eq, dimana nilai tersebut
berasal dari kontribusi penggunaan energi llistrik sebesar 43%, pakan udang 38%
dan sarana produksi 18% (Ma’in, 2013). Berkaitan dengan hal tersebut, maka
startegi yang memungkinkan dilakukan dalam meminimalisir dampak emisi yaitu ; (a) perlu
dilakukan perbaikan manajemen pemberian pakan berbasis kualitas air,dan peningkatan efesiensi pakan; (b) pengurangan
konsumsi energi listrik; dan (c) pengelolaan limbah yang efektif (Ma’in, 2013).
Ketujuh, keanekaragaman
hayati (Biodiversity). Dalam pembahasan IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan) yang digagas Bappenas tahun 2014 yang lalu memberikan arahan kepada
lintas sektoral termasuk sektor Kelautan dan Perikanan untuk turut serta dalam
menjaga keberadaan keanekaragaman hayati. Sub sektor perikanan budidaya
mempunyai peran penting dalam menjamin kelestarian biodiversity salah satunya melalui peran domestikasi dan
pengembangan bioteknologi akuakultur.
Saat
ini, sub sektor perikanan budidaya sudah semestinya didorong bukan hanya pada
komoditas ekonomis penting yang berbasis pada market oriented, namun sudah harus fokus dalam mempertahankan dan
mengembangkan komoditas yang berbasis spesies endemik lokal dan spesies yang
terancam kelestariannya. Disisi lain, bioteknologi akuakultur yang berkaitan dengan
rekayasa genetik harus diantisipasi agar tidak berdampak negatif terhadap
spesies yang ada di alam (wild species)
dengan memproteksi agar tidak lepas ke alam. Sub sektor akuakultur juga harus
berperan dalam memproteksi perkembangan spesies-spesies ikan yang bersifat invasif
serta melakukan kajian dampak terhadap biodiversity.
Kedelapan, penilaian
lingkungan (Enviromental assesment). Isu lingkungan telah memasuki
ranah lalu lintas perdagangan global saat ini khususnya yang berbasis
sumberdaya alam. Beragam standar dan persyaratan ekspor yang berkaitan dengan
sertifikasi produk telah banyak dikeluarkan baik bersifat privat standar maupun
publik standar. Fenomena ini walaupun terasa memberatkan tapi harus diakui
bahwa kesemuannya membuktikan adanya sebuah kesadaran masyarakat global terkait
prinsip sustainable development.
Dalam
konteks akuakultur, penerapan CBIB (cara budidaya ikan yang baik) harus sudah
menjadi keniscayaan bahkan mestinya kedepan masyarakat sudah mulai sadar bahwa
CBIB merupakan suatu kebutuhan. Implementasi Sistem Jaminan Mutu harus secara
konsisten diterapkan terhadap semua unit usaha akuakultur. Pemerintah sebagai
regulator, sudah seharusnya memberikan acuan bagi pengelolaan budidaya yang
lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan, dengan membuat sebuah regulasi yang
efektif.
Kesimpulan
dari semuanya adalah bahwa dimensi lingkungan menjadi hal mendasar yang tidak
boleh diabaikan dalam pengelolaan akuakultur. Sebagai penutup, pemerintah sudah
seharusnya melakukan konsensus untuk membuat suatu acuan terkait indikator aspek multidimensi (ekologis,
ekonomi, sosial, infrastruktur, teknologi, kebijakan dan kelembagaan) untuk
mengukur status keberlanjutan suatu kawasan perikanan budidaya. Ini penting
sebagai bahan acuan bagi stakeholders
dalam melakukan sebuah startegi pengelolaan budidaya yang berkelanjutan.
1Artikel
ini telah dimuat di Majalah Trobos Aqua Edisi 15 Juli s/d 15 Agustus 2015
*) Penulis merupakan Analis
Budidaya Perikanan
-
Saat ini sedang menempuh pendidikan pada
Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang
Sumber rujukan :
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.
Rome, FAO. 1995. 41 p.
International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2007. Interactions Between
Aquaculture and Enviroment. IUCN Centre for Mediterranean Cooperation.
Michelle Allsopp, Paul
Johnston and David Santillo. 2008. Challenging
the Aquaculture Industry on Sustainability. Greenpeace International
Main.
2013. Kajian Dampak Lingkungan Penerapan Teknologi Bioflok pada Kegiatan
Budidaya Udang Vaname dengan Metode Life Cycle Assessmen. Program Studi
Ilmu Lingkungan Undip Semarang. Jurnal Ilmu Lingkugan Volume 11 Issue 2 :
110-119 (2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar