Menyikapi
Masalah Waduk Cirata
Oleh
:
Cocon,
S.Pi*
Fenomena
permasalahan lingkungan di Perairan Umum seolah terus menerus terjadi,
belakangan masalah waduk Cirata menjadi polemik di tengah –tengah masyarakat,
imbasnya tentunya dirasakan langsung baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi.
Pada awalnya peruntukan waduk Cirata adalah untuk kebutuhan suplai listrik Jawa
dan Bali, namun demikian dalam perjalannya Waduk Cirata dimanfaatkan untuk
sektor lainnya terutama budidaya perikanan dan parawisata.
Polemik waduk
Cirata semakin mencuat seiring dengan mulai munculnya permasalahan lingkungan
yang berdampak terhadap kerusakan SDA dan lingkungan. Beberapa pihak menilai
bahwa aktivitas budidaya ikan di KJA yang tak terkendali menjadi penyebab utama
menurunnya kualitas lingkungan waduk Cirata. Aktivitas usaha KJA tersebut telah
secara nyata melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan perairan waduk. Sebagai gambaran, saat ini jumlah KJA yang ada
lebih dari 56.000 unit padahal berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan sebagaimana dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor 41 tahun 2002 tidak
lebih dari 12.000 unit saja (bisnis-jabar.com).
Butuh Solusi Komprehensif
Sebenarnya ada
2 (dua) hal pokok yang menjadi penyebab utama permasalahan waduk Cirata yaitu
pertama berkaitan dengan faktor ekologis, dan kedua berkaitan dengan regulasi.
Permasalahan
pokok perairan waduk Cirata saat ini adalah penurunan kualitas perairan secara
drastis, laju sedimentasi yang tinggi, dan eutrofikasi yang tak terkendali,
sehingga berdampak terhadap penurunan suplai air untuk pembankit listrik dan
kematian masal pada usaha budidaya KJA.
Ada hal yang
justru terabaikan atas faktor penyebab ke tiga masalah lingkungan tersebut.
Betul memang aktivitas budidaya ikan di KJA memberikan kontribusi besar
terhadap penyebab permasalahan yang ada, penumpukan bahan organik akibat
pemberian pakan yang tak terkontrol menyebabkan akumulasi bahan organik dan
secara langsung menaikan tingkat BOD (biochemycal
oxigen demand) sebagai indikator tingginya tingkat pencemaran. Sehingga
penataan KJA yang disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan
mutlak segera perlu dilakukan. Sebuah hasil riset juga menyatakan bahwa telah
terjadi alih fungsi lahan konservasi menjadi lahan budidaya, dan jelas ini
telah menyalahi aturan dan prinsip sustainable
aquaculture.
Namun yang
perlu menjadi catatan adalah bahwasanya permasalahan perairan umum tidak bisa
diselesaikan secara parsial namun harus dikaji faktor penyebabnya secara
komprehensif, sehingga penyelesaian masalah juga bersifat komprehensif, ini
penting karena perairan umum melibatkan banyak aktor (multi aktor). Perairan
umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem DAS (Daerah Aliran
Sungai). Waduk Cirata merupakan bagian dari DAS Citarum yang keberadaannya
melintasi beberapa wilayah administratif Kabupaten/Kota. Permasalahan
lingkungan saat ini seringkali diselesaikan secara parsial dimana pendekatan
penyelesaian masih berbasis pada wilayah administratif. Dampaknya adalah
perencanaan tidak berjalan dengan baik karena masing-masing daerah mempunyai
metode masing-masing, padahal masalah lingkungan khususnya DAS merupakan satu
kesatuan ekosistem, sehingga dalam hal pengelolaan dan penanganan masalah
lingkungan harus dilakukan secara terintegrasi yang berbasis pada ekosistem
atau lebih dikenal dengan eco-region, dan
bukan pada batasan administratif. Pendekatan
eco-region memungkinkan adanya
pengelolaan dan pengendalian yang terintegrasi dengan pendekatan terhadap
penyelesaian masalah secara seragam di setiap Kabupaten/Kota.
Karena
perairan umum merupakan bagian dari ekosistem DAS, maka tentunya faktor
penyebab masalah juga bisa timbul dari multi aktivitas. Hasil kajian
menyebutkan bahwa DAS Citarum berada pada tingkat kerusakan yang cukup
memprihatinkan dari hulu sampai hilir. Indikasinnya adalah perbedaan suplai air
antara musim hujan dan kemarau yang rendah serta baku mutu kualitas air yang
terus menurun. Beragam hasil riset dan
kajian teknispun mengerucutkan bahwa persoalan DAS adalah sebagai
akibata dampak aktivitas multi sektor. Bayangkan, aktivitas industri yang kian
pesat dimana limbahnya dibuang ke DAS, jikapun ada ketentuan terkait baku mutu
dan standar beban limbah buangan tapi dari sisi monev seringkali tidak pernah
dilakukan secara rutin, ditambah lagi pola pendekattan monev msh bersifat
administratif bukan eco-region,
sehingga riskan terhadap praktek kecurangan. Aktivitas perumahan yang
menghasilkan limbah antropogenik sepanjang DAS, telah cara nyata berkontribusi
besar terhadap pencemaran DAS yang berakhir di Waduk Citarum. Tngginya tingkat
sedimentasi juga terjadi sebagai akibat mulai berkurangnya/hilangnya area
tangkapan (catchment area) di hulu.
Aktivitas pertanian, dan perkebunan di sekitar area waduk juga turut
berkontribusi besar sebagai penyebab sedimentasi, dan eutrofikasi. Data
monitoring menyebutkan bahwa laju sedimentasi saat ini rata-rata 7,30 juta
m3/tahun dan telah melebihi asumsi desain awal sebesar 5,30 juta m3/tahun (bisnis-jabar.com). Belum lagi aktivitas parawisata yang turut
serta memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pertanyaannya, sudahkan
ini di kaji secara mendalam?
Kita
seringkali terjebak dengan hanya melakukan upaya kuratif, parsial dan bersifat
jangka pendek yang justru tidak bisa menyelesaikan masalah secara jangka
panjang. Masalah perairan umum tidak hanya bisa diselesaikan dengan upaya di
atas karena terdapat multi problem dengan melibakan multi aktor. Untuk itu
upaya preventif seharusnya dilakukan sejak awal. Penataan aktivitas sepanjang kawasan
DAS dan sekitar waduk; penataan aktivitas budidaya di KJA yang disesuaikan
dengan daya dukung lingkungan; perbaikan dan pemulihan area tangkapan (catchment area) di hulu dan area
konservasi (protection area) baik di
hulu maupun disekitar area waduk mutlak dilakukan. Area konservasi adalah hal utama,
dimana masalah SDA dan lingkungan disebabkan karena mulai terkikisnya protection area tersebut. Maka,
pengelolaan area konservasi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal di
sekitar area DAS dan waduk sudah menjadi suatu keniscayaan.
Upaya lain
yang menjadi pangkal utama penyebab beragam permasalahan lingkungan adalah
konsistensi implementasi regulasi (aturan) mulai dari perencanaan, pengawasan
dan penegakan. Tidak dapat dipungkiri masalah waduk Cirata yang mencapai titik
klimaks adalah sebagai akibat terabaikannya aturan hukum yang dibuat, sayangnya
Pemerintah sebagai pembuat aturan dan regulator dalam hal ini justru abai
dengan hal ini terutama dari aspek pengawasan, evaluasi dan penegakan di
lapangan. Beragam aturan dan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup
bisa dikatakan jumlahnya “seabrek”, namun kenyataannya lemah dari aspek
implementasi di lapangan.
Rusaknnya
ekosistem DAS dan tidak terkendalinya aktivitas KJA adalah bukti lemahnya
implementasi aturan dan jelas secara hukum adalah bentuk suatu pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Masalah lain adalah ketidak sinkronan
antara aturan yang dibuat di masing-masing lintas sektoral. Contoh kecil, ijin
usaha pembudidayaan ikan sesuai amanat Undang-undang mestinya juga mengacu pada
regulasi yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup, dimana menyatakan aktivitas
usaha budidaya yang berdampak penting terhadap liingkungan wajib memiliki ijin
lingkungan. Jika regulasi/aturan yang ada dijalankan dengan baik, maka masalah
waduk Cirata dan perairan umum di Indonesia bisa diantisipasi dengan baik.
Sebuah regulasi/aturan dibuat seyogyanya merupakan bentuk antisipasi dini (ke
hati-hatian) yang merupakan bagian dari
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Dalam jangka
pendek sebagai upaya melakukan kajian yang lebih mendalam dengan pendekatan
alternatif solusi yang komprehensif, maka perlu dilakukan kajian pengelolaan
lingkungan waduk melalui pendekatan permodelan sistem dinamik. Upaya ini perlu
difasilitasi pemerintah dengan menggandeng para pakar, akademisi dan praktisi
yang ada, dimana hasilnya harus dijadikan pedoman bagi implementasi konkrit pola
pengelolaan lingkungan waduk secara berkelanjutan. Sehubungan dengan masalah
dan penyelesaian waduk melibatkan multi aktor, maka pemerintah perlu mendorong
terjadinya upaya mediasi melalui pendekatan perencanaaan lingkungan yang
bersifat transaktif/pembelajaran sosial dengan dialog yang efektif sehingga
menghasilkan solusi yang bersifat win-win
sollution.
Referensi dari berbagai sumber
Penulis
Aquaculture analys Pada Direktorat Produksi – Ditjen Perikanan
Budidaya
Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan
Undip Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar