Budidaya Yang Bertanggungjawab
Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan
Oleh : Cocon, S.Pi *
Revolusi
industri yang mulai muncul di negara-negara Eropa Barat telah mendorong adanya
pergeseran pola pengelolaan sumber-sumber ekonomi secara besar-besaran
melalui kebijakan industrialisasi dan
komersialisasi yang tak terukur. Inilah yang kemudian menjadikan manusia menjadi
sentral atas dominasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau
lebih dikenal dengan sikap Anthroposentris.
Sikap Anthroposentris ini memicu
munculnya permasalahan liingkungan global.
Tidak
hanya di negara-negara Eropa Barat dampak
revolusi industri juga di rasakan pada negara-negara berkembang khususnya di
Asia Afrika. Eksploitasi sumberdaya alam khususnya pada negara-negara
berkembang yang secara umum dilakukan oleh negara-negara maju dan nota bene sebagai
kompensasi dalam upaya membiayai proses pembangunan, pada kenyataannya menuai berbagai
masalah terutama dampak terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan sumberdaya
alam itu sendiri. Inilah kemudian PBB mulai merubah mindset pola pengelolaan
sumberdaya alam yang kemudian disepakati munculnya konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Berbagai
penelitian menyebutkan bahwa saat ini telah terjadi penurunan tapak ekologis (ecologycal footprint) yang sangat
signifikan. Tahun 2012 daya dukung lingkungan untuk menopang kebutuhan hidup di
Indonesia telah mencapai titik impas, dan terus menunjukan trend penurunan yang signifikan hingga saat ini. Pertumbuhan Jumlah
penduduk yang pesat justru akan mendorong tuntutan pemenuhan kebutuhan yang
semakin besar, sedangkan disatu sisi ecologycal
foot print yang semakin menurun.
Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan besar Pemerintah saat ini ke depan.
Menurunnya
daya dukung lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya yang eksploitatif semakin
menambah suram akan jaminan masa depan generasi yang akan datang. Dalam
persepektif pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan dan pemanfaatan SDA
harus memberikan jaminan ketersediaan secara kualitas maupun kuantitas bagi
kepentingan generasi masa depan. Intinya yang telah dilakukan dan dirasakan
generasi saat ini tidak boleh mengorbankan generasi yang akan datang. Prinsip
inilah yang wajib menjadi dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Prinsip
Budidaya yang Bertanggungjawab
Demikian
halnya sub sektor perikanan budidaya sebagai bagian dari sumberdaya alam harus
dipandang bukan hanya sebagai sebuah sumber ekonomi semata, namun harus
dimaknai sebagai sumberdaya yang perlu dikelola secara bertanggungjjawab,
karena faktanya aktivitas budidaya juga tidak terlepas dalam memberiikan
kontribusi terhadap perubahan lingkungan, sama halnya dengan sektor lain
sejenis seperti pertanian terutama pada aktivitas budidaya sebagai sebuah
industri.
Disamping
itu sub sektor perikanan budidaya juga menjadi startegis karena berpotensi
besar dalam upaya menopang ketahanan pangan nasional, bukan hanya untuk
generasi saat ini tapi menjamin ketersediaan bagi antar generasi. Jika pola
pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya dilakukan secara ekspolitatif, maka akan ada ketimpangan
antara kebutuhan pangan yang semakin besar sementara daya dukung lingkungan menurun
secara drastis, dan memunculkan sebuah sistem yang negatif, imbasnya tak ada
jaminan bagi masa depan generasi selanjutnya.
Melihat
dari perkembangan aktivitas budidaya selama beberapa dekade misalnya budidaya
udang, kita bisa amati adanya sebuah trend yang menunjukan adanya penurunan
kualitas, penyebabnya adalah pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip
keberlanjutan, dimana sikap anthroposentris
masih mendominasi para pelaku usaha. Timbulnya berbagai masalah dalam budidaya terutama
hama penyakit yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan serius yang
mengancam dunia bisnis budidaya adalah hanya bagian kecil efek domino atas pola
pengelolaan sumberdaya alam yang mengindahkan prinsip keberlanjutan. Aktivitas
budidaya tidak boleh mengindahkan prinsip eco-sentris,
karena dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak bisa lepas dari pengaruh sistem
alamiah yang membangun sebuah ekosistem yang saling mempengaruhi. Munculnya
berbagai masalah di atas tadi adalah sebagai akibat hilangnya mata rantai
sistem yang pada akhirnya menyebabkan ketidak seimbangan ekosisitem yang ada.
Kita juga seringkali hanya memfokuskan pada upaya - upaya penanggulangan secara
terus menerus, sementara upaya preventif terhadap sumber dengan memperbaiki dan
memulihkan ekosisitem seringkali diindahkan.
Para
pelaku usaha juga masih terjebak pada dominasi tujuan kepentingan pada aspek
bisnis, sehingga salah dalam menterjemahkan prinsip berkelanjutan. Kita
seringkali memandang bahwa prinsip keberlanjutan hanya pada tataran sempit
yaitu sistem usaha yang menitikberatkan pada tujuan aspek ekonomi, sehingga
apapun effort yang ada didorong dalam upaya meningkatkan produksi dan
produktivitas setinggi-tingginya, melalui rekayasa dan manipulasi lingkungan.
Padahal itu pandangan yang keliru, bahwa prinsip budidaya berkelanjutan
harusnya dilihat dalam perspektif pembangunan berkelanjutan yang
menitikberatkan pada 5 (lima) dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi
dan infrastruktur, dan kebijakan dan kelembagaan. Ke-lima dimensi inilah yang
sejatinnya menjadi bahan acuan bagi pola pengelolaan budidaya yang
berkelanjutan.
Mendorong
Kebijakan yang Pro-Enviromental
Sebuah
pepatah mengatakan “think globaly, act
locally”, menurut penulis sesungguhnya pepatah ini mempunyai makna yang
mendalam terhadap bagaimana pola-pola pengelolaan sumberdaya alam dilakukan
dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam prinsip lingkungan
pengelolaan perikanan budidaya harus dilakukan secara bertanggungjawab.
Budidaya harus juga pro aktif dalam menjamin bahwa aktivitas telah dilakukan secara
berwawasan lingkungan. Perlu diketahui, seperti
halnya sektor lain (industri, parawisata, pertanian), aktivitas budidaya juga
memberikan kontribusi teradap efek perubahan iklim global. Penggunaan input
produksi dan modernisasi teknologi, khususnya pada usaha skala industri pada
kenyataannya telah memicu penggunaan energi fosil yang secara langsung berdampak
pada peningkatan emisi karbon di atmosfer, disamping itu penggunaan bahan-bahan
lainnya yang tidak ramah lingkungan turut menyumbangkan dampak terhadap
pencemaran lingkungan.
Inilah
yang pada kenyataannya belum kita sadari, padahal dalam Undang-undang baik UU
no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, maupun UU
no 45 tahun 2009 tentang perikanan jelas mengatur bahwa pengelolaan sumberdaya
alam termasuk perikanan harus mengedepankan kelestarian lingkungan hidup.
Kebijakan industrialisasi maupun komersialisasi perikanan hendaknya dilakukan
secara terukur dengan mempertimbangkan batasan-batasan kemampuan alam dan
linngkungan hidup dalam menopang kebutuhan makluk hidup.
Dalam
hal ini, ke depan sub sektor perikanan budidaya sebagai bagian dari sumberdaya
alam yang strategis perlu didorong dengan menjamin implementasi pengelolaan
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip di atas, ada
beberapa hal yang perlu ditindaklajuti Pemerintah sebagai regulator yaitu :
Pertama,
kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan potensi dan peningkatan produksi
perikanan budidaya, maka Pemerintah dalam hal ini kementerian Kelautan dan
Perikanan seyogyanya perlu menyusun sebuah rencana zonasi secara nasional yaitu
dengan memetakan potensi kekinian dengan melakukan kajian lingkungan (aspek
ekologis), aspek sosial,
dan aspek ekonomi secara
komprehensif pada seluruh kawasan potensial di Indonesia. Zonasi inilah yang akan
dijadikan patokan dalam menetapkan target/sasaran produksi perikanan budidaya perkomoditas. Ini penting
dalam upaya menjamin perikanan budidaya yang berkelanjutan dan tetap memegang
prinsip tanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Sasaran peningkatan produksi
tersebut hendaknya terukur dan tidak
cukup dengan melihat perkembangan trend, namun harus
mempertimbangkan 5 (lima) dimensi di atas yaitu ekologi, ekonomi, sosial,
teknologi dan infrastruktur, dan kebijakan dan kelembagaan.
Kedua,
Pemerintah harus segera menyusun regulasi dengan mengeluarkan produk hukum
(setingkat Peraturan Menteri) yang mengatur norma hukum dalam pengelolaan
budidaya yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Produk hukum tersebut harus
diselaraskan dengan produk hukum yang dikeluarkan lintas sektoral lainnya
sebagai bentuk sinergisitas, dalam hal ini regulasi terkait pengelolaan
lingkungan hidup. Penyelarasan regulasi multisektoral menjadi penting sebagai
bagian upaya menumbuhkan tanggungjawab bersama dalam pengelolaan sumberdaya
alam secara bertanggungjawab. Kita harus
sudah mulai merubah maindset ke hal-hal luas dan strategis jangka pangajng,
dimana lingkungan merupakan aspek multidisiplin yang harus menjadi fokus
perhatian pada masing-masing sektor terkait.
Produk
hukum juga harus mengikat secara umum dan berlaku terus menerus dan mengatur
sebuah norma yang didalamnya berisi perintah, larangan, ijin, pengecualian, pengawasan
dan pengendalian termasuk didalamnya pembangian kewenangan pada pemerintah
daerah, sehingga dapat dipakai sebagai innstrumen khususnya bagi Pemerintah
Daerah dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terutama yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan terhadap jenis usaha budidaya yang
menerapkan teknologi tinggi dan berdampak besar dan penting. Penulis menilai,
saat ini regulasi yang terkait perikanan budidaya masih berlaku secara sempit
dan masih terfokus pada detail teknis yang masih menitikberatkan hanya pada
upaya peningkatan produksi dan produktivitas, sementara bentuk peran budidaya
terhadap isu-isu strategis nasional seperti lingkungan hidup tidak di atur.
Ketiga,
terkait regulasi perijinan usaha budidaya, akan lebih baik jika regulasi ini
direvisi dengan mempertimbangkan kebutuhan kekinian. Misalnya penetapan
kriteria jenis usaha, dan mekanisme/persyaratan perijinan. Regulasi terkait
perijinan seyogyaanya juga mempertimbangkan regulasi lingkungan hidup (UU no 32
tahun 2009 dan turunannya). Dalam UU no 32 tahun 2009 misalnya di atur adanya kriteria
jenis usaha budidaya tambak yang wajib amdal, mengatur tentang bagaimana
perijinan usaha harus diilengkapi ijin lingkungan bagi usaha yang mempunyai
potensi dampak penting terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Ini penting
sebagai bagian bentuk tanggungjawab budidaya dalam memegang teguh prinsip
pembangunan berkelaanjutan.
Keempat,
KKP dalam hal Ditjen Perikanan Budidaya perlu membuat sebuah acuan/pedum yang
berisi indikator terkait analisis budidaya berkelanjutan. Kita seringkali
bicara budidaya berkelanjutan tapi belum mempunyai pemahaman yang sama tentang
prinsip budidaya berkelanjutan. Acuan/pedum analisis budidaya berkelanjutan
tersebut berpatokan pada 5 (lima) dimensi di atas, dimana masing-masing dimensi
perlu ditetapkan atribut-atribut indikator yang mempengaruhinya. Ini penting
sebagai bahan acuan khususnya bagi daerah dalam memperhitungkan tingkat
keberlanjutan suatu pengelolaan budidaya pada kawasan tertentu.
Merujuk
pada apa yang dihasilkan dalam konperensi PBB tentang lingkungan dan
pembangunan di Rio de Jenairo pada tahun 1992, terkait prinsip utama
pembangunan berkelanjutan, maka dapat dimaknai bahwa pengelolaan perikanan
budidaya harus mampu menindaklanjuti beberapa prinsip yaitu : (1) Prinsip
keadilan intra dan antar generasi, prinsip ini menjamin bahwa sebuah
pengelolaan perikanan budidaya harus dilakukan secara bijaksana dan tidak boleh
mengorbankan masa depan generasi yang akan datang yaitu dengan memberikan
jaminan ketersediaan sumberdaya baik kualitas maupun kuantitas. (2) Prinsip
kehati-hatian, bahwa setiap perencanaan pengelolaan maupun aktivitas usaha
budidaya harus terukur dan mengedepankan analisis resiko sebagai bentuk
pencegahan dini terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari aktivitas usaha
budidaya, sehingga tidak berdampak jangka panjang terhadap keberlanjutan sumberdaya
itu sendiri. (3) Pengelolaan budidaya harus menjamin keanekaragaman hayati
tetap terjaga, disamping itu peran budidaya juga cukup strategis dalam mengembalikan
keanekaragaman hayati yang mulai hilang yaitu dengan mendorong penerapan bioteknologi
akuakultur yang ramah lingkungann. (4) Pengelolaan industri budidaya
seyogyannya juga memasukan biaya lingkungan (valuasi ekonomi lingkungan) ke
dalam biaya produksi, dimana selama ini biaya lingkungan hanyalah faktor
eksternal (external cost). Kedepan sudah saatnya dilakukan
internalisasi biaya lingkungan kedalam proses produksi, ini penting sebagai bentuk
tanggungjawa lingkungan (kompensasi jasa lingkungan).
Penyusunan
kebijakan perikanan budidaya baik dalam Rencana Strategis maupun dalam RPJMN
sudah harus memasukan bentuk tanggungjawab budidaya terhadap lingkungan dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan beserta rencana-rencana yang bersifat
konkrit.
Mulai
saat ini, kita harus sudah mulai berfikir holistik betapa hubungan manusia
dengan alam adalah suatu keniscayaan. Manusia adalah bagian dari sebuah sistim
kompleks bukan sentral atas penguasaan alam, maka prinsip eco-developmentalism yang menempatkan alam dan manusia dalam
hubungan horisontal yang sejajar harus menjadi dasar dalam pengelolaan
sumberdaya alam khususnya pada sumberdaya perikanan budidaya, itulah makna
keberlanjutan.
Rujukan :
1. Mas
Achmad Santosa. Aktualisasi
Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Dalam
sistem dan Praktek Hukum Nasional. Jurnal Hukum Lingkungan. Tahun III,
1996, halaman 1 – 21.
2. Adji
Samekto. Pembangunan Berkelanjutan :
Latar Belakang dan Prinsip-Prinsipnya. Modul 2 Pembelajaran Magister Ilmu
Lingkungan UNDIP Semarang. Tahun 2014, halaman 33-65.
Mahasiswa Program Magister Ilmu
Lingkungan,
Universitas Diponegoro Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar