Menjaga Kedaulatan Laut Melalui “Prosperity Approach”
(Makalah ini disampaikan pada ajang lomba penulisan esai
dan feature dengan Tema “Laut Adalah Harapan dan Masa Depan Bangsa”,
diselenggarakan oleh Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA) Jakarta
tanggal 1 – 6 Desember 2016)
Oleh : Cocon, S.Pi, M.Si*
*Analis
Perikanan Budidaya pada Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI. Jalan Medan Merdeka Timur No. 16 Gd. Mina Bahari IV Lantai 5
Jakarta Pusat, Mobile Phone : 081318139989//081215466460
Pola pendekatan pembangunan nasional selama lebih dari 3
(tiga) dekade yang lalu pada kenyataannya menyisakan berbagai masalah baik
aspek ekonomi, sosial dan bahkan politik. Pendekatan pembangunan yang berbasis
daratan (land based-development)
sangat kentara menjadi fokus utama Pemerintah dikala itu dalam upaya menggenjot
pertumbuhan ekonomi. Namun faktanya pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang
akan mampu menjamin kesejahteraan masyarakat itu, justru menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang bersifat sentralistik. Sentralistik karena pada
kenyataannya dampak pertumbuhan makro ekonomi tersebut hanya dirasakan oleh
kalangan tertentu khususnya korporasi dan secara kewilayahan hanya terpusat di
Pulau Jawa, dengan kata lain masih berbasis pada “Jawa Sentris”.
Kondisi di atas kemudian memicu timbulnya kesejangan
ekonomi sebagai akibat dari ketidakseimbangan pemerataan pembangunan antara
Jawa dengan Daerah-dearah lain di Indonesia terutama di kawasan Indonesia Bagian
Timur. Padahal, kita tahu Kawasan Indonesia Bagian Timur merupakan daerah yang
merupakan basis sumberdaya alam, namun ironisnya justru tidak mendapatkan nilai
tambah apapun dari besarnya nilai ekonomi sumberdaya alam tersebut. Ketimpangan
ekonomi inilah, kemudian justru secara politik mengancam keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Adanya fenomena kecemburuan sosial yang memuncak
dan terjadi pada wilayah-wilayah yang berbasis sumberdaya alam yang nota bene
secara geografis berada pada garis depan NKRI sangat berpotensi mengancam
stabilitas ekonomi, dimana secara
langsung berpengaruh terhadap stabilitas
politik. Akibatnya ketimpangan yang sedemikian
besar juga secara tidak kita sadari ternyata berpotensi
menggerus nilai-nilai nasionalisme masyarakat
yang berpotensi memicu munculnya
fenomena “disintegrasi” bangsa. Dilain pihak,
fenomena keterbelakangan akibat ketidakadilan pemerataan ekonomi ini menjadi
sasaran empuk masuknya pengaruh negara asing yang pelang-pelan seolah
menawarkan harapan baru kemajuan,
inilah yang kemudian patut diwaspadai.
Menariknya, konsepsi pembangunan nasional yang
berorientasi pada wilayah daratan sebenarnya secara tidak langsung telah
menggiring kita untuk melupakan jati diri bangsa ini yang sebenarnya. Kita seakan
lupa bahwa karakteristik negara Indonesia adalah negara kepualauan (archipelago state) yang sudah barang
tentu membutuhkan sentuhan khusus bagaimana mampu menjamin pemerataan
pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh wilayah NKRI. Padahal dalam Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United
Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan dalam
salah satu pasalnya bahwa prinsip Negara Kepulauan bukanlah sebagai alat
pemisah, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan
lainnya, yang kemudian diimplementasikan oleh Indonesia dengan istilah Wawasan
Nusantara.
Paradigma pola
pendekatan pembangunan nasional berbasis maritim
Pasca orde baru, yaitu dalam era kepemimpinan presiden
Gusdur, kesadaran akan pentingnya memahami Indonesia mulai muncul dengan
ditandai dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Pembetukan
Departemen ini menjadi titik tolak yang menggugah kesadaran segenap bangsa
Indonesia bahwa penting untuk merubah cara pandang pembangunan nasional dari
semula berbasis daratan (land based-development)
ke arah yang berbasis maritim (ocean
based-development). Konsepsi ini dipandang akan sangat efektif karena telah
sesuai dengan kekhasan Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebagai negara
kepulauan maka penting untuk menjadikan sektor kemaritiman menjadi tumpuan
utama pembangunan nasional.
Penguatan konsepsi pendekatan pembangunan nasional
berbasis maritim, semakin diperkuat sejak era kabinet kerja. Dalam beberapa
kesempatan Presiden Joko Widodo telah mengingatkan pentingnya melihat
sumberdaya maritim sebagai masa depan bangsa ke depan. Presiden menyinggung
bahwa bangsa ini sejak lama justru hanya “memunggungi laut”. Penyebutan kalimat
“memunggungi laut” bukan tanpa alasan, karena faktanya menunjukkan bahwa
sebelumnya pengelolaan pembangunan belum melirik laut sebagai aset sumberdaya
yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan bangsa. Pencanangan Indonesia
sebagai poros maritim dunia, merupakan tonggak sejarah baru untuk merespon
bagaimana mengembalikan kejayaan Indonesia yang kita tahu bahwa sejak berabad
abad yang lalui Indonesia pernah berjaya dan disegani negara lain dengan
menjadikan maritim sebagai basis kekuatan utama.
Bicara sumberdaya maritim setidaknya ada 2 (dua) nilai
strategis utama yang perlu menjadi fokus perhatian kita sebagai bangsa yang
besar, yaitu : Pertama, nilai
strategis ekonomi. Sumberdaya maritim merupakan sumberdaya yang kompleks dimana
keberadaannya erat kaitannya dengan berbagai multi-sektor mulai dari sektor
perikanan, perhubungan, parawisata, dan energi dan sumberdaya mineral. Nilai
ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan sendiri menurut itungan para pakar diperkirakan
mencapai US$ 171 miliar per tahun atau dengan kurs US$ 1 = Rp 9.500, setara
dengan nilai Rp 1.624,50 trilyun per tahun (sumber: Institut Pertanian Bogor,
1997). Nilai perkiraan potensi ini setara dengan nilai RAPBN Indonesia tahun
2013. Ini nilai yang luar biasa besar, sebagai aset bagi pembangunan nasional.
Pemanfaatan potensi nilai ekonomi maritim harus dilakukan secara terpadu dan
berkelanjutan, sehingga benar-benar mampu dirasakan baik oleh intra generasi
maupun antar generasi.
Kedua, nilai strategis geopolitik. Secara geografis
karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi tantangan tersendiri
terutama bagaimana menjamin keutuhan NKRI, dimana sudah barang tentu
membutuhkan pendekatan yang berbeda, bukan hanya melalui pendekatan keamanan (security approach), namun justru
implementasi poros maritim memiliki arti penting sebagai sabuk dalam menjamin
kedaulatan NKRI tetap terjaga yaitu melalui pemanfaatan dan pengawasan sumberdaya
maritim bagi pengembagan kawasan-kawasan terluar Indonesia.
“Prosperity Approach” sebagai senjata ampuh memperkuat kedaulatan
Keberadaan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla)
saat ini menjadi sangat strategis, sebagai bentuk upaya dalam mengkoordinasikan
segenap kekuatan dalam menjaga kedaulatan laut. Kinerja Bakamla yang didalamnya
termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam upaya memberantas
praktek-praktek Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing (IUU Fishing) patut diapresiasi sebagai kinerja positif
dalam upaya menyelamatkan nilai ekonomi sumberdaya maritim. Penegakan hukum (law enforcement) segala bentuk
pelanggaran di laut harus dilakukan secara konsisten, berkeadilan dan tidak
pandang bulu sebagai bentuk pemberian efek jera bagi para pelaku kriminal.
Telah menjadi rahasia umum bahwa laut saat ini menjadi akses masuk bagi
praktek-praktek kriminal lainnya seperti penyelundupan manusia (human trafficking), peredaran narkoba,
perdagangan senjata dan lainnya. Tentunya ini membutuhkan perhatian yang serius
dari semua pihak, khususnya Bakamla sebagai pihak yang diberi tanggungjawab
untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pengamanan laut.
Pertanyaannya apakah ini cukup untuk mewujudkan keamanan
dan kedaulatan laut kita? Jika kita lihat, bahwa praktek-praktek ilegal dan
tindakan kriminal yang terjadi di laut dan dilakukan masyarakat justru tidak
sedikit yang berawal dari motif ekonomi. Lagi-lagi ketimpangan ekonomi yang
dirasakan masyarakat di kawasan-kawasan terluar dan pulau-pulau kecil yang nota
bene sebagai basis sumberdaya telah memicu tindakan-tindakan melanggar hukum
dan mengancam disintegrasi jika tidak direspon secara berkeadilan. Penyebabnya
tiada lain adalah praktek pembangunan yang bersifat
sentralisitik. Ketimpangan
itu sangat kentara dapat dirasakan hampir disemua willayah perbatasan NKRI. Daerah yang merupakan
basis sumberdaya hanyalah dijadikan objek, dimana nilai ekonomi yang dimiliki
sebagian besar digunakan hanya untuk mendorong pembangunan di wilayah-wilayah induk.
Hal lain, berkaitan dengan maraknya illegal fishing yang dilakukan warga negara asing yang melampaui
batas teritorial NKRI maupun pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia, sebenarnya jika kita berkaca dari akar penyebab utamanya adalah bahwa
kita telah lalai dalam melihat laut sebagai bagian masa depan bangsa. Lambannya
optimasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki adalah
dampak dari ketidakberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) terutama pada kawasan
pulau terluar untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada sebagai akibat
dari minimnya sarana dan prasarana alat penagkapan ikan. Kondisi ini justru
faktanya telah dimanfaatkan warga negara asing untuk lebih dulu melakukan
eksploitasi secara illegal. Untuk itu akan lebih tepat jika low enforcement diiringi pula oleh
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga lebih berdaya dalam
melakukan pemanfaatan dan pengawasan sumberdaya yang ada. Efektifitas
pengamanan laut juga tergantung bagaimana aparat mampu melibatkan masyarakat
lokal, oleh karena itu penting sekali untuk memberikan jaminan kesejahteraan
bagi masyarakat, sehingga dengan sendirinya memunculkan kesadaran dan
tanggungjawab dari mereka.
Masih
ingat tragedi lepasnya dua pulau yaitu Sipadan dan Ligitan, terlepas dari lemah
atau tidaknya peran diplomasi kita, namun pada kenyataannya kita kecolongan
karena lalai dalam hal optimalisasi sumberdaya bagi kepentingan pembangunan
wilayah, sehingga sulit mempertahankannya karena negara tetangga telah lebih
dulu melakukan pemanfaatan. Belum lagi kawasan-kawasan strategis lain seperti
Ambalat, Natuna dan lainnya yang harus kita jaga dan lindungi melalui upaya
pembangunan yang berkeadilan. Dari
foneomena di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak cukup hanya
menggunakan upaya-upaya berbasis “security
approach” dalam memperkuat kedaulatan negara khususnya pada kawasan-kawasan
terluar. Namun ada senjata yang lebih ampuh lagi yaitu melalui pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach).
Pendekatan kesejahteraan setidaknya akan memberikan
dampak positif, antara lain : pertama,
secara ekonomi, akan memberikan dampak terhadap perkembangan dan pemerataan
ekonomi pada kawasan-kawasan strategis, jika ini telah tercapai maka secara
langsung akan mampu meredam potensi dampak negatif dari ancaman disintegrasi. Kedua, secara politik, pendekatan ini
secara langsung akan memperkuat basis pertahanan pada kawasan terluar, artinya
kasus sipadan dan ligitan tidak akan terulang kembali yang kedua kalinya.
Disamping itu, pengembangan ekonomi kawasan terluar sangat efefktif untuk meng-counter pengaruh asing yang suatu saat
bisa masuk.
Bagaimana “prosperity
approach” ini diwujudkan? Dalam konteks ekonomi sumberdaya,
seiring kebijakan pengembangan poros maritim, maka sektor kelautan dan
perikanan mempunyai nilai strategis penting sebagai salah satu sumber ekonomi
maritim, bukan hanya itu sektor ini juga mempunyai nilai strategis secara
geopolitik. Jika didorong secara optimal, sektor kelautan dan perikanan secara
ekonomi berpotensi dalam mendorong pergerakan ekonomi lokal dan daerah,
sedangkan disisi lain secara geopolitik sektor ini juga berpotensi menjadi
senjata ampuh dalam memperkuat NKRI khususnya pada wilayah-wilayah yang menjadi
kawasan terluar dan perbatasan NKRI. Sudah menjadi
rahasia umum, rasanya wilayah perbatasan NKRI nyaris sejak dulu tidak mendapat
sentuhan pembangunan berarti, Pemerintah seolah terjebak dengan hanya
memperkuat wilayah perbatasan melalui “security
approach” (pendekatan keamanan), namun mengabaikan “prosperity
approach”. Dalam hal ini, pengembangan usaha berbasis
sumberdaya kelautan dan perikanan mempunyai potensi besar sebagai alternatif prosperity approach yang efektif dalam
memperkuat wilayah-wilayah perbatasan NKRI.
Di Kabupaten Minahasa Utara, bentuk kerjasama pengamanan
laut patut menjadi rujukan bagi kawasan lain. Melalui program “TNI-Rakyat
sentuh air” telah menciptakan sinergitas pengamanan laut antara rakyat dengan
TNI secara manunggal. TNI bersama masyarakat pesisir melakukan kegiatan
budidaya rumput laut sebagai unggulan daerah, dimana disatu sisi kegiatan usaha
budidaya rumput laut diharapkan akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat
dan tambahan ekonomi bagi aparat TNI, dan disisi lain program ini justru
menjadi media efektif dalam upaya menjaga keamanan laut secara manunggal
bersama-sama dengan rakyat. Intinya program ini telah secara langsung
berorientasi pada 2 (dua) pendekatan sekaligus yaitu pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach).
Dalam upaya mewujudkan perttumbuhan ekonomi yang berbasis
ekonomi maritim, maka diperlukan langkah strategis dengan melakukan percepatan
pengembangan kawasan terluar dan perbatasan yang memiliki nilai strategis
tinggi, baik nilai strategis ekonomi maupun geopolitik. Pemerintah melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini telah melakukan upaya
percepatan pergerakan ekonomi pada kawasan terluar danperbatasan yaitu dengan
menetapkan 20 (dua puluh) kawasan strategis sebagai kawasan yang menjadi fokus
Program Pengembangan Sentra Kelautan dan Perikanan Secara Terpadu (PSKPT).
Program ini tentunya memiliki nilai penting, yaitu : (1) secara ekonomi,
diharapkan akan mennjadi embrio bagi pergerakan ekonomi wilayah dan diharapkan
menjadi penghela bagi kawasan lain disekitarnya; dan (2) secara geopolitik,
menjadi langkah strategis dalam upaya menjaga kedaulatan NKRI melalui
pendekatan kesejahteraan “Prosperity
approach”.
Tentu kita berharap program ini
akan memberikan dampak positif bagi pergerakan ekonomi, lokal, regional dan
nasional, dan bukan hanya itu program ini akan mampu memperkuat Indonesia
secara geopolitik. Namun yang perlu menjadi catatan, bahwa pergerakan ekonomi
atau pertumbuhan kawasan perbatasan akan terwujud jika pada suatu kawasan mampu
dibangun secara terintegrasi, dimana rantai sistem produksi berjalan secara
efektif. Kawasan terluar dan perbatasan
harus diposisikan bukan hanya sebagai objek basis sumberdaya saja, tapi harus
pula dibangun unsur penunjang dengan mendorong terbentuknya kawasan yang
berbasis produksi.
Pengembangan
kawasan terluar dan perbatasan juga
tidak bisa dilakukan secara parsial, namun optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
harus dilakukan secara holistik, terintegrasi dan berkelanjutan dengan melibatkan
lintas sektoral dan elemen stakeholders.
Perencanaan program harus secara matang dilakukan terutama dalam melakukan
pemetaan potensi sumberdaya yang berbasis unggulan daerah, pemetaan terkait
potensi penunjang lainya serta pemetaan terkait skenario dan langkah
antisipatif atas potensi, peluang dan tantangan dalam pengembangan wilayah terluar dan perbatasan,
sehingga program benar-benar mampu berkesinambungan dan tidak hanya dirasakan
pada awal periode pelaksanaan program saja.
Terlepas
dari seberapa kekuatan Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia, namun yang
terpenting adalah bagaimana upaya optimalisasi pemanfaatan nilai ekonomi
sumberdaya kemaritiman. Ingat sejak era sentralistik sampai era desentralisasi
seperti saat ini, hampir seluruh perputaran uang, sumberdaya manusia (terdidik
dan terampil), dan kebutuhan logistik terkonsentrasi di pusat-pusat kota besar
(industri), sementara daerah yang notabene merupakan basis sumberdaya alam
hanya menjadi objek eksploitasi dan justru menjadi daerah yang seolah tidak
menarik bagi masuknya investasi karena keterbatasan akses. Itulah sebabnya
daerah-daerah tersebut kondisinya sangat memprihatinkan.
Program
“tol laut” sebagai bagian dalam mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia seyogyanya harus
menjadi media bagi terwujudnya sebuah pemerataan pertumbuhan ekonomi bagi
daerah-daerah yang menjadi basis sumberdaya. Oleh karena itu, Pemerintah saat
ini mestinya juga fokus untuk menggarap potensi yang ada yaitu melalui
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada kawasan-kawasan strategis
yang berbasis pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang menjadi
unggulan/potensi daerah, dimana tol laut menjadi unsur pendukung dalam
mewujudkan efesiensi melalui jaminan konektivitas dan distribusi hasil produksi
unggulan daerah.
Sumberdaya
alam yang dihasilkan harus diproduksi dan dirasakan nilai tambahnya oleh
masyarakat lokal. Itulah sejatinya makna kekuatan ekonomi yang sebenarnya yaitu
ada jaminan bagi pemerataan ekonomi yang berkeadilan di berbagai daerah tanpa
terkecuali. Poros maritim harus dimulai dengan menggerakan roda perekonomian
terutama pada daerah-daerah yang menjadi bagian muka negeri ini. Kita ambil
contoh misalnya, Kabupaten Pulau Morotai yang tepat berada di bibir Samudera
Pasifik, mempunyai nilai strategis ekonomi SD Kelautan dan Perikanan yang luar
biasa besar (Perikanan, Parawisata) yang sangat potensial menjadi pintu gerbang
kawasan ekonomi bagian timur karena lokasinya yang sangat strategis berbatasan
langsung dengan negaranegara Pasifik. Disamping itu, secara geopolitik kawasan
ini sangat strategis sebagai basis kekuatan pertahanan keamanan Indonesia.
Melalui makalah ini, harapan sangat besar penulis
sampaikan agar Pemerintah fokus dalam menjaga kedaulatan laut, bukan hanya pada upaya-upaya yang bersifat security approach, namun juga mendorong
pendekatan yang berbasis pada upaya meningkatkan kesejahteran masyarakat
pesisir khususnya di kawasan-kawasan terluar dan perbatasan. Melalui kerjasama
sinergi antar para pihak dalam hal ini lintas sektoral terkait, pemerintah
daerah, dan masyarakat, maka harapan untuk mewujudkan laut sebagai masa depan
bangsa dapat benar-benar terwujud.
Sumber Rujukan :
Dewan Kelautan
Indonesia. 2012. Kebijakan Kelautan
Indonesia Buku I. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta
Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB. 2004. Kajian Kontribusi Sektor Kelautan dan
Perikanan. Kerjasama BAPPENAS dan
PKSPL-IPB. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar